Logo Header Antaranews Jateng

FAI UMP-Litbang Kemenag gelar seminar "Moderasi Beragama Dalam Perspektif Dakwah"

Sabtu, 2 Juli 2022 19:51 WIB
Image Print
Seminar Pra Muktamar Muhammadiyah Ke-48 di Aula AK Anshori, Kantor Pusat Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP), Jumat (1/7/2022). ANTARA/HO-UMP
moderasi untuk semua umat beragama supaya tidak mengarah ke ekstrem kanan maupun ekstrem kiri
Purwokerto (ANTARA) - Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Purwokerto (FAI UMP) bekerja sama dengan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama (Kemenag) menggelar Seminar Pra Muktamar Muhammadiyah Ke-48 dengan tema "Moderasi Beragama Dalam Perspektif Dakwah".

"Tema ini sebenarnya sudah bebrapa kali diseminarkan, namun kami menganggap masih perlu untuk didiskusikan, dalam hal pengamalannya," kata Wakil Rektor III UMP Akhmad Darmawan, M.Si. saat memberi sambutan dalam seminar yang digelar di Aula AK Anshori, Kantor Pusat UMP, Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jumat (1/7) sore.

Menurut dia, radikalisme dan ekstremis biasanya ditujukan pada salah satu agama tertentu saja. 

Padahal, moderasi untuk semua umat beragama supaya tidak mengarah ke ekstrem kanan maupun ekstrem kiri.

Oleh karena itu, dia memandang perlu dalam perspektif dakwah harus menguatkan agamanya di jamaahnya masing-masing, baik secara akidah maupun akhlak dan perilaku supaya tidak menyalahkan yang lain.

"Kalau dalam Islam 'Lakum dinukum waliyadin' (yang berarti) 'agamaku untukku, agamamu untukmu', tanpa mencederai toleransi umat beragama," katanya. 

Ia mengatakan hal itu penting karena supaya tidak mudah menyalahkan agama yang lainnya, juga karena Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika.

"Kita tidak bisa membangun satu negara hanya oleh kaum tertentu, tapi semua masyarakat punya hak dan kewajiban untuk membangun bangsa ini. Bangsa ini harus dibangun oleh semua pilar kekuatan anak bangsa tidak hanya Islam, tetapi semua agama," kata Darmawan.

Ia mengatakan ketika toleransi sudah terbangun dengan baik, Insyaallah hal-hal lain akan lebih kondusif. 

Pada tahun politik seperti saat sekarang, kata dia, politik identitas menjadi satu warna dan biasanya membuat tidak nyaman.

"Nah, UMP dalam hal ini selaku Universitas Kemuhammadiyahan sangat mendorong, supaya para elit masyarakat tetap mengacu pada moderasi. Tengah-tengah, tidak ke kanan dan tidak ke kiri, jadi toleransi ini memang harus terus dibangun," kata Warek III itu.

Ketua Panitia Seminar "Moderasi Beragama Dalam Perspektif Dakwah" Dr. Darodjat, M.Ag. mengatakan pemahaman tentang moderasi beragama akan berimbas pada sikap yang dimunculkan, sehingga keseimbangan dalam berpikir, bersikap, dan bertindak sangat dibutuhkan.

Di dunia akademik, kata dia, berpikir tidak hanya dalam konteks pribadi atau kesalehan pribadi juga harus merambah kesalehan sosial, turut, serta membangun masyarakat yang berkeadaban. 

"Melalui seminar ini, diharapkan lahir rumusan-rumusan yang nantinya akan kita sampaikan ke litbang, sehingga dunia akademik bisa melahirkan konsep moderasi beragama,: kata Kaprodi Magister Pendidikan Agama Islam UMP itu.

Baca juga: UMP petakan strategi promosi mahasiswa baru bersama Humas PTM/A Se-Indonesia

Sementara itu, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. H. Abdul Mu'ti, M.Ed. mengatakan persoalan yang tengah dihadapi oleh seluruh manusia di penjuru buana adalah ekstremisme. 

Menurut dia, ekstremisme tidak hanya berkelindan dengan persoalan agama, juga pada persoalan politik, budaya, dan pelbagai ideologi-ideologi yang lainnya. Sebagian ekstremisme bernuansa pada akar rumput agama

"Ketika dunia ini bergerak secara sangat cepat mendorong multikulturalisme, mendorong pluralisme, dan berbagai upaya agar masyarakat dunia itu lebih rukun, kita melihat di sisi lain yang merupakan paradoks dari berbagai ikhtiar itu," kata Mu'ti yang hadir secara daring.

Ia yang bertindak sebagai pembicara kunci mengatakan dalam konteks yang bersifat lokal, nasional, dan internasional, ada keterkaitan yang menyangkut masalah fobia terhadap kelompok atau agama tertentu. 

Menurut dia, akar ekstremisme juga terjadi pada ruang lingkup budaya dengan ditandai munculnya rasisme atau munculnya fasisme yang hingga detik sekarang ini masih eksis dalam kehidupan masyarakat era modern.

"Berbagai kelompok yang mereka juga secara ekstrem menyuarakan ideologi-ideologi tertentu bisa juga kita sebut secara ekstrem. Misalnya kelompok-kelompok yang mendorong liberalisme secara berlebihan, itu juga menurut saya termasuk kategori ekstrem, karena ekstremisme itu sebenarnya akarnya adalah sikap berlebih-lebihan yang berkaitan dengan pandangan tertentu atau perilaku tertentu," katanya.

Lebih lanjut, Mu'ti mengatakan moderasi beragama pada awalnya digagas dan dikembangkan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia pada masa Menteri Dr. Lukman Hakim Saifuddin karena saat itu di Indonesia terjadi berbagai hal yang sebagian bermuara pada agama.

"Istilah moderatisme itu dipilih di antara istilah yang selama sekian lama menjadi diskursus di ruang publik. Ketika orang bicara mengenai radikalisme dan deradikalisasi, yang sejak awal Muhammadiyah menyampaikan ketidaksetujuannya dengan dua istilah itu, karena persoalan yang berkaitan dengan problem definition, dan juga persoalan yang berkaitan dengan bagaimana kemudian Ketika itu dilakukan sebagai sebuah gerakan dan pengambilan kebijakan," katanya.

Baca juga: UMP-Polresta Banyumas jalin kerja sama sukseskan MBKM

Sementara itu, Kepala Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Imam Syafei mengatakan Indonesia merupakan negara yang bermasyarakat religius dan majemuk. 

"Meskipun bukan negara agama, masyarakat lekat dengan kehidupan beragama dan kemerdekaan beragama dijamin oleh konstitusi. Menjaga keseimbangan antara hak beragama dan dan komitmen kebangsaan menjadi tantangan bagi setiap warga negara," katanya.

Akan tetapi, kata dia, terdapat tiga tantangan dalam mewujudkan moderasi beragama, yakni pertama, berkembangnya klaim kebenaran subjektif dan pemaksaan kehendak.

Sementara yang kedua, berkembangnya cara pandangan, sikap, dan praktik beragama yang berlebihan (ekstrem). Sedangkan ketiga, berkembangnya semangat beragama yang tidak selaras dengan kecintaan berbangsa dalam bingkai NKRI.

Syafei mengatakan dalam menghadapi ketiga tantangan tersebut dibutuhkan beberapa langkah seperti memperkuat esensi ajaran agama dalam kehidupan masyarakat, mengelola tafsir keagamaan dengan mencerdaskan kehidupan keberagamaan, dan merawat keindonesiaan.

Menurut dia, moderasi beragama merupakan perekat antara semangat beragama dan komitmen berbangsa. Di Indonesia, kata dia, beragama pada hakikatnya adalah berindonesia dan berindonesia itu pada hakikatnya adalah beragama.

Moderasi beragama menjadi sarana mewujudkan kemaslahatan kehidupan beragama dan berbangsa yang harmonis, damai, dan toleran sehingga Indonesia maju. Moderasi beragama juga sesungguhnya merupakan kunci terciptanya toleransi dan kerukunan, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global.

"Sekarang berbagai negara ingin belajar ke Indonesia bagaimana cara merawat keragaman. Karena itu teman-teman di Kemenag sedang menerjemahkan sebuah buku tentang Moderasi Beragama ke ragam bahasa, mudah-mudahan diikuti bangsa lain agar harmonis," kata Syafei.(*)


Baca juga: Promosikan tempat wisata Banyumas, UMP gelar sepeda santai
Baca juga: UMP buka pendaftaran mahasiswa baru jalur nilai UTBK 2022
Baca juga: Universitas Muhammadiyah Purwokerto jalin kerja sama dengan Kokand University Uzbekistan


Pewarta :
Editor: Sumarwoto
COPYRIGHT © ANTARA 2024