Logo Header Antaranews Jateng

Pakar: Tim media kepala daerah jangan sekadar untuk pencitraan

Rabu, 16 April 2025 13:48 WIB
Image Print
Pakar komunikasi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof. Mite Setiansah. ANTARA/HO-Unsoed

Purwokerto (ANTARA) - Pakar komunikasi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Profesor Mite Setiansah mengharapkan tim media yang dibentuk kepala daerah di luar bagian protokol dan komunikasi pimpinan (prokompim) maupun dinas komunikasi dan informatika tidak sekadar untuk membangun pencitraan.

"Jangan sampai ketika tim media kepala daerah membuat konten di medsos (media sosial) justru malah menimbulkan respons yang negatif, itu harus sudah dimitigasi dari awal," kata Prof. Mite Setiansah di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Rabu.

Dalam hal ini, kata dia, tim media kepala daerah ketika membuat konten untuk medsos harus memperhitungkan apakah konten tersebut akan membangun dukungan publik atas kebijakan kepala daerah ataukah justru bakal menimbulkan respons negatif.

Bahkan, lanjut dia, kadang tim media kepala daerah justru membuat konten sekadar untuk ramai-ramai atau pencitraan.

"Itu justru menjadikan kepala daerahnya tidak berwibawa," katanya.

Prof. Mite mengatakan bahwa tim media harus paham bahwa tujuannya bukan hanya ramai-ramai atau untuk popularitas kepala daerah saja, melainkan untuk memberikan dukungan kepada personal kepala daerah, termasuk dukungan pada kebijakannya.

Oleh karena itu, kata dia, tim media kepala daerah harus berkolaborasi dengan bagian prokompim maupun dinkominfo setempat agar konten yang dibuat selaras dengan kebijakan pemerintah daerah, bukan sekadar untuk pencitraan.

Pakar komunikasi ini lantas mengemukakan bahwa kepala daerah mau atau tidak mau harus mengetahui karakteristik masyarakat saat sekarang seperti apa sehingga tidak bisa lagi hanya mengandalkan dari sudut pandangnya sendiri dengan menilai gaya komunikasi politiknya sudah bagus.

"Bagaimanapun kepala daerah harus mempelajari kultur masyarakat sekarang seperti apa, karakteristik masyarakat seperti apa. Apalagi, kehadiran media sosial, media digital, pasti membangun kultur atau pola komunikasi yang berbeda-beda," katanya.

Pada zaman dahulu, lanjut dia, masyarakat tidak bisa protes secara langsung. Namun, sekarang begitu ada yang dirasa tidak cocok, banyak sekali saluran yang dapat digunakan untuk sampaikan pendapat atau aspirasinya.

Menurut dia, hal itu juga harus dipelajari dan dipahami oleh para pembuat kebijakan atau pemerintah sebagai kultur komunikasi yang baru.

"Kepala daerah tidak boleh kemudian mengatakan 'wah kenapa sih masyarakat sekarang protesan'," kata Prof. Mite.

Ia lantas berkata, "Itu memang kultur yang terbentuk karena adanya media digital, semuanya ingin serbacepat, tidak sabaran. Kalau telat sedikit, langsung mencari sumber informasi yang lain."

Terkait dengan hal itu, Prof. Mite mengatakan bahwa kepala daerah harus mengoptimalkan kerja sama dengan media arus utama, media sosial, dan pemangku kepentingan untuk merespons cepat atas kritikan atau protes dari masyarakat, termasuk mengantisipasi penyebaran hoaks.


Baca juga: Dosen Unsoed berbagi strategi keuangan keluarga di tengah gejolak nilai tukar

Pewarta :
Editor: Edhy Susilo
COPYRIGHT © ANTARA 2025