Logo Header Antaranews Jateng

Harga Rumah Sulit Dijangkau Pekerja Bergaji UMK

Kamis, 1 Maret 2012 15:03 WIB
Image Print


Cita-cita Bambang sebenarnya sederhana saja, yakni memiliki rumah tipe 22 di pinggiran Kota Semarang yang saat ini ditawarkan oleh pengembang dengan harga Rp80 jutaan.

Bambang (31), pegawai di perusahaan distribusi makanan kecil, sejak beberapa tahun lalu menabung sebisanya untuk uang muka rumah kecil.

Namun, ternyata besaran uang muka yang disyaratkan oleh pengembang terus melambung, sedangkan gaji yang disisihkan setiap bulannya relatif tetap.

Selama lebih dari lima tahun bekerja, ia memiliki tabungan sekitar enam jutaan rupiah, sementara uang muka yang wajib disetor ke pengembang setidaknya Rp18 juta.

"Jadi, tabungan saya masih jauh untuk bisa menutup uang muka," katanya.

Namun yang membuat lemas Bambang adalah besaran angsuran per bulan, termasuk untuk masa cicilan hingga 15 tahun alias 180 bulan. Untuk tenor 15 tahun, debitur KPR tipe 22 dengan luas tanah 72 meter persegi harus menyisihkan sekitar Rp800.000 per bulan.

"Sepertinya sudah tidak punya harapan lagi bisa membeli rumah, sekalipun itu rumah paling sederhana," kata pria yang masih melajang itu.

Nasib pegawai kecil seperti Bambang yang bergaji sekitar Rp1,5 juta per bulan ini memang menyedihkan, sebab mereka tidak masuk kelompok yang jadi sasaran penerima subsidi KPR dari pemerintah.

Bank pun juga tidak bakalan sudi mengucurkan KPR untuk pegawai yang gajinya hanya 1,5 kali besar angsuran KPR per bulan.

Nugraha punya pengalaman pahit ketika akan kredit rumah. Berbekal gaji Rp2,5 juta per bulan dan uang muka yang diminta pengembang, pengajuan KPR-nya ditolak oleh sebuah bank BUMN.

Gaji pegawai hotel di Semarang itu dinilai tidak cukup untuk mengangsur cicilan rumah Rp900.000 per bulan dengan tenor 15 tahun.

"Kata pegawai bank, jumlah potongan angsuran maksimal sepertiga dari gaji bersih. Dia menyarankan menambah uang muka, tapi dari mana saya dapat Rp10 juta dalam beberapa hari saja," katanya.
Kebijakan perumahan saat ini memang tidak memihak pegawai dengan penghasilan pas-pasan.

Meskipun rezim Orde Baru memiliki kekurangan, beberapa kebijakannya lebih prorakyat kecil, seperti akses pegawai atau warga negara berpenghasilan rendah untuk memiliki rumah.

Pada dekade 1980-1990-an, misalnya, buruh pabrik masih memiliki peluang besar memiliki rumah sendiri.

Dengan gaji sekitar Rp200.000 per bulan, mereka bisa beli rumah tipe 21 dengan luas tanah 60 m persegi, yang angsurannya sekitar Rp50.000 per bulan dengan tenor 20 tahun.

Kalah cepat
Zaman terus berubah dan kenaikan UMK kalah cepat dibandingkan dengan kenaikan harga tanah dan rumah.

Oleh karena itu para buruh dengan upah di bawah Rp1,5 juta, sementara ini harus melupakan bisa memiliki rumah sendiri karena besaran angsuran per bulannya melampaui setengah gaji yang diterima.

Pemerintah bersama sejumlah bank BUMN, termasuk Bank BTN, mengembangkan skema pembiayaan rumah bersubsidi melalui fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan atau FLPP.

Namun, program itu sepertinya tidak ditujukan kepada para pekerja berupah setara UMK. Skema ini hanya bagi pegawai tetap berpenghasilan rendah, seperti pekerja swasta, pegawai negeri sipil, dan anggota TNI/Polri dengan penghasilan maksimal Rp 3,5 juta untuk tipe rumah sejahtera tapak.

Plafon kreditnya sekitar Rp80 juta dengan bunga 7,25 persen untuk tenor 15 tahun.

Lantas bagaimana akses pekerja dengan upah setara UMK agar bisa memiliki rumah? Itulah pertanyaan sulit yang harus segera dijawab pemerintah, juga pengembang.

Pengurus DPP Realestat Indonesia (DPD) Sudjadi mengatakan pasar rumah sangat sederhana dengan harga di bawah Rp50 juta sangat besar, namun untuk menggarapnya sebagai lahan bisnis bukan pekerjaan mudah di tengah kian melambungnya harga tanah dan material bangunan.

Secara nasional, katanya, kebutuhan rumah di Indonesia setiap tahun sekitar 750.000 unit, namun yang bisa dipenuhi oleh pengembang sekitar 200.000 unit sehingga terjadi kekurangan 550.000 rumah.

"Saat ini sangat sulit bisa menjual rumah di bawah Rp50 juta. Harga tanah terus melejit, begitu pula harga material dan ongkos tukang," kata Sudjadi, mantan Ketua DPD REI Jateng.

Di Jawa Tengah, katanya, pada 2012 REI menargetkan membangun 12.000 rumah -- mayoritas rumah tapak sederhana (RTS) -- dan hampir tidak ada yang dijual dengan harga di bawah Rp50 juta per unit.

Pangsa pasar rumah dengan harga di bawah Rp50 juta sangat besar karena jumlah pekerja dengan gaji di bawah Rp1,5 juta per bulan sangat banyak.

Untuk menekan harga rumah, menurut Sudjadi, pengembang bisa saja membangun kompleks perumahan jauh dari titik-titik perkotaan yang harga lahannya masih murah.

"Akan tetapi, semakin jauh lokasi perumahan, penghuni mengeluarkan biaya lebih banyak, padahal sepertiga gaji mereka sudah untuk ayar angsuran," katanya.

Di tengah buruknya kondisi infrastruktur transportasi, katanya, hanya sedikit pengembang yang berani berspekulasi membangun perumahan murah di daerah "terpencil".

Pengembang memilih "bermain" di segmen menengah yang pasarnya juga gemuk dan lebih mudah mendapatkan persetujuan KPR dari bank.

Pertanyaannya, kapan pekerja dengan upah Rp1,5 juta/bulan dan di bawahnya bisa memiliki rumah sendiri dengan cara mengangsur?
Itu memang pertanyaan sulit. Namun, pemerintah harus menjawabnya dengan menyediakan rumah yang harganya terjangkau bagi pekerja berpenghasilan rendah.

Kalau rezim Orde Baru bisa, seharusnya pemerintah saat ini -- dengan "amunisi" APBN senilai Rp1.100 triliun lebih -- juga bisa melakukannya.

Pewarta :
Editor: Mahmudah
COPYRIGHT © ANTARA 2025