Semangat Kartini di Parlemen Terus Berkobar
Jumat, 20 April 2012 07:30 WIB
Meski Rapat Paripurna DPR RI telah menyetujui pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) atas Perubahan UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD menjadi UU pada tanggal 12 April lalu, semangat memperjuangkan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif itu tampaknya tidak pernah padam.
Pasalnya, bab emansipasi di panggung politik bagi kaum wanita dan pria di Indonesia hingga saat ini belum pernah mencapai rasio yang ideal, 50:50. Padahal jumlah penduduk perempuan dan laki-laki tidak banyak selisihnya.
Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010 tercatat penduduk Indonesia 237 641 326 jiwa yang terdiri atas penduduk laki-laki sebanyak 119.630.913 jiwa dan perempuan 118.010.413 jiwa. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) ini menunjukkan seks rasionya adalah 101, berarti terdapat 101 laki-laki untuk setiap 100 perempuan.
Di lain pihak, Deklarasi Milenium yang merupakan hasil kesepakatan kepala negara dan perwakilan dari 189 negara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun mematok keterwakilan perempuan di parlemen pada tahun 2015 harus sudah mencapai 50 persen.
Masalah kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan ini merupakan salah satu dari delapan buah Sasaran Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs) yang telah ditandatangani oleh 147 kepala negara, termasuk Indonesia, pada saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium di New York pada bulan September 2000.
Namun sayang, isu kesetaraan gender dalam pembahasan RUU atas Perubahan UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD bukan bagian dari hal krusial. Isu yang mengemukan ke publik dalam pembahasan RUU itu berkisar persyaratan "parliamentary threshold" (PT), jumlah kursi di setiap daerah pemilihan (dapil), sistem pemilu terbuka atau tertutup, serta sistem penghitungan suara.
Bisa dikatakan, UU yang akan dijadikan dasar dalam pelaksanaan Pemilu 2014 tidak banyak perubahan, kecuali hanya ambang batas parlemen (PT) yang semula 2,5 persen menjadi 3,5 persen. Begitu pula, bab keterwakilan perempuan di parlemen, persentasenya tetap sama dengan undang-undang sebelumnya.
Sebagaimana kita ketahui bahwa tiga tahun setelah Deklarasi Milenium, Indonesia memberlakukan UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Namun, "affirmative action" atau hukum dan kebijakan yang mensyaratkan keterwakilan perempuan minimal 30 persen hanya terdapat di dalam Pasal 65 Ayat (1).
Kendati UU itu mengamanatkan setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen, pada kenyataannya hasil Pemilu 2004 masih jauh dari angka itu.
Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD 2004 belum sepenuhnya mencerminkan kesetaraan gender perempuan dan pria dalam keterwakilan kaum hawa dan kaum adam di lembaga legislatif. Pemilu 2004 baru memberi kontribusi 12 persen dari kuota 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen.
Lima tahun kemudian, Pemerintah menerbitkan UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Undang-undang ini lebih banyak memuat kebijakan "affirmative action" keterwakilan 30 persen kuota perempuan. Bahkan, menjadi salah satu persyaratan partai politik kontestan Pemilu 2009, yakni harus menyertakan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat (Pasal 8 Ayat 1 Huruf d).
Kemudian, partai juga harus melampirkan surat keterangan tentang penyertaan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen (Pasal 15 Huruf d). Daftar bakal calon legislator pun paling sedikit 30 persen dari total bakal caleg (Pasal 53).
Realitasnya, hasil Pemilu 2009 ini pun belum memenuhi kuota meski persentasenya meningkat menjadi 18 persen dari Pemilu 2004 sebanyak 12 persen.
Komitmen Parpol
Di atas kertas, kata mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Provinsi Jawa Tengah Fitriyah, "affirmative action" itu sangat menguntungkan. Namun, hal ini harus ada komitmen dari partai politik, atau tidak sekadar mengajukan kader perempuan dalam daftar calon.
Partai politik harus menjadikan perempuan sebagai calon legislator (caleg) yang berpeluang sebagai anggota Dewan, yakni dengan cara memasangnya di daerah pemilihan strategis atau "gemuk" dan dengan nomor urut yang baik. Selama ini, perempuan berada pada nomor 3, 6, dan 9.
Bab caleg nomor urut jadi dan caleg nomor urut sepatu ini sempat mewarnai pelaksanaan Pemilu 2009. Mahkamah Konstitusi melalui putusannya Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tentang Perkara Permohonan Pengujian UU No. 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD terhadap UUD 1945 telah mengubah tata cara penetapan caleg pada Pemilu 2009 yang sebelumnya berdasarkan nomor urut (Pasal 214) menjadi suara terbanyak.
Semangat Kartini pun tidak lantas padam, tetapi malah terus menyala untuk memperjuangkan kesetaraan gender di parlemen. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari Gumelar, misalnya, berencana melakukan komunikasi intensif dengan para pimpinan partai politik agar mau berkomitmen dalam hal keterwakilan perempuan di parlemen.
"Kami berencana untuk mengadakan 'roadshow' (pertemuan, red.) menuntut komitmen internal partai-partai politik," katanya di Jakarta, Senin (16/4).
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ini juga berharap agar masyarakat memberikan sanksi sosial kepada partai politik yang tidak berkomitmen dalam mengakomodasi keterwakilan perempuan di parlemen. Dalam hal ini, tentunya Linda perlu dukungan seluruh komponen masyarakat, khususnya para aktivis perempuan.
Masalahnya, tanpa komitmen dari masing-masing parpol peserta Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD 2014, hasilnya pun bakal tidak jauh berbeda dari Pemilu 2009. Apalagi menggunakan sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak, peluang mereka sangat tipis untuk menjadi wakil rakyat.
Kecuali, kata pengamat politik Undip Semarang Fitriyah, mereka yang mampu menggelontor modal-modalnya yang kuat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menyebutkan bahwa mereka yang terpilih dengan suara terbanyak tersebut adalah mereka yang memiliki modal kuat. Selain itu, berasal dari keluarga dinasti pejabat eksekutif atau partai politik dan mereka menempati nomor urut cantik.
Kendati demikian, hal itu jangan sampai melunturkan semangat Kartini dalam memperjuangkan kesetaraan gender dengan tetap mengindahkan kualitas calegnya.
Pewarta : D.Dj. Kliwantoro
Editor:
Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2025