RUU Peradilan Militer Senapas dengan UUD 1945
Hingga sekarang, lembaga peradilan militer masih mengadili oknum Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang terlibat perkara pidana umum. Pengadilan Militer II-10 Semarang, misalnya, pada 8 Mei 2012 telah memvonis prajurit TNI Sersan Dua Yusuf Harnawan (28) selama 13 tahun penjara karena terbukti melakukan pembunuhan terhadap mahasiswi IAIN Walisongo, Siti Faizah.
Majelis hakim yang terdiri atas Mayor CHK (K) Siti Alifah sebagai hakim ketua, dan dua hakim anggota masing-masing Mayor CHK Asmawi serta Mayor Laut (KH/W) Koerniawaty Sjarif juga memberi hukuman tambahan kepada terdakwa Yusuf berupa pemberhentian dengan tidak hormat sebagai prajurit TNI.
Sebelum majelis hakim mengetukkan palu, di luar sidang, Selasa (8/5), sejumlah aktivis dari berbagai elemen masyarakat bersama keluarga korban menuntut agar majelis hakim Pengadilan Militer menjatuhkan hukuman maksimal terhadap terdakwa pembunuhan mahasiswi IAIN Walisongo Semarang itu.
Selain melakukan aksi teatrikal yang menggambarkan kekerasan oknum TNI, para aktivis dan keluarga korban membawa poster yang antara lain bertuliskan "Jangan Lindungi (TNI) Pelaku Pembunuhan", "Kejahatan TNI terhadap Masyarakat Sipil Diadili di Pengadilan Sipil", dan "Wujudkan Vonis Maksimal Seumur Hidup".
Koordinator aksi, Dian Puspitasari menilai Pemerintah gagal mencegah aparatnya tidak melakukan kekerasan dan menegakkan hak asasi perempuan. "Di Jawa Tengah ada dua kasus kekerasan yang melibatkan anggota TNI, yaitu Serma Kemin Sutomo (anggota Kodim 0733 BS/Semarang) yang memerkosa anak perempuan dan Serda Yusuf Harnawan yang membunuh mahasiswi IAIN Walisongo," katanya.
Serma Kemin Sutomo sudah dijatuhi hukuman penjara selama empat tahun enam bulan oleh Pengadilan Militer. Namun, menurut Dian Puspitasari, yang bersangkutan melarikan diri dan tidak menjalani hukuman.
Terkait dengan oditur militer yang menuntut 12 tahun penjara terhadap Serda Yusuf Harnawan, Dian menilai ada serangkaian upaya untuk meringankan hukuman pelaku sejak penyidikan di Sub-Denpom Salatiga hingga upaya yang dilakukan penasihat hukum terdakwa.
"Berdasarkan hal tersebut, Pengadilan Militer telah gagal menghukum pelaku dan memenuhi hak korban dan keluarganya serta bertentangan dengan komitmen pemerintah untuk menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang dilakukan oleh TNI," ujarnya.
Terkait dengan itu, para aktivis menuntut agar majelis hakim yang menyidangkan terdakwa Serda Yusuf Harnawan menjatuhkan hukuman minimal 20 tahun penjara dan memecat yang bersangkutan serta mendesak pemerintah untuk meniadakan peradilan militer.
Terkatung-katung
Desakan pun datang dari anggota Komisi III (Bidang Hukum & Perundang-undangan, Hak Asasi Manusia, dan Keamanan) DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari. Ia lantas mempertanyakan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang hingga sekarang terkatung-katung.
"Jika Polri sudah bersedia diadili dalam peradilan umum, maka penolakan TNI menyebabkan terkatung-katungnya penuntasan revisi terhadap UU Peradilan Militer kurang lebih 10 tahun," kata Eva yang juga anggota DPR RI asal Daerah Pemilihan Jawa Timur VI (Tulungagung, Blitar, dan Kediri).
Di dalam Naskah Akademik Perubahan UU Peradilan Militer yang disusun oleh Indonesian Working Group on Security Sector Reform dengan difasilitasi oleh Propatria dan dibahas di Jakarta, 8--10 September 2002, disebutkan perlu adanya pemisahan secara tegas kewenangan peradilan berdasarkan pada jenis kejahatan, subjek pelaku, motif, lokasi, dan akibat.
Tim penyusun yang beranggotakan Munir SH, Rachland Nashidik, Fajrul Falaakh, M.A., Dr Rudy Satriyo, Dr. Kusnanto Anggoro, Dr. Edy Prasetyono, Dr. Rizal Sukma, dan Riefqi Muna. M.Def.Stu. menyampaikan pandangannya bahwa peradilan militer hanya memiliki kewenangan atas tindak pidana militer yang dilakukan oleh prajurit TNI yang melanggar ketentuan hukum pidana militer.
Pengadilan umum memiliki kewenangan mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit militer yang melakukan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pidana umum. Dalam hal seseorang melakukan tindak pidana umum dan sekaligus di dalamnya terdapat tindak pidana militer, maka menjadi tindakan ini menjadi kewenangan peradilan umum melalui mekanisme koneksitas.
Kemudian, pada tanggal 28 April 2004, Badan Legislasi DPR RI telah mengajukan RUU itu ke pimpinan DPR, 28 April 2004. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) lantas membentuk Panitia Khusus (Pansus) RUU tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang diketuai Andreas H. Pareira.
Pembahasan "Deadlock"
Namun, pembahasan revisi terhadap UU Peradilan Militer oleh DPR RI bersama Menteri Pertahanan dan Menteri Hukum & HAM mengalami jalan buntu (deadlock) karena terjadi perbedaan pendapat antara DPR dan Pemerintah, khususnya terkait draf Pasal 9 yang mengatur yurisdiksi peradilan militer.
Dalam pembahasan revisi UU Peradilan Militer itu, kata anggota Komisi I (Bidang Pertahanan, Luar Negeri, dan Informasi) Tjahjo Kumolo, DPR menginginkan agar prajurit TNI yang melakukan pelanggaran pidana umum diadili di peradilan umum tanpa melihat oknumnya. Kendati demikian, tetap berdasarkan pada delik atau bentuk pelanggarannya sesuai dengan ketentuan Pasal 65 UU No. 34/2004 tentang TNI.
Adapun ketentuan yang ada di dalam Pasal 65 Ayat (2) menyebutkan prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.
Pada Pasal 65 Ayat (3) menyatakan apabila kekuasaan peradilan umum tidak berfungsi, maka prajurit tunduk di bawah kekuasaan peradilan yang diatur dengan undang-undang.
"Pada pembahasan revisi terhadap UU No. 31/1997, Pemerintah menginginkan semua prajurit diadili di peradilan militer tanpa melihat bentuk deliknya," kata Tjahjo yang juga anggota DPR RI periode 2004--2009.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada periode lalu pun tidak bisa melanjutkan pembahasan lagi karena berdasarkan Pasal 20 Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
Berdasarkan ketentuan di dalam Ayat (3) Pasal 20 menyebutkan jika RUU itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR RI masa itu. Selanjutnya, Ayat (4) Presiden mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.
Dengan demikian, DPR RI Periode 2009--2014 bisa membahas kembali RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Namun, itu semua tergantung dari kemauan semua pihak yang tetap menjunjung konsistensi dalam menegakkan konstitusi dan prinsip "equality before the law" (persamaan di depan hukum).
Hal itu mengingat, naskah RUU tentang Perubahan atas UU Peradilan Militer itu senapas dengan UUD 1945, Pasal 24, Ayat (2) yang mengamanatkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Pewarta : D.Dj. Kliwantoro
Editor:
Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2025