Kisah Nabi Nuh Inspirasikan Petani Merapi
Rabu, 21 November 2012 11:15 WIB
"Kalau 'ndak' percaya, baca di Perjanjian Lama tentang Kejadian. Hujannya itu 40 hari lalu air surut setelah 150 hari. Jadi, ya, kira-kira 200 hari Nabi Nuh dengan mereka semua di dalam bahtera," kata lelaki yang juga petani kawasan Gunung Merapi, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah itu, Sibang (38).
Kisah tentang Nabi Nuh bersama keluarga besarnya dan berbagai binatang dengan berpasang-pasangan di dalam bahtera, telah menginspirasi sekelompok kecil petani kawasan Gunung Merapi di Desa Ngargomulyo, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang yang tergabung dalam Kelompok Tani "Sedulur Merapi". Kelompok yang dipimpin Sibang tersebut, saat ini beranggota 21 orang.
Saat pertemuan informal kelompok petani itu, lebih dari setengah tahun lalu, kisah Nabi Nuh tersebut mengemuka dan kemudian menjadi cantelan bagaimana mereka mulai menggagas usaha mandiri pengawetan pakan ternak sapi, kambing, domba, dan kerbau.
Mereka seakan membandingkan antara kisah tentang keadaan selama sekitar 200 hari kehidupan di dalam bahtera Nabi Nuh, saat peristiwa air bah itu, dan situasi warga Merapi di berbagai pengungsian selama kira-kira satu bulan, saat erupsi dahsyat berpola eksplosif gunung berapi di perbatasan antara Jawa Tengah dengan Daerah Istimewa Yogyakarta itu pada akhir 2010.
Erupsi Merapi 2010 membuat hujan abu cukup lebat di berbagai tempat, bahkan mengakibatkan berbagai pohon dan tanaman tertutup abu, tumbang, serta atap rumah warga jebol karena tak mampu menahan tumpukan abu.
"Inginnya itu segera pulang dari pengungsian, maka hampir setiap hari ada satu-dua orang yang pergi pulang dari pengungsian, untuk menengok rumah, mencari rumput dan dedaunan untuk pakan ternak, karena ternak harus tetap diberi makan. Kalau yang di pengungsian tidak masalah karena mendapat jatah makanan," katanya.
Akan tetapi, katanya, Nabi Nuh dan keluarganya ketika itu, tentu tidak berpikir untuk sesekali pulang ke rumahnya. Mereka hanya bisa menunggu air bah itu surut, lalu semua bisa keluar dari bahtera.
"Kami memperkirakan, Nabi Nuh telah menyiapkan banyak bahan makanan dalam bahteranya, termasuk untuk pakan ternak dan binatang lainnya. Pikiran kami, tentunya zaman Nabi Nuh ketika itu sudah ada pengawetan pakan ternak, apapun istilahnya. Bayangkan, 200 hari itu setengah tahun itu. Rumput untuk pakan ternak jelas sudah kering," katanya.
Penggalan kisah Nabi Nuh itulah, kiranya menginspirasi Kelompok Tani "Sedulur Merapi" untuk membuat pengawetan pakan ternak, guna menghadapi kemungkinan mereka harus mengungsi lagi, bila sewaktu-waktu terulang masa erupsi Gunung Merapi.
Krisis Merapi berupa erupsi dan hujan abu juga mengakibatkan rerumputan dan hijauan yang biasa menjadi pakan ternak mereka, tidak baik untuk kesehatan hewan tersebut karena mengandung material vulkanik.
Keadaan saat erupsi Merapi, juga tidak memungkinan mereka untuk mencari rumput di tegalan dan hutan milik Perhutani sekitar dusun setempat seperti Gemer, Braman, Deles, Ngroya, dan Semen, seperti hari biasa, .
Proses pembelajaran mereka secara mandiri, termasuk dengan membaca buku tentang pertanian dan peternakan menghasilkan keinginan bersama untuk mengawetkan pakan ternak melalui permentasi.
Mereka harus menggiling rumput dan hijauan lain menjadi lebih lembut untuk selanjutnya diawetkan melalui permentasi. Permentator dibuat dari campuran antara lain rumen atau yang mereka sebut sebagai "brodot", bekatul, tetes tebu, dan sari buah. Butuh waktu sekitar 21 hari untuk membuat permentator.
Kelompoknya juga mendapatkan sumbangan chopper atau mesin perajang rumput dari seorang donatur, sedangkan Yayasan Sosial Citra Kasih Magelang menyumbang 10 drum dengan pengancing khusus, untuk wadah pakan ternak yang telah diawetkan. Satu drum berkapasitas satu kuintal pakan ternak setelah diawetkan.
Setiap anggota kelompok tersebut saat ini rata-rata memiliki ternak kambing 15 ekor dan sapi antara dua hingga empat ekor. Informasi yang mereka peroleh dari kantor desa setempat, jumlah total ternak di desa yang berjarak sekitar delapan kilometer di barat daya puncak Merapi itu, 1.300 ekor sapi dan kerbau, serta 300 ekor kambing.
Satu unit chopper dengan bahan bakar solar itu telah mereka modifikasi sehingga alatnya lebih efektif untuk menggiling rumput menjadi lebih lembut ketimbang chopper asli. Mereka telah mengganti dan mengubah posisi beberapa onderdil chopper seperti kipas pendorong, pisau pemotong, dan "pagolan".
Upaya modifikasi alat itu juga melalui konsultasi menggunakan telepon seluler dengan Satiman, seorang pembuat chopper di Lampung, kawan Sibang masa kecil, sewaktu mengikuti orang tuanya bertransmigrasi di daerah itu.
Dengan terkesan bangga Sibang yang saat ini memelihara sekitar 20 ekor kambing tersebut mengatakan dalam bahasa Jawa, "'Chopper niki sakniki dereng enten sing nandingi teng ngriki' (Untuk di Magelang, kemampuan chopper ini belum tertandingi, red.)".
Chopper milik kelompok itu, bukan sekadar pemotong rumput menjadi ukuran kecil-kecil, tetapi penggiling rumput dan hijauan lainnya menjadi relatif lembut sehingga lebih mempersingkat proses permentasi. Proses permentasi untuk rumput dan hijauan dengan potongan-potongan relatif besar butuh waktu 15 hingga 20 hari, sedangkan yang sudah lembut sekitar lima hari.
"Saya sudah cek di toko-toko alat pertanian untuk chopper-chopper yang masih asli," katanya saat siang itu ditemui ANTARA sedang bersama seorang anggotanya, Ngatman (44), asyik menggiling sekitar satu ton tebon jagung untuk kemudian dijadikan pakan ternak yang diawetkan.
Ketika itu, mereka bekerja di gubuk chopper seluas 5X6 meter yang dibangun dari dinding bambu dan atap asbes. Gubuk chopper itu milik Kelompok Tani "Sedulur Merapi" di Dusun Gemer, Desa Ngargomulyo. Dusun itu salah satu kampung terakhir di barat daya puncak Merapi.
Hasil pengawetan satu ton pakan ternak produk kelompok tersebut yang disebut Sibang baunya enak dan disukai ternak itu, minimal cukup untuk kebutuhan pakan kambing selama 20 hari. Namun, memang butuh waktu sekitar tiga hari untuk melatih ternak membiasakan mengonsumsi pakan yang sudah diawetkan melalui permentasi.
Pakan ternak yang telah diawetkan itu dalam kondisi di dalam drum dengan posisi tertutup rapat, bisa tahan selama enam bulan.
Saat ini, katanya, ternak milik anggotanya mau makan pakan hasil pengawetan yang terbuat dari berbagai macam rumput dan hijauan lainnya, kecuali lompong karena tanaman itu bisa membuat tenggorokan ternak menjadi gatal. Berbagai rumput dan hijauan yang bisa dipermentasi untuk pakan ternak, antara lain kalanjana, jerami padi, tebon jagung, daun nangka, kaliandra, klerecede, dan daun pisang.
"Wah, kalau saat ini karena sudah mulai musim hujan, lebih banyak lagi rumput tumbuh di sekitar dusun kami ini. Kami pastikan, kami akan kewalahan untuk proses permentasi, nantinya akan kami buat jadwal untuk anggota menggiling rumput. Apalagi kami masih kekurangan drum untuk penyimpanan. Paling tidak itu butuh lima drum untuk setiap anggota," kata Ngatman.
Ngatman yang saat ini memelihara tiga ekor sapi dan empat kambing itu mengaku bahwa pertumbuhan ternaknya antara lain menyangkut birahi dan kebuntingannya, tetap normal meskipun mendapat asupan pakan yang sudah diawetkan.
Dalam situasi normal atau tidak terjadi krisis Merapi, mereka berkeinginan menambah daya manfaat chopper modifikasinya untuk usaha penggilingan pakan ternak secara keliling, khususnya di kawasan setempat.
"Cita-cita kami, merancang chopper keliling. Setiap peternak lalu tinggal membuat pengawetan pakan sendiri-sendiri di rumahnya," katanya.
Sedangkan saat mereka harus berhadapan dengan masa krisis Merapi sehingga harus masuk "bahtera pengungsian", setidaknya urusan pakan ternak telah teratasi.
"'Kepiye carane kabeh bisa kajiwa kasalira'. Bagaimana usahanya agar semua bisa berjalan. Kalau ternak sudah diurus, bisa lebih ringan di pengungsian, karena bisa mengandalkan pengawetan pakan," kata Sibang.
Pewarta : M Hari Atmoko
Editor:
M Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2024