Logo Header Antaranews Jateng

'Mantra' Mantran Wetan Giring ke Festival Gunung

Sabtu, 29 Juni 2013 05:36 WIB
Image Print
Sejumlah anak dari grup "Warok Mudo" Desa Karasan, Kecamatan Grabag, mementaskan kesenian tradisional mereka pada Festival Lima Gunung XII di Magelang, Jumat (28/6). Festival yang diprakarsai secara mandiri oleh seniman petani Komunitas Lima Gunung i


Ratusan penonton yang semula memadati panggung pementasan di halaman rumah Gianto itu pun bergegas mencari tempat berteduh di rumah-rumah warga setempat, menunggu hujan reda.

Cuaca memang berubah relatif cepat. Pada pagi hari, langit di kawasan Gunung Andong, tempat festival tahunan yang diprakarsai para seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) itu, secara tiba-tiba sore hari mendung dan kemudian turun hujan.

Hanya sebentar hujan turun di lokasi itu untuk kemudian reda dan pementasan pada hari Jumat (28/6) itu pun dilanjutkan hingga menjelang magrib.

Ratusan warga kembali mengerumuni panggung terbuka berinstalasi berbagai bahan alam, seperti jerami, tebon (batang tanaman jagung), dan ranting kering tanaman cabai, di halaman rumah warga setempat, Gianto untuk menyaksikan lanjutan pementasan berbagai kesenian.

Festival Lima Gunung XII berlangsung selama tiga hari, 28--30 Juni 2013, dengan tema "Mulat Kahanan Sungsang", yang maksudnya merefleksikan keadaan dalam berbagai aspek kehidupan akhir-akhir yang dianggap serba terbalik.

Hari pertama festival ditandai dengan pementasan kesenian tradisional berasal dari beberapa grup yang selama ini memiliki relasi dekat dengan kelompok Sanggar Andong Jiwani Dusun Mantran Wetan.

Seniman petani Sanggar Andong Jiwani adalah salah satu kelompok yang tergabung dalam Komunitas Lima Gunung dengan sejumlah kesenian yang mereka hidupi hingga saat ini, antara lain Jaran Papat, Kuda Lumping, Topeng Ireng, Warok, Bronto Lungit, dan Sendratari Gunung. Ketua mereka, Supadi Haryanto, saat ini juga mengampu sebagai Ketua Komunitas Lima Gunung.

Pementasan hari pertama festival itu, antara lain tarian Topeng Ireng (Sidan, Madyogondo), Warok Mudo (Karasan Grabag), Topeng Ayu (Tanon, Ngrawan, Kabupaten Semarang), Tari Putri (Padan, Getasan, Semarang, Soreng (Sawit, Girirejo, Ngablak), Butho Ijo (Sewukan, Dukun), dan Ketoprak (Komunitas Lima Gunung), sedangkan pada pagi hari puluhan warga Mantran Wetan prosesi doa "ziarah seni" di makam dusun itu.

Terlihat hadir dalam pementasan festival hari pertama itu, sejumlah pemerhati seni dan budaya, antara lain berasal dari Jakarta, Bandung, dan Solo, serta puluhan fotografer.

Pementasan lainnya dalam rangkaian festival hingga Minggu (30/6) tersebut, antara lain tarian Warok Bocah, Jaran Papat, Topeng Saujana, Joget Bosah-Baseh, Topeng Ehek, Gladiator Gunung, Kuda Lumping, Joget Sekar Gunung, Butho Edan, dan Lengger Gunung, serta performa seni Najnaseni" oleh komunitas SAKA Gallery Surakarta.

Selain itu, kenduri warga, wayang kulit kontemporer, peluncuran buku Komunitas Lima Gunung berjudul "Sendang Sungsang", dan pidato kebudayaan.

Koordinator SAKA Gallery Solo Angelique Bassle mengaku telah menunggu-nunggu penyelenggaraan Festival Lima Gunung XII untuk terlibat dalam pementasan karya mereka yang bertutur tentang nukilan kisah pewayangan dengan tokoh utama Drupadi dan Bima.

Pihak panitia telah menjadwalkan kelompok itu untuk naik panggung pada puncak festival, Minggu (30/6), yang juga ditandai dengan arak-arakan seniman, pemukulan Gong Gunung, dan pelepasan burung sebagai simbol perdamaian.

"Sudah kami tunggu-tunggu, kami akan mementaskan performa 'Najnaseni' dengan esensi pesan dari cerita itu memfokuskan sumpah Drupadi dan kecintaan Bima terhadap Drupadi. Bahwa saat seseorang mencintai itu tidak setengah-setengah," katanya.

Ketua Peguyuban Kesenian Dusun Tanon, Desa Ngrawan, Kabupaten Semarang Pardi (36) mengaku memanfaatkan Festival Lima Gunung XII sebagai penguat proses pembelajaran komunitasnya dalam mengelola dan mengembangkan kesenian tradisional.

Selama dua tahun terakhir, peguyuban mereka berguru kesenian tradisional kepada Sanggar Andong Jinawi. Mereka kini telah menghidupi dua kesenian, yakni Topeng Ayu dan Kuda Lumping.

Ia menyebut ikut dalam Festival Lima Gunung XII sebagai kesempatan untuk bertukar pengalaman dalam mengelola kesenian tradisional.

"Kami ini murid-muridnya Pak Padi (Supadi Haryanto, red.). Kami sering datang ke dusun ini untuk belajar kesenian. Pada festival ini kami bertemu dengan kawan-kawan lain yang bergiat dengan kesenian tradisional. Selain kami sendiri pentas, juga bisa melihat mereka dan belajar dari mereka yang lain," katanya setelah memimpin anggotanya yang berjumlah 23 orang terdiri atas penari Topeng Ayu dan penabuh gamelan pentas pada hari pertama festival tersebut.

Secara sepintas, dia menjelaskan tentang Tari Topeng Ayu yang dibawakan oleh para remaja putri dusun setempat dengan gerakan dan komposisi yang menggambarkan suasana gembira dan kehidupan warga desa yang memasyarakat.

Kiranya pelajaran yang bisa diserap mereka dari Festival Lima Gunung tak sebatas menyangkut beragam kesenian terutama seni tradisional yang dipentaskan, tetapi juga bagaimana warga bergotong-royong menyiapkan festival itu, seperti menyiapkan panggung secara detail dan merajut instalasi seni di berbagai tempat di dusun setempat.

Ihwal yang juga tak kalah penting adalah keterlibatan intensif secara guyub para perempuan di dapur untuk menyiapkan suguhan ala desa, kebersamaan warga dalam menyiapkan rumah-rumah mereka sebagai transit dan menginap para tamu, dan sikap ramah setiap warga --yang mayoritas hidup dari pertanian hortikultura-- terhadap siapa pun yang hadir di dusun itu.

Dan, tentunya peranan penting para petinggi Komunitas Lima Gunung sebagai pemrakarsa festival tahunan secara mandiri, tanpa meminta bantuan dana baik kepada pemerintah maupun sponsor perusahaan.

Pejabat Sekretaris Desa Girirejo yang wilayahnya membawahi Dusun Mantran Wetan di tenggara puncak Gunung Andong Santoso menyatakan gembira karena lokasi itu menjadi tuan rumah Festival Lima Gunung XII. Dusun setempat juga menjadi tuan rumah festival serupa pada 2009.

"Dusun ini telah berkembang menjadi gudang kebudayaan. Sejak dulu sampai sekarang, kesenian Jaran Papat dusun ini turun temurun dilestarikan. Tahun ini Mantran Wetan kembali menjadi tuan rumah Festival Lima Gunung," katanya.

Seolah sedang menebar mantra kerja kebudayaan, masyarakat petani Dusun Mantran Wetan, Kecamatan Ngablak, menggiring relasinya berkesenian untuk saling menguatkan ikatan silaturahmi melalui Festival Lima Gunung tahun ini.


Pewarta :
Editor: M Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2024