Logo Header Antaranews Jateng

Politik Pengadilan, Pilihan Keliru

Kamis, 17 Oktober 2013 13:14 WIB
Image Print
Staf Khusus Presiden RI Bidang Bencana Alam dan Bantuan Sosial Andi Arief


Aparatus koersi itu sangat terencana membungkam, menghambat sampai mematikan perjuangan kelompok poltik yang berkuasa. Dari UU dan regulasi lain, kepolisian, kejaksaan, pengadlan, rumah tahanan, tempat pembuangan adalah sistem besar kelompok berkuasa melanggengkan kekuasaan politknya. Menggunakan sistem ini pilihan moderat ketimbang "pengadilan jalanan" pembunuhan massal sampai genosida.

Beberapa contoh pengadilan menjadi panggung politik, misalnya, Soekarno dengan hashtag Indonesia Menggugat gelorakan kemerdekaan dari ruang pengadilan Hindia Belanda. Di bawah kesewenangan Tsar, kader miltan partai Bolshevik menjadikan ruang pengadlan menjadi arena teatrikal sebagai propaganda revolusi sebelum 1917.

Anwar Ibrahim manfaatkan pengadilan untuk perluasan perlawanan kepada Mahatir Mohammad dan kroninya. Pengadilan Bonar Tigor Naipospos dkk. di Yogyakata, Beator Surjadi di Jakarta, Permadi di Yogyakarta, aktivis "5 Agustus" di Bandung, Kasus 27 juli mendera PDI Perjuangan di Jakarta, pengadilan kader-kader PRD, Sri Bintang Pamungkas, Muchtar Pakpahan sebelum jatuhnya Soeharto dan sejumlah "aksi pengadlan" lainnya adalah contoh sebuah kasus hukum menjadi ruang agitasi dan propaganda.

Tentu berbeda dengan "operasi gelap" pada tahun 1965 awal kekuasaan Soeharto, keganasan rezim polpot, Marcos di Filipina , atau yang terjadi di sejumlah negara amerika latin yang tekenal keganasan kekuasaan antipengadilan. Bahkan, menurut beberapa sumber, pemeintah Hindia Belanda membuang dan membunuh ribuan tokoh pegerakan yang tidak sepopuler Soekarno-Hatta.

Pertanyaannya kemudian, apa hubungannya dengan pengadilan yang sedang dijalankan dalam persidangan impor sapi? Persidangan "sapi" juga menjadi panggung politik. Memiliki bobot dan karakter yang bertolak belakang dengan beberapa contoh yang dikemukakan di atas.

Pengadilan bukan menjadi alat politik kekuasaan. Pengadilan menjadi instrumen hukum baru yang sejak penyidikan dan penyelidikan jauh dari intervensi kekuasaan. Bahkan partai yang sedang berkuasa saja saat ini tidak kebal hukum, beberapa orang dekat Presiden RI, bahkan besan Presiden sekalipun mendapat perlakuan sama di mata hukum pemberantasan korupsi.

Kekuasaan politik saat ini mempersilakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pengadilannya untuk lakukan apa saja dengan semangat pemberantasan korupsi. Perjuangan politik "sapi" gunakan pengadilan sebagai medianya "tidak lazim" di era pemberantasan korupsi yang sedang menggelora di masyarakat.

Antitesa perjuangan merebut kemerdekaan bebas korupsi. Upaya percobaan membubarkan KPK, dan skenario pasang badan pengadilan serta melempar kebohongan ke public, apalagi dihubungkan dengan kekuasaan, sepertinya heroik dan menebar semangat, padahal berupaya manfaatkan ketidakmengertian rakyat. Inilah puncak politik pencitraan yang terbongkar.

Tidak heran segala cara dlakukan untuk menutup wajah sebenarnya. Mencitrakan kasus sapi dipolitisasi kekuasaan bukan membahayakan kekuasaan, karena pada praktiknya justru kekuasaan memberi mandat penuh dengan independensi yang kuat. Menggeser ke politisasi kasus sapi berupaya mendelegitimasi instrumen baru, modern, dan sedang memberi harapan: KPK dan pengadlannya.

*Staf Khusus Presiden RI Bidang Bencana Alam dan Bantuan Sosial

Pewarta :
Editor: Kliwon
COPYRIGHT © ANTARA 2025