Harga Rumah Kian Tak Terjamah
Rabu, 27 November 2013 11:50 WIB
Bila hanya bergaji Rp2 juta rupiah dan sudah berkeluarga, butuh pengencangan ikat pinggang luar biasa agar bisa memiliki rumah mungil dengan cara mengangsur.
Jumlah penduduk dewasa yang membutuhkan rumah memang sangat besar dan terus bertambah setiap tahun. Sayangnya, terlalu banyak di antara mereka yang tidak berdaya menghadapi harga rumah yang terus melambung.
Kekurangan (back log) rumah secara nasional mencapai 15 juta unit karena sejauh ini pengembang hanya mampu mencetak kurang dari 300.000 unit per tahun. Kekurangan tersebut bakal terus membengkak dan nyaris mustahil bisa dipenuhi. Ibarat mengisi air ke danau dengan gayung.
Di tengah terjadinya krisis rumah yang berkepanjangan, harga tanah terus melambung. Begitu pula harga material bangunan dan ongkos tukang. Kenaikan harga lahan semakin sulit dikendalikan di kawasan perkotaan sehingga lokasi rumah murah kian terpencil.
Pemerintah tak punya pilihan lain ketika pengembang mendesak kenaikan harga rumah. Pemerintah menyetujui kenaikan harga rumah pada 2014 sebesar 30 persen. Harga rumah di Zona I naik dari Rp88 juta menjadi Rp105 juta, Zona II menanjak dari Rp95 juta menjadi Rp115 juta, dan Zona III melenting dari Rp145 juta menjadi Rp165 juta.
Dengan harga di atas Rp100 juta, betapa sulit bagi buruh berupah standar UMK bisa membeli rumah. Tidak mudah bagi kebanyakan buruh menyediakan Rp20 juta untuk uang muka dan pembayaran biaya lain membeli rumah secara kredit. Alih-alih menabung, untuk memenuhi kebutuhan dasar saja harus berjibaku agar tidak dibelit utang.
Pembangunan rumah di ujung Kota Semarang oleh pengembang dengan harga di bawah Rp 100 juta dua tahun lalu, misalnya, sebagian besar dimiliki oleh pekerja sektor formal termasuk PNS bergaji tiga jutaan rupiah. Banyak dari rumah itu tidak ditempati karena dijadikan alat investasi, baik disewakan atau dijual kembali ketika harganya sudah naik.
Bagi kalangan menengah, harga rumah tersebut memang terjangkau sekalipun tidak mendapat subsidi. Pengembang sendiri hanya punya satu kepentingan, rumahnya laku. Tak peduli siapa yang membeli.
Bagi pengembang, empat tahun terakhir ini merupakan masa emas menangguk untung. Berapa pun jumlah rumah yang dibangun, selalu saja ludes. Saat ini seseorang memiliki dua tiga rumah bahkan lebih merupakan fakta yang jamak. Namun lebih banyak lagi para pekerja yang hanya bisa bermimpin punya rumah sendiri.
Pemerintah memang tidak lepas tangan. Melalui empat bank BUMN, pemerintah menyalurkan dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dengan memberikan subsidi dalam bentuk bantuan uang muka atau subsidi bunga kredit.
Namun, sekali lagi itu belum cukup. Mayoritas pekerja berupah standar UMK tetap menganggap kemewahan besar bisa membeli rumah yang dijual dengan harga di atas Rp100 juta. Dengan bayar uang muka Rp25 juta, misalnya, mereka harus menyisihkan sekitar Rp1 juta per bulan untuk angsuran selama 10 tahun masa kredit.
Padahal, biasanya rumah murah itu berada di kawasan jauh dari jangkauan transportasi publik. Akhirnya, biaya transpor dan biaya di jalan juga kian membengkak. Bila pekerja hanya berupah di bawah Rp 2 juta, nyaris mustahil bisa membeli rumah. Apalagi bila mereka sudah berkeluarga dan menanggung satu dua nyawa balita. Beban sedikit berkurang bila istri memiliki penghasilan.
Akan tetapi, amat sedikit pabrik di luar Jabodetabek yang sanggup memberi upah buruh lebih dari Rp2 juta. Kota Semarang yang memiliki upah tertinggi di Jawa Tengah saja, besarannya hanya dipatok Rp1,4 juta per bulan pada tahun 2014. Sementara itu masih banyak kabupaten yang mematok upah di bawah Rp1 juta.
Dengan harga dan angsuran setinggi itu sebenarnya kaum pekerja dengan upah standar UMK tidak memiliki banyak pilihan. Mereka hanya bisa kos, kontrak rumah, dan nebeng di rumah orang tua atau mertua.
Lebih menyedihkan lagi, kebijakan upah murah masih dianggap lumrah. ***
Pewarta : Achmad Zaenal
Editor:
Zaenal A.
COPYRIGHT © ANTARA 2025