Telah Berpulang Dalang Wayang Suket Slamet Gundono
Minggu, 5 Januari 2014 21:14 WIB
Lelaki berbadan besar itu, turun dari mobil yang membawanya dari Solo, lalu berjalan dengan langkah tenang menuju halaman Pendopo Saraswati, kompleks Pondok Tingal Borobudur, pertengahan Oktober lalu.
Dengan begitu saja, dia yang waktu itu mengenakan pakaian warna oranye, bersarung motif kotak-kotak, dan kepala mengenakan iket, mengambil kursi di balik piano elektrik yang pada gilirannya akan ditempati untuk bermain seorang pianis Jepang, Tamon Kato, dalam pergelaran tersebut.
Lelaki itu adalah Slamet Gundono, dalang wayang suket berasal dari Tegal yang selama ini berkiprah utama di Kota Solo dan tinggal bersama istrinya, Yuning Rejeki, dan dua anaknya, yakni Nandung Albert Slamet Saputra (9) dan Bening Putriaji (3,5), di Mojosongo, Surakarta. Di rumahnya itu juga, Slamet Gundono juga mendirikan Sanggar Wayang Suket, tempat pementasan dan diskusi masalah seni budaya.
Waktu itu, pertengahan Oktober 2013, dia duduk di kursi di halaman pendopo itu, bukan untuk memainkan piano, melainkan memanfaatkan pelantang untuk secara spontan turut menyumbang tembang sintren guna mengiring prosesi pertunjukan bertema "Peristiwa Religius dan Desain Budaya".
Slamet Gundono begitu saja turut dalam pementasan, melalui suguhan tembang sintren, berkolaborasi dengan suguhan pembuka pergelaran oleh Komunitas Lima Gunung.
Ia menggulatkan tembang sintren yang bernuansa pesisir utara Jawa di Tegal itu, dengan lantunan tembang Jawa dari seorang pegiat Komunitas Lima Gunung dari kelompok Warga Budaya Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, di kawasan Gunung Merbabu, Nana Ayom, dan tabuhan musik serta tarian kontemporer dusun kelompok Sanggar Saujana Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, di kawasan Merapi dengan Merbabu, pimpinan Sujono.
Siang itu, dia telah secara spontan dan kuat membangun suasana awal pergelaran yang antara lain dihadiri budayawan dan seniman, seperti Goenawan Muhammad, Emha Ainun Najib, K.H. Mustofa Bisri, K.H. Muhammad Yusuf Chudlori, Romo Sindunata, Romo Kirjito, Bre Redana, Triyanto Triwikromo, Umar Chusaeni, Deddy P.A.W., Sucoro, Nano Tirto, Wardah Hafidz, Suprapto Suryodarmo, Andarmanik, Hariadi Saptono, dan para tamu lainnya baik berasal dari dalam maupun luar negeri.
Di mata seniman Komunitas Lima Gunung, Slamet Gundono, bukan sosok asing. Beberapa kali, lelaki dengan berat badan 150 kilogram itu turut hadir dalam pementasan yang diselenggarakan oleh komunitas dengan inspirator utama Sutanto Mendut tersebut.
Dari puncak tahunan perisitiwa kebudayaan Komunitas Lima Gunung yang pada tahun 2013 telah memasuki catatan ke-12 kali itu, Slamet Gundono dengan dunia seni budayanya, khususnya wayang suket dan tembang sintren, hadir pada Festival I dan II, masing-masing pada tahun 2002 dan 2003 di Desa Warangan, Kecamatan Pakis, Festival IV pada tahun 2005 di Desa Petung, Kecamatan Pakis, dan Festival V pada tahun 2006 di Desa Gejayan, Kecamatan Pakis.
Selain itu, dia juga beberapa kali hadir dalam pementasan di Studio Mendut, pusat aktivitas kebudayaan Komunitas Lima Gunung, sekitar 200 meter timur Candi Mendut, Kabupaten Magelang dan bersama komunitas itu juga pentas di Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Kabupaten Magelang, yang dikelola oleh K.H. Muhammad Yusuf Chudlori.
Rupanya agenda kebudayaan bertajuk "Peristiwa Religius dan Desain Budaya" yang digarap komunitas seniman petani kawasan Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh, 20 Oktober 2013, di kawasan Candi Borobudur itu, sebagai pertemuan terakhir mereka dengan dalang kondang yang bergulat dengan dunia pedalangan di luar pakem, Slamet Gundono.
Lelaki itu berpulang pada hari Minggu (5/1) sekitar pukul 08.30 WIB setelah menjalani perawatan di Rumah Sakit Islam (RSI) Yarsis Kota Solo karena penyakit komplikasinya. Lelaki kelahiran Slawi, Kabupaten Tegal, Jateng pada tanggal 19 Juni 1966 itu dirawat di rumah sakit sejak 31 Desember 2013.
Masa kecilnya dihabiskan di kampung halaman di Tegal. Kakeknya adalah dalang sintren, sedangkan Slamet Gundono disebut oleh pemerhati budaya dari Kota Solo M.T. Arifin, sebagai dalang sintren yang terakhir pada saat ini.
Selama beberapa semester, Slamet Gundono pernah masuk Jurusan Teater Institut Kesenian Jakarta, selanjutnya masuk Jurusan Pedalangan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta hingga lulus pada tahun 1999.
"Dia berakar Tegal dalam wayang, tembang, dan referensi kontemporer. Jadi, unikum lokal yang menasional dan menginternasional," kata Sutanto.
Sejumlah penghargaan pernah diterima Slamet Gundono, antara lain "Prince Claus Award" dari Belanda pada tahun 2005.
Sutanto mengatakan bahwa kehadiran Slamet Gundono mencerminkan suara seniman yang prihatin terhadap kondisi sosial. Slamet Gundono adalah pemerhati sosial secara kritis melalui seni pertunjukan.
"Dia adalah pribadi yang lembut di tengah budaya banal lingkungannya," kata Tanto yang juga pengajar mahasiswa Program Pascasarjana ISI Yogyakarta itu.
Sebelum dibawa ke tanah kelahirannya, jenazah Slamet Gundono disemayamkan di Pendapa Agung Taman Budaya Jawa Tengah di Kentingan, Kota Surakarta.
Di tempat itu, Slamet Gundono mendapatkan penghormatan dari berbagai kalangan, khususnya seniman dan budayawan, sedangkan seniman dari Yogyakarta, Butet Kertaradjasa, pada kesempatan tersebut membacakan biografi singkat Slamet Gundono.
Jenazah Slamet Gundono sekitar pukul 17.00 WIB dibawa dari Kota Solo ke Desa Salam, Kecamatan Slawi, Kabupaten Tegal, untuk dimakamkan di tanah kelahirannya itu pada hari Senin (6/1).
"Gundono penting," kata Tanto.
Pewarta : M Hari Atmoko
Editor:
Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2025