Imbas Pelarangan Ekspor Mineral Mentah Perlu Diantisipasi
Selasa, 14 Januari 2014 20:38 WIB
Bahkan, Direktur Eksekutif Indonesia Mining and Energy Studies (IMES) Erwin Usman menilai kebijakan pelarangan ekspor bijih mineral merupakan bom waktu bagi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Berdasarkan PP tersebut, kata dia, terdapat enam bijih mineral yang akan dilarang ekspor, yaitu emas, tembaga, bauksit, nikel, bijih besi, dan batu bara. Penambang yang bisa ekspor harus terlebih dahulu membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) dalam negeri.
Berapa kadar pengolahan dan pemurnian yang diwajibkan untuk masing-masing bijih mineral, Pemerintah menyatakan akan diatur dalam Peraturan Menteri ESDM. Demikian pula, terkait bea ekspor dan kuota akan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan dan Menteri Perdagangan.
Lembaga Kajian Strategis Pertambangan dan Energi (Indonesia Mining and Energy Studies/IMES) memandang pemberlakuan kebijakan pelarangan ekspor bijih mineral itu akan membawa dampak pada tiga hal, yakni pertama, ribuan perusahaan pertambangan tutup akibat tidak ada produksi/ekspor.
Sebagai catatan, berdasarkan data ESDM, hingga 2013 terdapat 10.600 izin usaha pertambangan (IUP). Tutupnya penambang ini membawa dampak pemutusan hubungan kerja (PHK) massal terhadap pekerjanya.
Dampak ikutan lainnya adalah usaha kecil menengah penyokong sektor pertambangan ini, seperti warung-warung, indekos, transportasi darat dan laut pendukung, koperasi rakyat penyuplai bahan makanan dan logistik tentu akan ikut terkena dampak.
Rakyat di wilayah pertambangan---yang umumnya berada di wilayah terpencil dan sulit akses infrastruktur--menjadi yang paling terpukul secara ekonomi dan sosial atas kebijakan tersebut.
Kehidupan satu juta buruh tambang (termasuk keluarganya) dan ribuan sektor ikutan yang kehilangan mata pencaharian utama, dan belum tentu segera dapat pekerjaan pengganti, tampaknya luput dari perhatian Pemerintah.
Pemerintah yang selama ini, menurut IMES, telah gagal menyiapkan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya, bisa dengan mudah berkata-kata. Akan tetapi, warga yang susah payah menopang kehidupan keluarganya di akar rumput, yang paling merasakan kondisi riil. Pengganguran (layoff) akibat PHK massal bukan masalah sosial yang sepele.
"Pemerintah lupa bahwa rakyat yang lapar, tidak bisa diselesaikan dengan pidato dan rapat-rapat presiden, menteri, kepala daerah, atau elite parpol," kata Direktur Eksekutif IMES Erwin Usman.
Situasi sosial seperti itu, kata Erwin Usman, juga rentan dengan meningkatnya tindakan kriminalitas akibat frustasi warga di lapangan. Ancaman buruh tambang untuk aksi ke Jakarta menduduki istana dan lakukan pemogokan nasional di wilayah pertambangan patut diperhatikan serius.
Imbas kedua terkait dengan pelarangan ekspor bijih mineral, yakni negara kehilangan pendapatan sebesar Rp12 triliun--Rp13 triliun yang terdiri atas pendapatan pajak sebesar Rp5 triliun--Rp6 triliun dan bea keluar sebesar Rp6 triliun--Rp7 triliun per tahun.
Walaupun Dirjen Pajak Fuad Rahmany menyatakan jumlah itu tidak siginifikan memengaruhi ekonomi nasional, menurut Erwin Usman, di tengah kondisi ekonomi Indonesia saat ini yang belum stabil, potensi "lost income" tersebut cukup berpengaruh pada neraca perdagangan.
"Di tengah seruan Pemerintah untuk menggalakkan ekspor, untuk meningkatkan neraca perdagangan, kebijakan pelarangan ekspor ini terasa ganjil," ucapnya.
Sebagai catatan, kata Erwin Usman, rata-rata sumbangan pertambangan umum bagi devisa negara pada periode (2005--2012) Rp70 triliun per tahun. Angka ini menjadi kecil dibanding sektor migas (Rp225,71 triliun). Salah satu penyebabnya karena tidak efektifnya pengawasan sektor pertambangan ini, di samping terjadinya praktik korupsi.
"Ingat, KPK pernah menyatakan, pada tahun 2013, bahwa dari sektor pertambangan umum, negara (seharusnya) bisa mendapatkan pendapatan Rp7.000 tiliun per tahun," kata Erwin Usman.
Ketidakadilan
Imbas ketiga, situasi akan menjadi tidak adil jika kebijakan pelarangan ekspor ini hanya berlaku bagi perusahaan nasional (pemegang IUP), sementara pertambangan raksasa pemegang kontrak karya (KK), seperti Freeport, Newmont, dan Vale-INCO, tetap dapat melakukan ekspor dengan sejumlah kebijakan, di antaranya kadar pengolahan dan pemurnian bijih mineral, dapat ditoleransi tidak 100 persen di dalam negeri. Ini yang nantinya akan diatur lebih lanjut dalam Permen ESDM (revisi Permen Nomor 20 Tahun 2013).
Selama ini, menurut Erwin Usman, publik tidak bisa membedakan dua golongan petambang, antara KK dan IUP. Kontrak karya adalah tambang yang dikuasai perusahaan asing.
Sejak awal era Orde Baru sudah beroperasi di Indonesia (pada tahun 1960--1970-an). Adapun penambang IUP, baru ada pada periode 3--7 tahun terakhir. Mereka adalah pengusaha nasional. IUP adalah sektor UKM dalam industri pertambangan.
Titik berangkat (starting point) yang berbeda antara KK dan IUP, terutama dari sisi waktu dan kemampuan finansial, tentu saja makin diskriminatif jika Pemerintah memberi kebijaksaan (lagi) bagi pemegang KK.
Kebijakan pelarangan ekspor bijih mineral itu, lanjut dia, juga tidak didukung dengan penyiapan infrastruktur terkait, seperti listrik, jalan, dan pelabuhan yang tercermin dari APBN selama lima tahun terakhir. "Ini juga akibat buruknya koordinasi kementerian terkait," ujarnya.
Membangun satu unit 'smelter' secara teknis butuh waktu minimal 2--3 tahun, dana kas dua miliar dolar AS, serta dukungan listrik 15 juta megawatt. Belum ditambah dengan rumitnya perizinan dan kesulitan dalam pembebasan lahan.
"Anda bisa bayangkan, jika tahun ini saja berdiri 60--100 smelter di tengah-tengah kawasan penduduk, senyatanya konflik terbuka yang akan langsung terlihat adalah konflik agraria dan tata ruang akibat rebutan lahan dan ruang hidup antara korporasi dan warga, di samping itu pencemaran lingkungan (B3) akibat limbah pabrik/smelter," kata Erwin Usman dalam surat elektroniknya yang diterima Antara, Minggu (12/1).
Apalagi, hingga terbitnya PP Nomor 1 Tahun 2014, cetak biru (blue print) dan peta jalan (road map) soal hilirisasi dan pelarangan ekspor bijih mineral sebagai panduan sekaligus alat kontrol negara belum tersedia.
Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Sabtu (11/1) malam, menandatangani PP No. 1/2014 yang merupakan tindak lanjut dan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).
Menko Perekonomian Hatta Rajasa dalam keterangan pers di kediaman pribadi Presiden Yudhoyono di Puri Cikeas, Kabupaten Bogor, usai rapat terbatas, Sabtu (11/1) malam, mengatakan bahwa PP tersebut merupakan aturan pelaksanaan dari UU Minerba yang berlaku per 12 Januari 2014.
"Pada dasarnya peraturan pemerintah itu menjalankan undang-undang tersebut. Yang kedua jiwa undang-undang itu meningkatkan nilai tambah maka sejak 12 Januari 2014 pukul 00.00 WIB ini tidak lagi dibenarkan bahan mentah kita ekspor dalam arti harus lakukan pengolahan," kata Hatta.
Sementara itu, Menteri ESDM Jero Wacik menjelaskan tujuannya adalah sesuai dengan roh UU No.4/2009 untuk menaikkan nilai tambah berupa nilai ekonomi dan menciptakan lapangan kerja.
"Dalam pembahasan tadi, Pemerintah mengeluarkan PP yang baru dengan pertimbangkan tenaga kerja. Jangan sampai tenaga kerja yang sudah kita ciptakan terjadi PHK besar-besaran. Kedua, pertimbangan ekonomi daerah sehingga implikasi peraturan pemerintah ini tidak memberatkan pembangunan ekonomi daerah," katanya.
Ia juga menegaskan bahwa perusahaan dalam negeri tetap bisa menjalankan operasinya bagi yang sudah dan akan melakukan pengolahan. "Jadi, itu inti PP yang ditandatangani oleh Presiden," katanya.
Peraturan Pemerintah No. 1/2014 itu akan diikuti oleh Peraturan Menteri ESDM, Peraturan Menteri Perindustrian, dan Peraturan Menteri Keuangan untuk hal-hal operasional di lapangan.
Rapat terbatas yang berlangsung sejak pukul 17.00 WIB itu dihadiri Wakil Presiden Boediono, Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Mensesneg Sudi Silalahi, Menperin M.S. Hidayat, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik, Wamenkumham Denny Indrayana, dan sejumlah pejabat lainnya.
Pewarta : D.Dj. Kliwantoro
Editor:
Kliwon
COPYRIGHT © ANTARA 2025