Logo Header Antaranews Jateng

Arist Prihatin Kondisi Hukum Lemah Untuk Perlndungan Anak

Selasa, 6 Mei 2014 13:13 WIB
Image Print
Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait (ANTARA/Indrianto Eko Suwarso)


"Saat ini UU PA hukumannya relatif sangat rendah seperti hukuman maksimalnya 15 tahun penjara, bahkan ada beberapa pelaku kekerasan seksual kepada anak dibebaskan. Ini yang membuat kami prihatin dengan kondisi hukum yang lemah untuk perlindungan anak ini," kata Arist Merdeka Sirait kepada Antara di Sukabumi, Selasa.

Menurut Arist, sampai saat ini sudah ada beberapa negara yang menetapkan hukuman suntik kimia kebiri seperti Turki, Korea, Cina dan negara lainnya di Asia dan Eropa. Maka dari itu pihaknya sudah empat tahun terakhir ini meminta kepada pemerintah dan melapor ke Komisi III DPR RI untuk mengamandemen UU Perlindungan Anak, karena masih banyak kekurangan khususnya dalam menjerat hukuman kepada pelaku kekerasan seksual kepada anak.

Pihaknya juga menginginkan UU Perlindungan Anak tersebut untuk hukumannya diubah minimalnya 20 tahun hukuman penjara dan maksimal disuntik kebiri. Khusus untuk suntik kimia kebiri, wajib diberikan kepada pelaku yang sudah dewasa dengan jumlah korban anaknya yang cukup banyak.

Lebih lanjut, pihaknya juga prihatin dengan hukum tentang perlindungan anak yang ada di Indonesia yang masih sangat lemah, padahal kasus pedofilia ini sudah menjadi perhatian utama internasional.

"Dengan lemahnya pemberian hukum ini, Indonesia menjadi salah satu negara surganya pedofil dan seharusnya dengan adanya kasus Emon ini seluruh pihak harus melek agar si pelaku kekerasan terhadap anak kapok dan si calon pelaku merasa takut dengan ganjaran hukuman yang berat," tambahnya.

Di sisi lain, Arist mengatakan untuk penanggulangan anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual harus dilakukan berbagai terapi yang cocok sesuai dengan tingkat traumanya apakah harus dihipnoterapi atau terapi lainnya. Selain itu, setiap anak yang menjadi korban harus ditangani minimalnya satu psikolog khusus dan tidak bisa dilakukan secara masal.

"Kami akan melihat dahulu anak-anak yang menjadi korban Emon untuk menyesuaikan terapi apa yang cocok diberikan kepada si korban. Dan untuk si tersangka selain harus diberikan hukuman yang berat juga diberikan terapi agar tidak kembali melakukan yang serupa," kata Arist.

Pewarta :
Editor: Totok Marwoto
COPYRIGHT © ANTARA 2024