Sebelumnya, pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang terdiri atas seorang ketua dan empat orang wakil ketua yang berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPR.

Hal itu termaktub di dalam Pasal 82 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPD) atau lebih populer dengan sebutan UU MD3.

Dengan demikian, PDI Perjuangan yang meraih 109 kursi DPR dengan jumlah suara sebanyak 23.681.471 (18,95 persen) pada Pemilu Anggota DPR, 9 April lalu, tidak otomatis kadernya menjadi Ketua DPR RI.

Dalam Pasal 84 UU MD3 yang baru, disebutkan bahwa pimpinan DPR terdiri atas satu orang ketua dan empat orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR. Pimpinan lembaga legislatif ini dipilih dari dan oleh anggota DPR dalam satu paket yang bersifat tetap.

Disebutkan pula bahwa bakal calon pimpinan DPR berasal dari fraksi dan disampaikan dalam rapat paripurna DPR. Dalam hal ini, setiap fraksi dapat mengajukan satu orang bakal calon pimpinan DPR.

Ditegaskan pula bahwa pimpinan DPR dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR. Dalam hal musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, pimpinan DPR dipilih dengan pemungutan suara dan yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pimpinan DPR dalam rapat paripurna DPR.

Selama pimpinan DPR belum terbentuk, sidang DPR pertama kali untuk menetapkan pimpinan DPR dipimpin oleh pimpinan sementara DPR. Pimpinan sementara DPR ini berasal dari anggota DPR yang tertua dan termuda dari fraksi yang berbeda.

Pimpinan DPR ditetapkan dengan keputusan DPR. Adapun ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan DPR diatur dalam Peraturan DPR tentang Tata Tertib.

Kemudian, dalam Pasal 85, disebutan bahwa dalam hal pimpinan DPR belum terbentuk, DPR dipimpin oleh pimpinan sementara DPR yang terdiri atas satu orang ketua dan satu orang wakil ketua yang berasal dari dua partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama dan kedua di DPR.

Jika berdasarkan hasil Pemilu 2014, kursi pimpinan sementara DPR berasal dari PDI Perjuangan dan Partai Golongan Karya. Dalam pemilu anggota legislatif lalu, Partai Golkar memperoleh kursi terbanyak kedua di DPR dengan meraih 91 kursi yang merupakan konversi dari 18.432.312 (14,75 persen) suara.

Andaikan koalisi partai politik pengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam Pilpres, 9 Juli 2014, berlanjut hingga Senayan, Koalisi Merah Putih yang terdiri atas enam partai politik berpeluang memenangi pemilihan pimpinan DPR RI karena memiliki kekuatan 353 suara atau 63 persen dari total 560 kursi DPR RI.

Enam parpol yang pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI, 9 Juli 2014, mendukung pasangan Prabowo Subianto-Muhammad Hatta Rajasa, yakni Partai Golkar (91 kursi), Partai Gerindra (73), Partai Demokrat (61), Partai Amanat Nasional (49), Partai Keadilan Sejahtera (40), dan Partai Persatuan Pembangunan (39).

Sebaliknya, jika dilakukan pemilihan pimpinan DPR melalui mekanisme "voting", kekuatan koalisi PDI Perjuangan (109 kursi), Partai Kebangkitan Bangsa (47), Partai NasDem (35), dan Partai Hanura (16) sekitar 34 persen atau 207 suara. Empat parpol ini dalam Pilpres 2014 mengusung pasangan Joko Widodo-Muhammad Jusuf Kalla.


Kekuatan Berimbang
Di luar Senayan (Gedung DPR RI), jumlah suara masing-masing peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI yang mendapat dukungan dari dua kubu tersebut tampaknya berimbang. Siapa yang memenangi Pilpres 2014, apakah pasangan Prabowo-Hatta atau Jokowi-JK, tinggal menunggu pengumuman dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tanggal 22 Juli mendatang.

Sebaliknya, di Gedung DPR RI pada posisi sekarang ini, Koalisi Merah Putih berpeluang memenangi pemilihan pimpinan DPR karena di atas kertas memiliki kekuatan sekitar 63 persen dari total 560 suara.

Peta kekuatan bakal mengalami perubahan jika di antara mereka tidak solid, atau Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pengujian UU MD3 yang baru, khususnya Pasal 84, terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Hal lainnya yang bakal mengubah peta kekuatan parpol di Senayan, yakni apabila anggota DPR produk Pemilu 2014 merevisi kembali UU MD3, sebagaimana usulan sejumlah pihak, termasuk Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perubahan UU MD3. Koalisi ini memandang perlu anggota DPR yang baru terpilih (periode 2014--2019) merevisi kembali UU MD3, terutama mensterilkan dari efek pertarungan Pilpres 2014 dan sejumlah agenda yang cenderung tidak mendongkrak reformasi parlemen secara signifikan.

Hal itu dikemukakan Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) Ronald Rofiandri dalam siaran pers yang diterima Antara di Semarang, Minggu (13/7).

Ia pun lantas menyebut nama sejumlah organisasi yang bergabung dalam koalisi tersebut, di antaranya Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID); Indonesia Corruption Watch (ICW); Indonesia Budget Center (IBC); PSHK; Indonesian Parliamentary Center (IPC); dan Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika).

Koalisi juga meminta anggota DPR periode 2009--2014 tidak memaksakan diri untuk menyusun Peraturan Tata Tertib DPR yang baru. Selain ketidakcukupan waktu karena hanya tersisa satu masa sidang lagi (14 Agustus s.d. 30 September 2014), menurut Ronald, UU MD3 yang baru tersandera dengan kepentingan politik sebagai dampak pertarungan Pilpres 2014.

Menyinggung mekanisme pemilihan pimpinan DPR (Pasal 84 UU MD3 yang baru), Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perubahan UU MD3 menilai tidak konsistennya pengaturan mekanisme pemilihan pimpinan DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota menunjukkan bahwa Pansus RUU MD3 tidak mempunyai visi yang jelas terhadap desain kelembagaan pimpinan lembaga legislatif.

Selain itu, mekanisme pemilihan pimpinan DPR yang telah ditetapkan dalam UU MD3 yang baru merupakan daur ulang mekanisme lama yang sudah terbukti mengakibatkan kinerja DPR periode 2004--2009, khususnya pada tahun pertama, menjadi terhambat. "Hal ini disebabkan tarik ulur kepentingan yang terpolarisasi melalui Koalisi Kerakyatan dan Koalisi Kebangsaan," kata Ronald.

Sementara itu, pengamat politik Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Ahmad Sabiq di Purwokerto, Sabtu (12/7), menilai rencana PDI Perjuangan untuk mengajukan uji materi UU MD3 yang baru tersebut sangat tepat.

"Mengajukan 'judicial review' (uji materi, red.) ke MK saya kira hal yang tepat sehingga persoalan ini tidak menjadi tambah melebar," kata Ahmad Sabiq.

Menurut dia, persoalan tentang pemenang pemilu atau partai yang memperoleh suara terbanyak tidak lagi otomatis menjadi ketua DPR tidak termasuk dalam hal krusial yang pernah dipersoalkan masyarakat. Oleh karena itu, dia menilai wajar jika hal tersebut menjadi permasalahan.

"Tentu saja PDI Perjuangan sebagai pemenang pemilu kecewa karena mereka merasa diganjal untuk mendapatkan kursi ketua DPR," kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unsoed itu.

Mampukah kekuatan eksternal "mengubah" peta kekuatan parpol di Senayan dalam pemilihan pimpinan DPR? Atau, putusan MK yang kelak akan mengembalikan pada posisi semula sebelum UU No. 27/2009 tentang MD3 direvisi.