Pemilu 2014, misalnya, untuk cetak kartu suara saja, menghabiskan duit negara sebanyak Rp8,5 triliun. Sebuah angka yang cukup fantastis di saat Indonesia sedang terimbas dari krisis global.

Dana APBN sebesar itu bisa dialokasikan untuk hal yang lebih bermanfaat, seperti dialokasikan ke sektor pendidikan, lingkungan, atau kesehatan.

Pada sektor lingkungan khususnya dalam penggunaan bahan baku kertas menimbulkan banyak masalah, sebagian besar kondisi hutan di Indonesia sudah rusak demi mencetak kartu suara yang berlipat ganda.

Jika dikaji lebih dalam dana sebesar Rp8,5 triliun tersebut bisa dikonversikan menjadi pohon yang bermanfaat bagi lingkungan sekitar.

Mirisnya kondisi di atas diperparah lagi dengan berbagai masalah teknis yang timbul dari pelaksanaan pemilu di Indonesia. Masalah-masalah tersebut antara lain ketidakmutakhiran data para pemilih akibat adanya manipulasi oleh oknum-oknum tertentu sehingga hasilnya menjadi tidak valid.

Seorang oknum yang sengaja memanipulasi satu suara rakyat pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden akan diusut hingga tuntas, dicari pemilik asli yang berhak atas hak suara tersebut, diserahkan hak suara kepada sang pemilik, dan oknum pun diarak atas kecurangannya.

Selain masalah dari para oknum tersebut, masih ada masalah lain yang tidak kalah rumit. Hal tersebut mengenai sulit dan tidak efisiennya pengurusan pindah TPS (tempat pemungutan suara) bagi kaum migran khususnya mahasiswa.

Saat ini kebanyakan mahasiswa menginginkan sesuatu yang instan dan mudah. Bila hanya mau memberikan suara pada pemilu saja merepotkan bagi mereka, mayoritas pilihan dijatuhkan untuk golput (golongan putih) atau dengan kata lain tidak ikut andil dalam pemberian hak suara.

Sangat disayangkan satu pemilih suara hilang begitu saja. Masalah tidak habis sampai disitu saja. Bila sebelumnya mengenai pilihan untuk golput, kali ini justru sebaliknya. Kecurangan yang terjadi adalah mengenai penggunaan hak suara dobel, satu orang mencoblos lebih dari sekali.

Segala kesalahan maupun kecurangan yang mengakibatkan instabilitas di negeri ini memang tidak selamanya atas unsur kesengajan, terkadang human error pun tak dapat dipungkiri. Harapannya tentu KPU mampu mengurai benang kusut itu dengan baik dan benar.

Beralasan dari itu, mahasiswa Undip menciptakan Digion, kependekan dari Digital Democration, sebuah sistem pemilu berbasis android terintegritas e-KTP reader.

Ini merupakan karya program kreativitas mahasiswa karsa cipta yang diketuai oleh Ian Amri Dinina (Teknik Elektro) beranggotakan Fauzan Rozzaqqo (Teknik Elektro), Rahayu Damayanti (Biologi), Dentatama Mulyawati (Kimia) dan Giga Verian (Fisika). Digion merupakan sistem aplikasi pemilihan umum berbasis android dengan proses verifikasi (log in) yang hanya mengandalkan e-KTP.

Hanya menggunakan e-KTP masyarakat Indonesia dapat memilih calon eksekutif secara cepat, cukup menempelkan e-KTP pada belakang smartphone. Identifikasi e-KTP menggunakan komunikasi data Near Field Communication (NFC) yang sudah terdapat di beberapa smartphone.

Setelah teridentifikasi maka pengguna dapat memilih calon eksekutif di aplikasi Digion dan hasil dari pemilihan ini akan dihitung secara online pada database pusat.

Dari ribuan proposal usulan oleh berbagai Universitas di Indonesia, akhirnya PKM-Karsa Cipta Digion ini berhasil lolos didanai Dikti tahun 2015. Digion ini telah dipublikasikan di berbagai media yang berada di Undip seperti Lembaga Pers Mahasiswa Manunggal, UKM Research and Business, Lembaga Pers Mahasiswa Momentum FT Undip dan diikutsertakan dalam College of ASEAN Community Studies di Thailand.

Harapannya hasil dari Digion ini dapat digunakan dalam pemilu Indonesia tahun 2020 mendatang agar sistem demokrasi di Indonesia menjadi lebih efisien dan efektif.

Oleh Tim Digion/editor:Rahayu Damayanti/azm