Pratama Persadha mengapresiasi langkah Sutiyoso untuk membawa BIN beradaptasi dengan medan yang berbeda. BIN dituntut bisa masuk dan beradaptasi dengan perkembangan jaman yang serba digital.
Isu ketahanan nasional saat ini juga telah melebar ke ranah digital, buktinya Presiden Jokowi sudah menetapkan Badan Cyber Nasional harus segera terbentuk di tahun 2016 mendatang, katanya dalam siaran persnya yang diterima di Semarang, Selasa.
“Intelejen saat ini memang tak sekedar mengandalkan insting. Kini informasi tersebar lewat media yang beragam, salah satunya internet. Disanalah BIN harus hadir dan mempunyai peran vital. Negara lain sudah bergerak maju, kita tak boleh tertinggal,†jelasnya.
Pengguna internet Indonesia sampai akhir 2014 diperkirakan sudah mencapai lebih dari 80 juta orang. Menurut APJII bahkan pada 2017 mendatang pengguna internet di Indonesia bisa lebih dari 100 juta orang. Dengan hampir 50% penduduk Indonesia menggunakan sarana internet sebagai komunikasi, BIN dituntut bisa ikut serta dalam mengamankan negara.
“Isu strategis banyak bermunculan dari dunia digital di Indonesia. Mulai maraknya penyebaran faham teroris lewat internet, sampai pada ancaman pencurian data oleh asing. BIN harus bisa memberikan informasi yang benar-benar akurat kepada Presiden sebagai user utama BIN,†tegasya.
Menurut Pratama, seperti negara lainnya, BIN sebagai lembaga intelejen akan sangat didengarkan pendapatnya, terutama oleh Presiden. Seorang kepala negara membutuhkan informasi yang penting dan rahasia di saat genting, namun bisa dijamin keakuratannya.
Sutiyoso beberapa kali menegaskan bahwa BIN salah satu fokus utamanya pada pengamanan ekonomi. Bila benar, maka sasaran Sutiyoso sebenarnya sudah sangat tepat. Karena dalam era perang informasi digital ini, negara-negara berlomba mendapatkan informasi untuk tujuan penguasaan ekonomi.
“Seperti kata Snowden di ajang CeBIT di Jerman, bahwa aksi peretasan kini akan massif dilakukan oleh negara-negara. Tujuannya adalah penguasaan sumber-sumber ekonomi baru,†terang pria yang 19 tahun lebih bergelut di dunia intelejen ini.
Pratama menjelaskan bahwa penguasaan data penduduk juga sangat penting. Negara lain tidak selalu dilakukan melakukan penetrasi dan mencuri informasi kependudukan. Misalnya lewat perusahaan mereka yang ada di negara lain bisa secara langsung menghimpun data-data tersebut. Di sinilah BIN bisa memberikan informasi dan mencegah agar kerugian Indonesia secara materiil dan immaterial tidak terus membesar.
“Belum lagi sektor perbankan yang sangat rawan terhadap peretasan. Lalu informasi lain yang berharga seperti lokasi gudang senjata TNI/POLRI,†terang mantan ketua tim IT Sandi Negara untuk IT Kepresidenan ini.
Pada akhirnya BIN harus berkolaborasi dengan lembaga lain untuk bisa tangguh di era cyber intellegence. BIN harus mampu menggandeng lembaga intelijen lainnya untuk bekerjasama dan bertukar informasi cyber intelligence. Antara lain Lembaga Sandi Negara, Intel Kejaksaan Agung, Intel Polisi, BAIS TNI, Bea Cukai, Imigrasi dan ‎BNN.
“Lengkapnya data intelijen, akan semakin komprehensif informasi yang bisa diserahkan kepada Presiden, sehingga sangat membantu pengambilan keputusan strategis,†jelas pria asal Cepu ini.
Pratama menegaskan bahwa saat kita membangun basis cyber intellegence, harus memakai produk dalam negeri. Karena cyber intelligence bukan hanya harus dioperasikan oleh anak bangsa, namun alat dan teknologi harus diusahakan asli buatan Indonesia.
“Buat apa kita bangun sistem mahal dan canggih, namun karena ketergantungan pada produk asing, setiap informasi intelejen kita masih bisa diambil asing,†tegasnya.
Pakar Keamanan Cyber Apresiasi Langkah Sutiyoso
Rabu, 15 Juli 2015 14:10 WIB
Pratama Persadha. Foto: cissrec
Pewarta : Achmad Zaenal M
Editor : Zaenal A.
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
USM seminarkan "Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Pendidikan"
09 October 2024 9:19 WIB