Petani Jateng Sambut Program Klaster Bawang Putih
Rabu, 31 Agustus 2016 10:01 WIB
Bupati Tegal, Enthus Susmono (kanan) menunjukkan bawang putih tawangmangu saat panen perdana bawang putih di demplot bawang putih Bank Indonesia di Desa Tuwel, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Selasa (3/11). Demplot bawang putih yang berada di kaki Gunu
Semarang, Antara Jateng - Petani di sejumlah daerah di Jawa Tengah menyambut baik program klaster (cluster, red) bawang putih yang diinisiasi oleh Bank Indonesia (BI) Kantor Perwakilan Provinsi Jateng.
Ketua Gabungan Kelompok Tani Setio Tani, Desa Adipuro, Kecamatan Kaliangkrik, Kabupaten Magelang Fathul Hakim mengatakan selama ini petani kesulitan akibat tidak seimbangnya biaya tanam dengan hasil yang diperoleh ketika panen.
Biaya tanam saat ini cukup tinggi. Kondisi tersebut salah satunya dipicu oleh kenaikan harga pupuk kandang. Jika pada tahun 2000-an harga pupuk kandang sekitar Rp100 ribu/truk, saat ini meningkat menjadi Rp800 ribu-1 juta/truk.
Bahkan, harga tersebut baru sampai di jalan raya, jika petani ingin pupuk tersebut diantar ke lokasi pertanian maka ada biaya lagi yang harus dikeluarkan oleh petani.
"Biaya tambahan ini bisa sampai 50 persen dari harga pupuk, jatuhnya menjadi sangat mahal," katanya.
Kebutuhan akan pupuk kandang juga tidak dapat ditekan mengingat kualitas tanaman lebih baik jika menggunakan pupuk kandang. Untuk diketahui, satu hektare lahan membutuhkan pupuk kandang sebanyak 10 ton.
Belum lagi harga benih yang juga cukup tinggi. Saat ini, harga benih bawang putih sekitar Rp45 ribu/kg, padahal untuk satu hektare lahan dibutuhkan 7 kuintal benih.
Secara keseluruhan, biaya tanam yang dibutuhkan petani pada sekali masa tanam sekitar Rp55 juta/hektare.
Berharap Ada Jaminan Harga dan Pasar
Terkait hal itu, pihaknya berharap ada jaminan harga dari Pemerintah. Harapannya agar petani memperoleh keuntungan yang sesuai dengan masa penanaman dan perawatan.
Mengenai harga jual, saat ini petani lebih banyak menjual dalam kondisi basah dengan harga Rp22.500-25.000/kg. Meski tidak menyampaikan keuntungan secara pasti, dengan menjual bawang putih kondisi basah memberikan keuntungan lebih banyak dibandingkan jual kering.
Di sisi lain, pihaknya juga berharap ada jaminan pasar bawang putih. Dengan begitu, rantai distribusi dapat dipangkas sehingga keuntungan yang diperoleh petani dapat lebih besar.
Senada, Ketua Gapoktan Tri Manunggal, Desa Kruisan, Kecamatan Klidung, Kabupaten Temanggung Budiono mengatakan saat ini banyak petani bawang putih yang beralih ke tanaman hortikultura lain karena tipisnya keuntungan bertani bawang putih.
Bahkan, ada penurunan tajam jumlah lahan bawang putih jika dibandingkan pada tahun 1990-an dengan saat ini. Jika dulu untuk dua desa yaitu Kruisan dan Petarangan jumlah lahan bawang putih mencapai 1.000 hektare, untuk saat ini turun menjadi 200 hektare.
Jika dulu dari dua desa ini ada sekitar 1.000 petani bawang putih, saat ini turun menjadi 200 petani.
"Kalau dulu menguntungkan sekali menjadi petani bawang putih, kalau sekarang tidak terlalu menguntungkan karena perbandingan biaya tanam dengan hasil panen tidak sesuai. Biaya tanam besar sedangkan hasil panen sedikit," kata petani lereng Gunung Sumbing ini.
Hampir sama dengan Gapoktan Setio Tani, harga jual bawang putih dari petani ke tengkulak dalam kondisi setengah kering sekitar Rp20 ribu-25 ribu/kg, sedangkan dalam kondisi kering harganya Rp30 ribu/kg.
BI Bentuk Klaster Dengan Terobosan Teknologi
Menyikapi keresahan para petani bawang putih di sejumlah daerah di Jawa Tengah tersebut, BI Kanwil Jateng berupaya terlibat langsung dalam perkembangan pertanian bawang putih.
Bawang putih sendiri sampai saat ini memiliki kontribusi yang cukup signifikan terharap inflasi. Dengan adanya kerja sama klaster komoditas bawang putih diharapkan inflasi di Jawa Tengah dapat lebih terkendali.
Kepala BI Kanwil Jateng Iskandar Simorangkir menyampaikan, berdasarkan data historis inflasi tiga tahun terakhir, bawang putih merupakan salah satu komoditas pertanian yang paling sering menjadi penyumbang inflasi khususnya di Jateng.
Hasil pemetaan risiko inflasi menunjukkan bahwa bawang putih masuk ke dalam kuadran I sebagai komoditas yang memiliki risiko tinggi sebagai penyumbang utama inflasi.
"Hal ini terlihat dari frekuensi bawang putih yang telah menjadi penyumbang inflasi sebanyak 11 kali sejak tahun 2014, dengan bobot inflasi cukup tinggi yaitu 0,56 persen," katanya.
Selain menyumbang inflasi, komoditas bawang putih juga sangat berpengaruh terhadap neraca perdagangan Indonesia karena mayoritas pemenuhannya melalui impor.
Berdasarkan kondisi tersebut, BI menginisiasi pelaksanaan klaster program pengendalian inflasi yang merupakan pengendalian inflasi dari sisi suplai.
Untuk diketahui, sentra produksi bawang putih di Jateng berada di Kabupaten Temanggung dengan total produksi per tahun sebesar 1.973 ton atau 48 persen dari total produksi bawang putih di Jateng, disusul Kabupaten Karanganyar sebesar 984 ton/tahun, dan Kabupaten Magelang sebesar 310 ton/tahun.
Namun seiring dengan penurunan permintaan akan bawang putih lokal, produksi bawang putih di Jawa Tengah menurun tajam dari 43.219 ton pada tahun 2000 menjadi 8.109 ton pada tahun 2015.
"Untuk mengembalikan kejayaan bawang putih lokal di Jateng, kami membentuk klaster dengan terobosan teknologi pertanian melalui bibit bawang putih varietas lumbu hijau dan tawangmangu baru 'double kromosom' serta penerapan teknologi radiasi. Langkah ini telah dilaksanakan pada lahan 'demonstration plot' (demplot) seluas 0,3 hektare," katanya.
Pihaknya mengklaim, upaya tersebut dapat meningkatkan hasil panen varietas lumbu hijau sebanyak 14,8 ton/hektar dan tawangmangu baru sebanyak 20,7 ton/hektar dari produksi sebelumnya sekitar 8-10 ton/hektare.
"Penerapan 'demplot' ini sebelumnya sudah diterapkan di Kabupaten Tegal dan berhasil. Keberhasilan ini menginspirasi kami untuk melaksanakan program serupa di Kabupaten lain di Jateng," katanya.
Ketua Gabungan Kelompok Tani Setio Tani, Desa Adipuro, Kecamatan Kaliangkrik, Kabupaten Magelang Fathul Hakim mengatakan selama ini petani kesulitan akibat tidak seimbangnya biaya tanam dengan hasil yang diperoleh ketika panen.
Biaya tanam saat ini cukup tinggi. Kondisi tersebut salah satunya dipicu oleh kenaikan harga pupuk kandang. Jika pada tahun 2000-an harga pupuk kandang sekitar Rp100 ribu/truk, saat ini meningkat menjadi Rp800 ribu-1 juta/truk.
Bahkan, harga tersebut baru sampai di jalan raya, jika petani ingin pupuk tersebut diantar ke lokasi pertanian maka ada biaya lagi yang harus dikeluarkan oleh petani.
"Biaya tambahan ini bisa sampai 50 persen dari harga pupuk, jatuhnya menjadi sangat mahal," katanya.
Kebutuhan akan pupuk kandang juga tidak dapat ditekan mengingat kualitas tanaman lebih baik jika menggunakan pupuk kandang. Untuk diketahui, satu hektare lahan membutuhkan pupuk kandang sebanyak 10 ton.
Belum lagi harga benih yang juga cukup tinggi. Saat ini, harga benih bawang putih sekitar Rp45 ribu/kg, padahal untuk satu hektare lahan dibutuhkan 7 kuintal benih.
Secara keseluruhan, biaya tanam yang dibutuhkan petani pada sekali masa tanam sekitar Rp55 juta/hektare.
Berharap Ada Jaminan Harga dan Pasar
Terkait hal itu, pihaknya berharap ada jaminan harga dari Pemerintah. Harapannya agar petani memperoleh keuntungan yang sesuai dengan masa penanaman dan perawatan.
Mengenai harga jual, saat ini petani lebih banyak menjual dalam kondisi basah dengan harga Rp22.500-25.000/kg. Meski tidak menyampaikan keuntungan secara pasti, dengan menjual bawang putih kondisi basah memberikan keuntungan lebih banyak dibandingkan jual kering.
Di sisi lain, pihaknya juga berharap ada jaminan pasar bawang putih. Dengan begitu, rantai distribusi dapat dipangkas sehingga keuntungan yang diperoleh petani dapat lebih besar.
Senada, Ketua Gapoktan Tri Manunggal, Desa Kruisan, Kecamatan Klidung, Kabupaten Temanggung Budiono mengatakan saat ini banyak petani bawang putih yang beralih ke tanaman hortikultura lain karena tipisnya keuntungan bertani bawang putih.
Bahkan, ada penurunan tajam jumlah lahan bawang putih jika dibandingkan pada tahun 1990-an dengan saat ini. Jika dulu untuk dua desa yaitu Kruisan dan Petarangan jumlah lahan bawang putih mencapai 1.000 hektare, untuk saat ini turun menjadi 200 hektare.
Jika dulu dari dua desa ini ada sekitar 1.000 petani bawang putih, saat ini turun menjadi 200 petani.
"Kalau dulu menguntungkan sekali menjadi petani bawang putih, kalau sekarang tidak terlalu menguntungkan karena perbandingan biaya tanam dengan hasil panen tidak sesuai. Biaya tanam besar sedangkan hasil panen sedikit," kata petani lereng Gunung Sumbing ini.
Hampir sama dengan Gapoktan Setio Tani, harga jual bawang putih dari petani ke tengkulak dalam kondisi setengah kering sekitar Rp20 ribu-25 ribu/kg, sedangkan dalam kondisi kering harganya Rp30 ribu/kg.
BI Bentuk Klaster Dengan Terobosan Teknologi
Menyikapi keresahan para petani bawang putih di sejumlah daerah di Jawa Tengah tersebut, BI Kanwil Jateng berupaya terlibat langsung dalam perkembangan pertanian bawang putih.
Bawang putih sendiri sampai saat ini memiliki kontribusi yang cukup signifikan terharap inflasi. Dengan adanya kerja sama klaster komoditas bawang putih diharapkan inflasi di Jawa Tengah dapat lebih terkendali.
Kepala BI Kanwil Jateng Iskandar Simorangkir menyampaikan, berdasarkan data historis inflasi tiga tahun terakhir, bawang putih merupakan salah satu komoditas pertanian yang paling sering menjadi penyumbang inflasi khususnya di Jateng.
Hasil pemetaan risiko inflasi menunjukkan bahwa bawang putih masuk ke dalam kuadran I sebagai komoditas yang memiliki risiko tinggi sebagai penyumbang utama inflasi.
"Hal ini terlihat dari frekuensi bawang putih yang telah menjadi penyumbang inflasi sebanyak 11 kali sejak tahun 2014, dengan bobot inflasi cukup tinggi yaitu 0,56 persen," katanya.
Selain menyumbang inflasi, komoditas bawang putih juga sangat berpengaruh terhadap neraca perdagangan Indonesia karena mayoritas pemenuhannya melalui impor.
Berdasarkan kondisi tersebut, BI menginisiasi pelaksanaan klaster program pengendalian inflasi yang merupakan pengendalian inflasi dari sisi suplai.
Untuk diketahui, sentra produksi bawang putih di Jateng berada di Kabupaten Temanggung dengan total produksi per tahun sebesar 1.973 ton atau 48 persen dari total produksi bawang putih di Jateng, disusul Kabupaten Karanganyar sebesar 984 ton/tahun, dan Kabupaten Magelang sebesar 310 ton/tahun.
Namun seiring dengan penurunan permintaan akan bawang putih lokal, produksi bawang putih di Jawa Tengah menurun tajam dari 43.219 ton pada tahun 2000 menjadi 8.109 ton pada tahun 2015.
"Untuk mengembalikan kejayaan bawang putih lokal di Jateng, kami membentuk klaster dengan terobosan teknologi pertanian melalui bibit bawang putih varietas lumbu hijau dan tawangmangu baru 'double kromosom' serta penerapan teknologi radiasi. Langkah ini telah dilaksanakan pada lahan 'demonstration plot' (demplot) seluas 0,3 hektare," katanya.
Pihaknya mengklaim, upaya tersebut dapat meningkatkan hasil panen varietas lumbu hijau sebanyak 14,8 ton/hektar dan tawangmangu baru sebanyak 20,7 ton/hektar dari produksi sebelumnya sekitar 8-10 ton/hektare.
"Penerapan 'demplot' ini sebelumnya sudah diterapkan di Kabupaten Tegal dan berhasil. Keberhasilan ini menginspirasi kami untuk melaksanakan program serupa di Kabupaten lain di Jateng," katanya.
Pewarta : Aris Wasita
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2025
Terkait
Terpopuler - Pumpunan
Lihat Juga
"Sepenggal Kisah" BPJS Ketenagakerjaan bagi penggali kubur dan pemandi jenazah
22 November 2024 21:06 WIB