Penetapan Bantuan Parpol Gunakan UMR Lebih Realistis
Jumat, 21 Oktober 2016 19:17 WIB
Ilustrasi
Semarang, Antara Jateng - Bantuan keuangan untuk partai politik yang memiliki kursi DPR sebesar Rp108,00 per suara per tahun hanya 1,32 persen dari total kebutuhan parpol selama setahun. Tidak pelak lagi, bantuan itu dianggap terlalu kecil oleh parpol.
Begitu pula, bantuan keuangan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk partai politik (parpol) peraih kursi DPRD provinsi pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. Nilainya pun relatif kecil.
Besar kecilnya bantuan untuk parpol bergantung pada daerah masing-masing. Di Jawa Tengah, misalnya, penetapannya melalui Peraturan Gubernur Jateng Nomor 19 Tahun 2015 tentang Pedoman Tata Cara Penghitungan, Penganggaran dalam APBD dan Tertib Administrasi, Pengajuan, Penyaluran, dan Laporan Pertanggungjawaban Penggunaan Bantuan Keuangan Parpol di Provinsi Jateng.
Pada tahun anggaran 2016, Pemprov Jateng menganggarkan kembali sebesar Rp2,2 miliar. Dari jumlah tersebut, kata Ketua Harian Dewan Pimpinan Daerah (DPD) I Partai Golkar Provinsi Jateng H.M. Iqbal Wibisono, pihaknya menerima sebesar Rp250,084 juta/tahun.
Bantuan keuangan yang bersumber dari APBD Provinsi Jateng itu, menurut Iqbal, tidak mencukupi sehingga perlu partisipasi dari anggota yang duduk di eksekutif, legislatif, maupun kader lainnya. "Sumbangan ini bersifat sukarela dan tidak mengikat," katanya.
Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, besarnya sumbangan membuat partai tidak mandiri dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Namun, di sisi lain, mereka membutuhkan uang banyak untuk kegiatan operasional dan kampanye pemilu.
Ia menilai parpol hingga sekarang belum mandiri atau masih terbelenggu pada elite bermodal besar. Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2012 tentang Perubahan atas PP No. 5/2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik bertujuan menjauhkan parpol dari penguasaan pemilik uang agar bebas memperjuangkan rakyat.
Atas dasar itulah, Perludem mengusulkan penaikan bantuan keuangan negara untuk parpol secara gradual mulai 10 persen pada tahun 2016, berikutnya sebesar 15 persen, hingga 30 persen dari kebutuhan parpol pada tahun 2019.
Di lain pihak, dia memandang perlu mendorong partai politik bersikap transparan dan akuntabel; membatasi besaran sumbangan ke parpol; dan memberikan bantuan keuangan dari anggaran negara.
Penerima Subsidi
Sebagaimana diketahui, hasil Pemilu Anggota DPR RI 2014 terdapat sembilan parpol yang berhak menerima subsidi dari Pemerintah yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan yang meraih 109 kursi DPR RI dengan 23.681.471 suara pada Pemilu 2014 mendapat subsidi sebesar Rp2.557.598.868,00; Partai Golkar 91 kursi (18.432.312 suara) sebesar Rp1.990.689.696,00; Partai Gerindra 73 kursi (14.760.371 suara) sebesar Rp1.594.120.068,00.
Partai lainnya yang juga mendapat bantuan keuangan yang bersumber dari APBN, yakni Partai Demokrat 61 kursi (12.728.913 suara) Rp1.374.722.604,00; PAN 49 kursi (9.481.913 suara) mendapat bantuan sebesar Rp1.024.015.068,00.
Selanjutnya, PKB 47 kursi (11.298.957 suara) mendapat subsidi dari negara sebesar Rp1.220.287.356,00; PKS 40 kursi (8.480.204 suara) sebesar Rp915.862.032,00; dan PPP 39 kursi (8.157.488 suara) sebesar Rp881.088.704,00.
Dua partai lainnya, yakni NasDem 35 kursi (8.402.812 suara) sebesar Rp907.503.696,00; Hanura 16 (6.579.498 suara) mendapat bantuan keuangan dari negara sebesar Rp710.585.784,00.
Titi menilai bantuan itu lebih banyak merepotkan secara administrasi daripada pemanfaatnya untuk kegiatan partai politik, khususnya pendidikan politik.
Penaikan Unit Satuan
Sementara itu, politikus PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari memandang perlu menaikkan unit satuan atau standar dalam penetapan bantuan keuangan untuk partai politik.
"Yang lebih penting adalah menaikkan unit satuan rupiahnya," kata Eva K. Sundari.
Menurut Eva yang juga anggota Komisi XI (Bidang Keuangan) DPR RI, yang realistis adalah patokan yang disesuaikan dengan riil. Misalnya, upah minimum regional (UMR) yang sudah memasukkan unsur inflasi.
Eva lantas mencontohkan pemberian sumbangan kepada parpol oleh pemerintah di negara-negara Eropa yang nilainya cukup untuk operasional.
Bahkan, kata dia, di Jerman malah ada afirmasi. Oposisi di negara tersebut diberikan dana tambahan karena asumsinya "resources" (sumber) terbatas. Hal ini akan amat membantu parpol untuk bekerja untuk hal-hal yang strategis karena kebutuhan praktisnya terpenuhi.
Akan tetapi, lanjut Eva, hanya yang mendapat status legal yang disubsidi, bukan sembarang orang yang bikin perpol demi subsidi.
Berdasarkan PP No. 83/2012, disebutkan bahwa pemberian bantuan itu sebagai dana penunjang kegiatan pendidikan politik dan operasional sekretariat parpol.
Kegiatan pendidikan politik itu bertujuan meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Di samping itu, guna meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun karakter bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.
Pendidikan politik, sebagaimana ketentuan di dalam PP tersebut, berkaitan dengan kegiatan pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selain itu, pemahaman mengenai hak-hak dan kewajiban warga negara Indonesia dalam membangun etika dan budaya politik; pengaderan anggota parpol secara berjenjang dan berkelanjutan.
Formula Bermasalah
Dalam PP No. 5/2009 juncto PP No. 83/2012, disebutkan bahwa nilai bantuan per suara ditentukan dengan rumus: besaran bantuan per suara peraih kursi DPR/DPRD ditentukan oleh besaran bantuan APBN/APBD periode sebelumnya dibagi perolehan suara partai politik yang memperoleh kursi DPR/DPRD periode sebelumnya.
"Formula tersebut terkesan sangat 'matematis', padahal sebetulnya bermasalah," kata Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini.
Titi menegaskan bahwa mengaitkan harga per suara periode saat ini dengan harga per kursi periode sebelumnya tidak logis karena konversi suara dengan kursi tidak selalu berbanding lurus.
Misalnya, di Daerah Pemilihan Jawa Tengah I (Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Kabupaten Kendal, dan Kota Salatiga), PDI Perjuangan meraih dua kursi, sementara kontestan lainnya masing-masing meraih satu kursi.
Pada penghitungan tahap pertama, PDI Perjuangan meraih satu kursi dengan jumlah sebanyak 128.956 suara, berikutnya PKB sebanyak 82.221 suara, Partai NasDem (41.185 suara), Partai Gerindra (39.760 suara), Partai Golkar (36.163 suara), Partai Demokrat (32.047 suara), dan PAN (25.615 suara) masing-masing meraih satu kursi.
Selanjutnya, pada penghitungan tahap kedua, PDI Perjuangan meraih satu kursi lagi dengan jumlah 59.761 suara (vide Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor: 416/Kpts/KPU/Tahun 2014 tentang Penetapan Perolehan Kursi Parpol dan Penetapan Calon Terpilih Anggota DPR dalam Pemilu Tahun 2014).
Oleh karena itu, ketika undang-undang menetapkan besaran bantuan ditetapkan berdasarkan perolehan suara, menurut Titi, tidak perlu lagi dikaitkan dengan harga kursi, apalagi harga kursi periode sebelumnya.
Titi berpendapat bahwa penetapan harga per suara lebih baik berkaitan dengan satuan-satuan perhitungan ekonomi yang sudah lazim.
Di beberapa negara, kata dia, penetapan harga suara menggunakan upah minimal sebagai tolok ukur. Pasalnya, upah minimal itu bisa berubah setiap tahun dan berbeda di setiap daerah.
"Maka, harga suara juga bisa berubah setiap tahun dan berbeda di setiap daerah. Misalnya, ditetapkan harga suara adalah X persen dari upah minimal di daerah yang bersangkutan," katanya.
Kalau suatu daerah upah minimalnya lebih tinggi daripada daerah lain, lanjut dia, kecenderungannya anggaran daerah tersebut juga lebih besar daripada anggaran daerah lain.
"Dengan demikian, harga suara setiap daerah berbeda-beda sesuai dengan besaran upah minimal yang biasanya mencerminkan juga besaran anggaran daerah masing-masing," kata Titi.
Terkait dengan subsidi tersebut, Pemerintah pun berencana menaikkan bantuan parpol 50 kali lipat. Dengan subsidi sebesar Rp5.400,00/suara/tahun itu, diharapkan kemandirian parpol dapat terjaga, sebagaimana substansi PP No. 5/2009 juncto PP No. 83/2012.
Begitu pula, bantuan keuangan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk partai politik (parpol) peraih kursi DPRD provinsi pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. Nilainya pun relatif kecil.
Besar kecilnya bantuan untuk parpol bergantung pada daerah masing-masing. Di Jawa Tengah, misalnya, penetapannya melalui Peraturan Gubernur Jateng Nomor 19 Tahun 2015 tentang Pedoman Tata Cara Penghitungan, Penganggaran dalam APBD dan Tertib Administrasi, Pengajuan, Penyaluran, dan Laporan Pertanggungjawaban Penggunaan Bantuan Keuangan Parpol di Provinsi Jateng.
Pada tahun anggaran 2016, Pemprov Jateng menganggarkan kembali sebesar Rp2,2 miliar. Dari jumlah tersebut, kata Ketua Harian Dewan Pimpinan Daerah (DPD) I Partai Golkar Provinsi Jateng H.M. Iqbal Wibisono, pihaknya menerima sebesar Rp250,084 juta/tahun.
Bantuan keuangan yang bersumber dari APBD Provinsi Jateng itu, menurut Iqbal, tidak mencukupi sehingga perlu partisipasi dari anggota yang duduk di eksekutif, legislatif, maupun kader lainnya. "Sumbangan ini bersifat sukarela dan tidak mengikat," katanya.
Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, besarnya sumbangan membuat partai tidak mandiri dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Namun, di sisi lain, mereka membutuhkan uang banyak untuk kegiatan operasional dan kampanye pemilu.
Ia menilai parpol hingga sekarang belum mandiri atau masih terbelenggu pada elite bermodal besar. Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2012 tentang Perubahan atas PP No. 5/2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik bertujuan menjauhkan parpol dari penguasaan pemilik uang agar bebas memperjuangkan rakyat.
Atas dasar itulah, Perludem mengusulkan penaikan bantuan keuangan negara untuk parpol secara gradual mulai 10 persen pada tahun 2016, berikutnya sebesar 15 persen, hingga 30 persen dari kebutuhan parpol pada tahun 2019.
Di lain pihak, dia memandang perlu mendorong partai politik bersikap transparan dan akuntabel; membatasi besaran sumbangan ke parpol; dan memberikan bantuan keuangan dari anggaran negara.
Penerima Subsidi
Sebagaimana diketahui, hasil Pemilu Anggota DPR RI 2014 terdapat sembilan parpol yang berhak menerima subsidi dari Pemerintah yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan yang meraih 109 kursi DPR RI dengan 23.681.471 suara pada Pemilu 2014 mendapat subsidi sebesar Rp2.557.598.868,00; Partai Golkar 91 kursi (18.432.312 suara) sebesar Rp1.990.689.696,00; Partai Gerindra 73 kursi (14.760.371 suara) sebesar Rp1.594.120.068,00.
Partai lainnya yang juga mendapat bantuan keuangan yang bersumber dari APBN, yakni Partai Demokrat 61 kursi (12.728.913 suara) Rp1.374.722.604,00; PAN 49 kursi (9.481.913 suara) mendapat bantuan sebesar Rp1.024.015.068,00.
Selanjutnya, PKB 47 kursi (11.298.957 suara) mendapat subsidi dari negara sebesar Rp1.220.287.356,00; PKS 40 kursi (8.480.204 suara) sebesar Rp915.862.032,00; dan PPP 39 kursi (8.157.488 suara) sebesar Rp881.088.704,00.
Dua partai lainnya, yakni NasDem 35 kursi (8.402.812 suara) sebesar Rp907.503.696,00; Hanura 16 (6.579.498 suara) mendapat bantuan keuangan dari negara sebesar Rp710.585.784,00.
Titi menilai bantuan itu lebih banyak merepotkan secara administrasi daripada pemanfaatnya untuk kegiatan partai politik, khususnya pendidikan politik.
Penaikan Unit Satuan
Sementara itu, politikus PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari memandang perlu menaikkan unit satuan atau standar dalam penetapan bantuan keuangan untuk partai politik.
"Yang lebih penting adalah menaikkan unit satuan rupiahnya," kata Eva K. Sundari.
Menurut Eva yang juga anggota Komisi XI (Bidang Keuangan) DPR RI, yang realistis adalah patokan yang disesuaikan dengan riil. Misalnya, upah minimum regional (UMR) yang sudah memasukkan unsur inflasi.
Eva lantas mencontohkan pemberian sumbangan kepada parpol oleh pemerintah di negara-negara Eropa yang nilainya cukup untuk operasional.
Bahkan, kata dia, di Jerman malah ada afirmasi. Oposisi di negara tersebut diberikan dana tambahan karena asumsinya "resources" (sumber) terbatas. Hal ini akan amat membantu parpol untuk bekerja untuk hal-hal yang strategis karena kebutuhan praktisnya terpenuhi.
Akan tetapi, lanjut Eva, hanya yang mendapat status legal yang disubsidi, bukan sembarang orang yang bikin perpol demi subsidi.
Berdasarkan PP No. 83/2012, disebutkan bahwa pemberian bantuan itu sebagai dana penunjang kegiatan pendidikan politik dan operasional sekretariat parpol.
Kegiatan pendidikan politik itu bertujuan meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Di samping itu, guna meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun karakter bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.
Pendidikan politik, sebagaimana ketentuan di dalam PP tersebut, berkaitan dengan kegiatan pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selain itu, pemahaman mengenai hak-hak dan kewajiban warga negara Indonesia dalam membangun etika dan budaya politik; pengaderan anggota parpol secara berjenjang dan berkelanjutan.
Formula Bermasalah
Dalam PP No. 5/2009 juncto PP No. 83/2012, disebutkan bahwa nilai bantuan per suara ditentukan dengan rumus: besaran bantuan per suara peraih kursi DPR/DPRD ditentukan oleh besaran bantuan APBN/APBD periode sebelumnya dibagi perolehan suara partai politik yang memperoleh kursi DPR/DPRD periode sebelumnya.
"Formula tersebut terkesan sangat 'matematis', padahal sebetulnya bermasalah," kata Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini.
Titi menegaskan bahwa mengaitkan harga per suara periode saat ini dengan harga per kursi periode sebelumnya tidak logis karena konversi suara dengan kursi tidak selalu berbanding lurus.
Misalnya, di Daerah Pemilihan Jawa Tengah I (Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Kabupaten Kendal, dan Kota Salatiga), PDI Perjuangan meraih dua kursi, sementara kontestan lainnya masing-masing meraih satu kursi.
Pada penghitungan tahap pertama, PDI Perjuangan meraih satu kursi dengan jumlah sebanyak 128.956 suara, berikutnya PKB sebanyak 82.221 suara, Partai NasDem (41.185 suara), Partai Gerindra (39.760 suara), Partai Golkar (36.163 suara), Partai Demokrat (32.047 suara), dan PAN (25.615 suara) masing-masing meraih satu kursi.
Selanjutnya, pada penghitungan tahap kedua, PDI Perjuangan meraih satu kursi lagi dengan jumlah 59.761 suara (vide Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor: 416/Kpts/KPU/Tahun 2014 tentang Penetapan Perolehan Kursi Parpol dan Penetapan Calon Terpilih Anggota DPR dalam Pemilu Tahun 2014).
Oleh karena itu, ketika undang-undang menetapkan besaran bantuan ditetapkan berdasarkan perolehan suara, menurut Titi, tidak perlu lagi dikaitkan dengan harga kursi, apalagi harga kursi periode sebelumnya.
Titi berpendapat bahwa penetapan harga per suara lebih baik berkaitan dengan satuan-satuan perhitungan ekonomi yang sudah lazim.
Di beberapa negara, kata dia, penetapan harga suara menggunakan upah minimal sebagai tolok ukur. Pasalnya, upah minimal itu bisa berubah setiap tahun dan berbeda di setiap daerah.
"Maka, harga suara juga bisa berubah setiap tahun dan berbeda di setiap daerah. Misalnya, ditetapkan harga suara adalah X persen dari upah minimal di daerah yang bersangkutan," katanya.
Kalau suatu daerah upah minimalnya lebih tinggi daripada daerah lain, lanjut dia, kecenderungannya anggaran daerah tersebut juga lebih besar daripada anggaran daerah lain.
"Dengan demikian, harga suara setiap daerah berbeda-beda sesuai dengan besaran upah minimal yang biasanya mencerminkan juga besaran anggaran daerah masing-masing," kata Titi.
Terkait dengan subsidi tersebut, Pemerintah pun berencana menaikkan bantuan parpol 50 kali lipat. Dengan subsidi sebesar Rp5.400,00/suara/tahun itu, diharapkan kemandirian parpol dapat terjaga, sebagaimana substansi PP No. 5/2009 juncto PP No. 83/2012.
Pewarta : D.Dj. Kliwantoro
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2025
Terkait
Terpopuler - Pumpunan
Lihat Juga
"Sepenggal Kisah" BPJS Ketenagakerjaan bagi penggali kubur dan pemandi jenazah
22 November 2024 21:06 WIB