Semarang, ANTARA JATENG - Hari Jumat Pahing, 21 Juli 2017, merupakan hari bersejarah dalam perpolitikan di Tanah Air dengan lahirnya Undang-Undang Pemilihan Umum sebagai landasan hukum pesta demokrasi secara serentak pada tahun 2019.

Semula, Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden RI diselenggarakan setelah Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Hasil pemilu anggota legislatif ini menjadi persyaratan parpol atau gabungan parpol mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Sebagaimana persyaratan yang diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, pasangan calon diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam Pemilu Anggota DPR sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Namun pada tahun 2019, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan menggelar kedua pesta itu sekaligus. Sebagai konsekuensi, Pemerintah bersama DPR RI menyatukan ketiga undang-undang, yakni UU Nomor 42/2008 tentang Pemilu Presiden, UU Nomor 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu dan UU Nomor 8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, Dewan Perwakilan Daerah dan DPRD.

Undang-Undang Pemilu yang baru tampaknya mengadopsi ketentuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) dengan tambahan frasa "pada Pemilu Anggota DPR periode sebelumnya" dengan menghilangkan frasa "sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden".

Dengan demikian, partai baru yang akan ikut dalam Pemilu Anggota DPR 2019 kemungkinan kecil bisa mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pilpres 2019. Hal ini, menurut dosen Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Muria Kudus Dr H Teguh Purnomo, SH, MH. MKn, berpotensi melanggar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kendati demikian, perlu diuji di Mahkamah Konstitusi apakah UU Pemilu melanggar UUD NRI 1945 atau tidak, kata  Teguh Purnomo yang juga Koordinator Divisi Pengawasan dan Hubungan Antarlembaga Bawaslu Provinsi Jawa Tengah.

Apabila tidak ada yang mengajukan uji meteri UU Pemilu terhadap UUD NRI 1945 ke MK atau konten undang-undang tersebut tidak mengalami perubahan, parpol peserta Pemilu 2014 yang punya peluang mencalonkan pasangan calon pada pilpres mendatang tetap harus berkoalisi.

Pasalnya, tidak ada di antara 12 parpol kontestan Pemilu Anggota DPR 2014 yang meraih suara sebanyak 25 persen suara sah nasional. Begitu pula, ambang batas pencalonan presiden sebanyak 20 persen dari kursi DPR RI, tidak ada satu pun parpol mencapai persentase sebesar itu.

Perolehan suara ke-12 parpol itu, yakni Partai NasDem meraih 8.412.949 (6,73 persen) suara, PKB 11.292.151 (9,04 persen) suara, PKS 8.455.614 (6,77 persen) suara, dan PDI Perjuangan 23.673.018 (18,95 persen) suara.

Berikutnya, Partai Golkar 18.424.715 (14,75 persen) suara, Partai Gerindra 14.750.043 (11,81 persen) suara, dan Partai Demokrat 12.724.509 (10,18 persen) suara.

Selanjutnya, PAN 9.459.415 (7,57 persen) suara, PPP 8.152.957 (6,52 persen) suara, Partai Hanura 6.575.391 (5,26 persen), PBB 1.822.908 (1,45 persen) suara, dan PKPI meraih 1.142.067 (0,91 persen) suara.

    
Prabowo Bertemu SBY
Setelah Rapat Paripurna DPR RI menyetujui pengesahan RUU Pemilu menjadi UU, 21 Juli lalu, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto bertemu di Pendopo Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Kamis (27/7) malam.

Tidak pelak lagi, muncul pertanyaan apakah pertemuan itu ada kaitannya dengan rencana mereka berkoalisi mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden atau tidak? Apalagi, jumlah kursi DPR RI Partai Gerindra sebanyak 73 kursi dan Partai Demokrat sebanyak 61 kursi.

Bila mereka berkoalisi, jumlahnya menjadi 134 kursi atau 23,92 persen dari total 560 kursi DPR RI atau melebihi 20 persen (112 kursi).

Usai pertemuan, sebagaimana berita Antara (27/7), SBY menilai pertemuannya dengan Prabowo bukanlah sesuatu yang sangat luar biasa.

"Barang kali yang jadi luar biasa mungkin pertemuan terjadi setelah pada tanggal 20 Juli 2017 dalam Rapat Paripurna DPR RI, Gerindra, Demokrat, PAN, dan PKS berada dalam 'satu kubu' yang tidak setuju dikukuhkannya RUU Pemilu," kata SBY.

Menurut SBY, Demokrat bersama Gerindra bersepakat untuk terus mengawal negara ini dalam kapasitas dan posisi yang ada saat ini agar perjalanan bangsa mengarah pada arah yang benar, yakni untuk kepentingan rakyat.

Demokrat dan Gerindra sepakat bekerja sama. Kerja sama tersebut, menurut SBY, tidak perlu dalam sebuah hal yang dinamakan koalisi. Bagi kedua parpol itu yang terpenting terus menjalin komunikasi dengan baik.

Sementara itu, Prabowo Subianto mengatakan bahwa pertemuan dirinya dengan SBY dalam suasana yang prihatin.

Prabowo menekankan bahwa Gerindra dan Demokrat berpandangan saat ini telah terjadi cara-cara yang tidak sehat atau menyakiti kemampuan berpikir rakyat Indonesia yang mencemaskan.

"Terlihat sikap Demokrat, Gerindra, PAN, dan PKS itu satu dalam masalah UU Pemilu yang baru saja disahkan," kata Prabowo.

    
Memudahkan Rakyat
Lepas dari pro dan kontra, Ketua Program Magister Ilmu Politik FISIP Universitas Diponegoro Semarang Dr Drs Teguh Yuwono, M.Pol.Admin. mengatakan bahwa penerapan ambang batas pencalonan presiden 20 atau 25 persen bakal memudahkan rakyat memilih calon presiden.

Dengan ketentuan "presidential threshold" 20 persen dari kursi DPR RI atau 25 persen dari total suara sah pada Pemilu 2014, kemungkinan besar paling banyak tiga pasang calon.

Karena di antara parpol tidak bisa mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden, praktis mereka harus berkoalisi.

Apakah koalisi itu cara yang baik dalam berpolitik? Menurut dia, koalisi sebetulnya satu cara untuk penyederhanaan partai. Kalau nol persen "presidential threshold"-nya, semua orang bisa mencalonkan dan semua parpol bisa mengusung pasangan calon. Hal ini yang rumit.

Dengan demikian, kata Teguh Yuwono, ketentuan ambang batas pencalonan presiden itu lebih menguntungkan, di samping simpel, memudahkan rakyat memilih, juga lebih efisien dalam sisi anggaran karena pelaksanaannya cukup satu putaran.

Kendati demikian, meski DPR RI Jumat (21/7) dini hari, telah menyetujui pengesahan RUU Pemilu menjadi UU, undang-undang ini belum final karena kemungkinan ada pihak yang mengajukan uji materi UU Pemilu terhadap UUD NRI 1945 ke MK.

Hasil Rapat Paripuna DPR RI, menurut Teguh Yuwono, belum menjadi kepastian hukum karena masih ada upaya "judicial review" ke MK.

Bermanuver politik sah-sah saja. Namun yang harus diingat adalah palu hakim konstitusilah yang kelak putuskan apakah ketentuan ambang batas pencalonan presiden yang pernah digunakan pada Pilpres 2014 bisa diterapkan lagi pada Pilpres 2019.