Memaknai Literasi Media Digital
Selasa, 8 Agustus 2017 14:51 WIB
Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKom) Semarang Drs. Gunawan Witjaksana, M.Si. (Dok.)
Heboh penyalahgunaan media digital seakan tidak kunjung usai. Setelah beberapa waktu lalu beberapa orang terkena kecaman hingga beberapa di antaranya berujung ke pengadilan, saat ini pun peristiwa serupa terjadi lagi.
Acho, penghuni sebuah apartemen di Jakarta disidik polisi, bahkan telah dilimpahkan ke kejaksaan atas laporan developer 2 tahun silam karena dianggap mencemarkan nama baik pengelola apartemen tempat tinggalnya.
Peristiwa yang menurut Ketua Lembaga Perlindungan Konsumen Agus Pambagyo bukanlah pencemaran nama baik berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut kemungkinan akan sampai pada proses peradilan.
Bila kita cermati, sebenarnya pada kasus Acho ini yang bersangkutan sadar bahwa dia menggunakan media digital untuk mengunggah keluhannya terhadap tidak ditepatinya janji developer sesuai dengan publikasi yang pernah dia dapatkan sebelum memutuskan menempati apartemen tersebut.
Di sisi lain, dari sisi Ilmu Public Relations(PR), Acho juga telah menyampaikan keluhannya tersebut. Namun, tidak memperoleh tanggapan yang memadai. Ini pun diperkuat dengan pernyataan penghuni lainnya yang terliput berbagai media massa.
Dari sisi Ilmu PR, janji yang telah disampaikan ketika membujuk calon konsumen, haruslah diwujudkan bila institusi yang semula sudah memperoleh citra positif tersebut ingin memelihara serta mempertahankannya.
Dari sisi PR, misalnya nantinya kasus Acho ini sampai proses peradilan, terlepas menang atau kalah, tetap saja citra develpoer yang cenderung negatif.
Berbeda dengan kasus yang menimpa Acho, kita lalu ingat bagaimana ketika Gus Mus dikecam dengan kata yang sangat tidak pantas. Namun, akhirnya berujung pada permintaan maaf pengecam dan keluarga serta institusinya sehingga tidak sampai ke pengadilan.
Demikian pula, dengan akun seorang wanita yang menjelek-jelekkan Presiden RI Joko Widodo, serta ada juga di Jawa Tengah yang mengecam Ketua PBNU Said Agil Siraj, yang masih kita lihat penyelesaikan akhirnya.
Pertanyaannya, mengapa penyalahgunaan media digital masih juga terus berlangsung meskipun telah ada UU ITE? Apa yang sebaiknya dilakukan pemerintah serta masyarakat agar peristiwa serupa tidak terjadi lagi, atau setidaknya bisa diminimalkan?
Media Massa
Belajar dari kasus penyalahgunaan media digital, setidaknya bisa dipetakan dua macam pengguna, yakni: pertama, pengguna yang tahu dan sadar bahwa sebenarnya internet dengan ikutannya itu adalah media massa dengan kemampuan hebatnya sehingga dengan sadar dan sengaja mereka memanfaatkannya demi kepentingannya.
Kedua, tampaknya yang justru mayoritas, karena ketidaktahuannya akan kekuatan serta fungsi media yang mereka gunakannya tersebut.
Berdasarkan pengamatan dari kasus dugaan penyalahgunaan, tampaknya mereka beranggapan media digital tersebut adalah media komunikasi antarpribadi, terlebih bila mereka ini menggunakannya melalui jaringan pribadi (japri) dan bukan grup.
Mereka ini tidak sadar bahwa meski menggunakan jaringan pribadi, misalnya melalui unggahannya pada status akunnya, masing-masing di antara mereka punya follower (pengikut), kemudian masing-masing follower-nya mempunyai follower dan seterusnya.
Dengan demikian, tetap saja proses persebarannya akan menjadi luas dan serempak sesuai dengan sifatnya sebagai media massa.
Media massa yang setidaknya memiliki kemampuan melipatgandakan pengetahuan, tentu bisa berdampak positif. Akan tetapi, juga bisa berdampak negatif manakala informasinya tidak akurat atau berkaitan dengan orang, kelompok, atau institusi lainnya.
Intinya, kebebasan menyampaikan pendapat atau gagasan itu memang hak asasi manusia, termasuk yang tertuang dalam konstitusi kita. Namun, bila pernyataan itu merugikan pihak lain secara etika, terlebih terkait dengan masalah hukum, tentu penggunanya harus berurusan dengan masalah etika atau hukum.
Bila menyangkut etika, sebelum melontarkan pernyataan/gagasan, kata kuncinya adalah empati (kemampuan berandai-andai). Coba diandaikan sebelum melontarkan pernyataan, bagaimana seandainya yang terpapar pernyataan itu adalah kita sendiri.
Melalui cara itu kita tentu akan berhati-hati, terlebih bila menggunakan media massa, termasuk media digital atau yang populer disebut media sosial (medsos).
Selanjutnya, agar pernyataan kita tidak berdampak hukum, sebaiknya kita pelajari berbagai macam produk hukum serta peraturan yang menyangkut pemanfaatan media massa sehingga pengguna tidak terkena dampaknya kelak. Kecuali, bila kita tahu, sadar, dan telah memperhitungkan dampaknya.
Penutupan situs oleh beberapa negara, termasuk pemblokiran Telegram oleh pemerintah RI, membuktikan dampak negatif dari penyalahgunaan media digital.
Media Digital
Literasi media digital atau yang populer dengan medsos, tampaknya sudah sangat mendesak.
Yang paling sederhana adalah menyosialisasikan bahwa medsos atau internet itu termasuk media massa yang setidaknya memiliki kekuatan, antara lain, pelipat ganda pengetahuan, menghilangkan jarak ruang dan waktu, mobilitas psikologis, pengaruh mendalam (deep impact), mudah melakukan kreasi (creativity), hingga interaksi/komunikasi pararasional (tidak rasional) bisa terjadi.
Melihat kekuatan serta dampak yang terjadi bila disalahgunakan, diberlakukannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, UU No. 32/2002 tentang Penyiaran, UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19/2016, hingga UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, serta berbagai peraturan perundang-undangan di bawahnya, janganlah diartikan membatasi kebebasan, melainkan agar kita menggunakannya dengan bertanggung jawab.
Pengguna, siapa pun dia, baik institusi maupun pribadi, termasuk pengguna akun ataupun kolumnis, tidak akan berurusan dengan etika serta hukum, manakala apa yang dinyatakan atau ditulisnya disertai dengan data serta referensi yang akurat, serta demi kepentingan banyak orang, dan menghindari fitnah serta informasi yang menyesatkan.
Dalam bahasa hukum, setiap UU yang telah diundangkan, masyarakat diharuskan untuk mengerti serta memahami. Namun, mengambil bahasa komunikasi maka berbagai sosialisasi terhadap berbagai UU, termasuk kemampuan media massa, perlu dilakukan.
Bila perlu bentuknya adalah semacam sandiwara atau yang sekarang terkenal dengan istilah sinetron yang mendidik tetapi tetap menarik.
Kita tentu ingat serta rindu dengan berbagai sinetron sarat pesan pembangunan, baik keluarga berencana, transmigrasi, maupun kesehatan, pada masa lalu, seperti Jendela Rumah Kita, dan sebagainya yang apik sekaligus menarik dan enak untuk ditonton, serta tanpa terasa pesan yang dibawakannya pun sampai kepada masyarakat.
*) Penulis adalah dosen dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang.
Acho, penghuni sebuah apartemen di Jakarta disidik polisi, bahkan telah dilimpahkan ke kejaksaan atas laporan developer 2 tahun silam karena dianggap mencemarkan nama baik pengelola apartemen tempat tinggalnya.
Peristiwa yang menurut Ketua Lembaga Perlindungan Konsumen Agus Pambagyo bukanlah pencemaran nama baik berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut kemungkinan akan sampai pada proses peradilan.
Bila kita cermati, sebenarnya pada kasus Acho ini yang bersangkutan sadar bahwa dia menggunakan media digital untuk mengunggah keluhannya terhadap tidak ditepatinya janji developer sesuai dengan publikasi yang pernah dia dapatkan sebelum memutuskan menempati apartemen tersebut.
Di sisi lain, dari sisi Ilmu Public Relations(PR), Acho juga telah menyampaikan keluhannya tersebut. Namun, tidak memperoleh tanggapan yang memadai. Ini pun diperkuat dengan pernyataan penghuni lainnya yang terliput berbagai media massa.
Dari sisi Ilmu PR, janji yang telah disampaikan ketika membujuk calon konsumen, haruslah diwujudkan bila institusi yang semula sudah memperoleh citra positif tersebut ingin memelihara serta mempertahankannya.
Dari sisi PR, misalnya nantinya kasus Acho ini sampai proses peradilan, terlepas menang atau kalah, tetap saja citra develpoer yang cenderung negatif.
Berbeda dengan kasus yang menimpa Acho, kita lalu ingat bagaimana ketika Gus Mus dikecam dengan kata yang sangat tidak pantas. Namun, akhirnya berujung pada permintaan maaf pengecam dan keluarga serta institusinya sehingga tidak sampai ke pengadilan.
Demikian pula, dengan akun seorang wanita yang menjelek-jelekkan Presiden RI Joko Widodo, serta ada juga di Jawa Tengah yang mengecam Ketua PBNU Said Agil Siraj, yang masih kita lihat penyelesaikan akhirnya.
Pertanyaannya, mengapa penyalahgunaan media digital masih juga terus berlangsung meskipun telah ada UU ITE? Apa yang sebaiknya dilakukan pemerintah serta masyarakat agar peristiwa serupa tidak terjadi lagi, atau setidaknya bisa diminimalkan?
Media Massa
Belajar dari kasus penyalahgunaan media digital, setidaknya bisa dipetakan dua macam pengguna, yakni: pertama, pengguna yang tahu dan sadar bahwa sebenarnya internet dengan ikutannya itu adalah media massa dengan kemampuan hebatnya sehingga dengan sadar dan sengaja mereka memanfaatkannya demi kepentingannya.
Kedua, tampaknya yang justru mayoritas, karena ketidaktahuannya akan kekuatan serta fungsi media yang mereka gunakannya tersebut.
Berdasarkan pengamatan dari kasus dugaan penyalahgunaan, tampaknya mereka beranggapan media digital tersebut adalah media komunikasi antarpribadi, terlebih bila mereka ini menggunakannya melalui jaringan pribadi (japri) dan bukan grup.
Mereka ini tidak sadar bahwa meski menggunakan jaringan pribadi, misalnya melalui unggahannya pada status akunnya, masing-masing di antara mereka punya follower (pengikut), kemudian masing-masing follower-nya mempunyai follower dan seterusnya.
Dengan demikian, tetap saja proses persebarannya akan menjadi luas dan serempak sesuai dengan sifatnya sebagai media massa.
Media massa yang setidaknya memiliki kemampuan melipatgandakan pengetahuan, tentu bisa berdampak positif. Akan tetapi, juga bisa berdampak negatif manakala informasinya tidak akurat atau berkaitan dengan orang, kelompok, atau institusi lainnya.
Intinya, kebebasan menyampaikan pendapat atau gagasan itu memang hak asasi manusia, termasuk yang tertuang dalam konstitusi kita. Namun, bila pernyataan itu merugikan pihak lain secara etika, terlebih terkait dengan masalah hukum, tentu penggunanya harus berurusan dengan masalah etika atau hukum.
Bila menyangkut etika, sebelum melontarkan pernyataan/gagasan, kata kuncinya adalah empati (kemampuan berandai-andai). Coba diandaikan sebelum melontarkan pernyataan, bagaimana seandainya yang terpapar pernyataan itu adalah kita sendiri.
Melalui cara itu kita tentu akan berhati-hati, terlebih bila menggunakan media massa, termasuk media digital atau yang populer disebut media sosial (medsos).
Selanjutnya, agar pernyataan kita tidak berdampak hukum, sebaiknya kita pelajari berbagai macam produk hukum serta peraturan yang menyangkut pemanfaatan media massa sehingga pengguna tidak terkena dampaknya kelak. Kecuali, bila kita tahu, sadar, dan telah memperhitungkan dampaknya.
Penutupan situs oleh beberapa negara, termasuk pemblokiran Telegram oleh pemerintah RI, membuktikan dampak negatif dari penyalahgunaan media digital.
Media Digital
Literasi media digital atau yang populer dengan medsos, tampaknya sudah sangat mendesak.
Yang paling sederhana adalah menyosialisasikan bahwa medsos atau internet itu termasuk media massa yang setidaknya memiliki kekuatan, antara lain, pelipat ganda pengetahuan, menghilangkan jarak ruang dan waktu, mobilitas psikologis, pengaruh mendalam (deep impact), mudah melakukan kreasi (creativity), hingga interaksi/komunikasi pararasional (tidak rasional) bisa terjadi.
Melihat kekuatan serta dampak yang terjadi bila disalahgunakan, diberlakukannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, UU No. 32/2002 tentang Penyiaran, UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19/2016, hingga UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, serta berbagai peraturan perundang-undangan di bawahnya, janganlah diartikan membatasi kebebasan, melainkan agar kita menggunakannya dengan bertanggung jawab.
Pengguna, siapa pun dia, baik institusi maupun pribadi, termasuk pengguna akun ataupun kolumnis, tidak akan berurusan dengan etika serta hukum, manakala apa yang dinyatakan atau ditulisnya disertai dengan data serta referensi yang akurat, serta demi kepentingan banyak orang, dan menghindari fitnah serta informasi yang menyesatkan.
Dalam bahasa hukum, setiap UU yang telah diundangkan, masyarakat diharuskan untuk mengerti serta memahami. Namun, mengambil bahasa komunikasi maka berbagai sosialisasi terhadap berbagai UU, termasuk kemampuan media massa, perlu dilakukan.
Bila perlu bentuknya adalah semacam sandiwara atau yang sekarang terkenal dengan istilah sinetron yang mendidik tetapi tetap menarik.
Kita tentu ingat serta rindu dengan berbagai sinetron sarat pesan pembangunan, baik keluarga berencana, transmigrasi, maupun kesehatan, pada masa lalu, seperti Jendela Rumah Kita, dan sebagainya yang apik sekaligus menarik dan enak untuk ditonton, serta tanpa terasa pesan yang dibawakannya pun sampai kepada masyarakat.
*) Penulis adalah dosen dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang.
Pewarta : Drs. Gunawan Witjaksana, M.Si. *)
Editor :
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
Pakar sebut Surya Paloh terapkan "The Game Theory in Communication"
01 November 2019 19:49 WIB, 2019
Terpopuler - Spektrum
Lihat Juga
Chamdawati, kisah pejuang sampah dari Kudus yang gigih sadarkan masyarakat
29 November 2024 10:20 WIB
FODOR's No List 2025 dan tantangan mewujudkan pariwisata berkualitas di Indonesia
23 November 2024 23:32 WIB