Semarang, (Antaranews Jateng) - Moda transportasi massal merupakan sektor pelayanan publik yang sangat vital di kota besar, termasuk Semarang yang sudah memiliki Bus Rapid Transit (BRT) Transsemarang.

Sebagai moda transportasi massal yang diandalkan di Kota Semarang, BRT Transsemarang kini sudah mengoperasikan enam koridor, dua koridor di antaranya baru resmi dioperasikan pada tahun ini.

Empat koridor yang sudah lebih dulu, yakni Koridor I melayani rute Mangkang-Penggaron, Koridor II rute Terminal Terboyo-Sisemut, Ungaran, Koridor III rute Pelabuhan-Sisingamaraja, dan Koridor IV rute Cangkiran-Bandara.

Dua koridor yang baru dioperasikan menyusul tahun ini, yakni Koridor V melayani rute Meteseh-PRPP dan Koridor VI yang menghubungkan akses Universitas Negeri Semarang (Unnes) Gunungpati dengan Universitas Diponegoro Semarang (Tembalang).

Sejak dioperasikan 2010 sampai sekarang, berbagai pengembangan telah dilakukan pengelola, yakni Badan Layanan Umum (BLU) UPTD Trans Semarang dengan pengoperasian masing-masing koridor yang dikerjasamakan pihak ketiga.

Koridor I dioperasikan oleh PT Trans Semarang, Koridor II dioperatori PT Surya Kusuma Semarang, Koridor III oleh PT Mekar Flamboyan SM Jaya, dan Koridor IV dioperasikan oleh PT Matra Semar Semarang.

Sementara dua koridor BRT Transsemarang yang baru resmi beroperasi tahun ini, yakni Koridor V dan VI dioperasikan oleh PT Minas Makmur Jaya.

Beragam komplain juga mewarnai pelayanan BRT Transsemarang, mulai keluhan sopir yang ugal-ugalan, waktu tunggu armada yang masih lama, pelayanan petugas, hingga fasilitas yang dirasa kurang oleh masyarakat.

Tak main-main, BLU UPTD Trans Semarang pun mengakui dari hasil evaluasi hingga triwulan ketiga tahun ini ada 459 keluhan yang masuk dari konsumen dan sudah dilakukan tindak lanjut untuk pembenahan.

Seperti diungkapkan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BLU UPTD Trans Semarang Ade Bhakti bahwa keluhan terbanyak dari 15 item keluhan adalah perilaku sopir, seperti ugal-ugalan, merokok di dalam bus, hingga berkata kasar.

"Sopir yang ugal-ugalan, dan sebagainya kami rekomendasikan untuk diberhentikan dan sudah dilakukan. Kami lakukan `blacklist` terhadap 22 nama sopir dan mengeluarkan 28 petugas tiket yang melanggar," tegas Ade.

Tindakan tegas yang dilakukan ternyata berdampak terhadap meningkatnya jumlah penumpang sehingga ke depannya BLU UPTD Trans Semarang berencana membuka dua koridor baru, yakni Koridor VII dan VIII.

Rencananya, Koridor VII yang melayani rute Teminal Terboyo-Balai Kota Semarang dan Koridor VIII yang melayani Cangkiran-Jalan Pemuda Semarang akan dioperasikan BLU UPTD Transsemarang pada 2018.

Rencana Pembangunan

Seiring dengan pengembangan Transsemarang, muncul rencana pembangunan sistem moda transportasi baru berbasis rel, yakni Light Rail Transit (LRT) di Kota Semarang untuk mengatasi kepadatan kendaraan.

Beragam pro dan kontra atas pengoperasian LRT muncul, antara lain karena pembangunannya yang menelan biaya besar yang automatis tidak cukup jika hanya ditanggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Semarang.

Pakar transportasi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang Djoko Setijowarno menghitung estimasi pembangunan LRT membutuhkan anggaran kurang lebih Rp500 miliar/kilometer alias sangat mahal.

Jika diasumsikan mau membangun sejauh 30 km berarti sudah memakan anggaran Rp15 triliun, sementara APBD Kota Semarang setiap tahunnya hanya berkisar Rp4 triliun.

Bahkan, mantan Kepala Laboratorium Transportasi Unika Soegijapranata Semarang itu menyarankan lebih baik uang sebanyak itu untuk mengembangkan koridor BRT Transsemarang ketimbang untuk membangun LRT.

Pertimbangan lain, berkaca dari Bandung dan Surabaya yang sudah memiliki perencanaan matang untuk LRT sejak lima tahun lalu sampai sekarang belum apa-apa, apalagi Semarang yang baru saja memulai.

Pendapat itu didukung oleh kalangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Semarang yang menilai tidak mungkin hanya mengandalkan APBD Kota Semarang untuk membangun LRT sehingga dibutuhkan dukungan pusat.

Sebagaimana ditegaskan Wakil Ketua DPRD Kota Semarang Joko Santoso bahwa lebih baik Pemerintah Kota Semarang mengoptimalkan pelayanan BRT Transsemarang yang sudah ada daripada membangun LRT.

Bahkan, politikus Partai Gerindra itu beranggapan keberadaan LRT belum terlalu dibutuhkan melihat kondisi transportasi di Kota Semarang yang jumlah penggunanya masih bisa ditangani angkutan transportasi yang ada.

"Kecuali, jika pengguna angkutan umum yang sudah ada luar biasa. Artinya, sudah tidak memenuhi lagi. Bolehlah dibangun LRT atau sejenisnya. Sementara ini kan memang belum mendesak dibangun," kata Joko.

Optimalisasi BRT Transsemarang tidak cukup dengan menambah jumlah koridor, melainkan harus dilakukan secara menyeluruh dengan membangun sistem transportasi yang terpadu, seperti adanya "feeder" (angkutan pengumpan).

Selama ini, diakui Ketua DPRD Kota Semarang Supriyadi, keberadaan angkutan kota (angkot) sudah semakin terdesak menghadapi persaingan, baik dengan adanya BRT Transsemarang maupun kian maraknya transportasi "online".

Untuk itulah, politikus PDI Perjuangan itu menyarankan untuk memberdayakan angkot sebagai "feeder", yakni angkutan pengumpan yang menghubungkan masyarakat di permukiman dengan "shelter-shelter" BRT Transsemarang.