Semarang (Antaranews Jateng) - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Semarang memberikan tiga rekomendasi untuk menyelesaikan persoalan eks-karyawan Sri Ratu Pasaraya Semarang yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

"Kami telah mendengarkan paparan kedua belah pihak, dari karyawan maupun manajemen Sri Ratu. Hasilnya, kami rekomendasikan tiga hal untuk penyelesaian pembayaran pesangon," kata Ketua Komisi D DPRD Kota Semarang Laser Narindro di Semarang, Selasa.

Para eks-karyawan Sri Ratu Pasaraya Semarang menggelar aksi di depan DPRD Kota Semarang, Selasa, untuk menuntut dibayarkannya pesangon sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.

Hal tersebut diungkapkan politikus Partai Demokrat itu saat beraudiensi yang dilakukan para eks-karyawan Sri Ratu Pasaraya Semarang di Ruang Rapat Komisi D DPRD Kota Semarang untuk membahas pesangon yang dituntut eks-karyawan.

Pertama, kata Laser, meminta dilakukan penyelesaian secara internal antara manajemen dengan karyawan dengan pembayaran pesangon diselesaikan maksimal April 2018, sebagaimana anjuran dari Dinas Tenaga Kerja Kota Semarang.

"Kedua, ini usulan teknis. Dari total karyawan yang terkena PHK, sebanyak 222 karyawan menerima sistem dicicil (pesangon). Sisanya yang menolak, kami rekomendasikan dicicil perorangan hingga selesai, bukan dicicil per bulan," katanya.

Rekomendasi ketiga, kata dia, berkaitan dengan satu karyawan yang telah menempuh jalur hukum hingga proses kasasi di Mahkamah Agung yang sudah menetapkan putusan `inkracht` sehingga manajemen Sri Ratu harus segera membayarkannya.

"Kami mempersilakan manajemen untuk merapatkannya terlebih dulu. Nantinya, mereka akan melakukan mediasi sendiri dengan karyawan terkait dengan kemampuan perusahaan dalam menyelesaikan pembayaran pesangon," katanya.

Sementara itu, kuasa hukum manajemen Sri Ratu Pasaraya Semarang Osward Feby Lawalata menyebutkan jumlah karyawan yang terkena PHK pada Desember 2017 ada sebanyak 286 orang, dan 77 karyawan menolak pembayaran pesangon dengan dicicil.

"Awalnya, ada 77 orang yang menolak pembayaran pesangon dengan dicicil. Belakangan, 12 orang menerima, berarti masih ada 65 karyawan yang menghendaki pembayaran pesangon dilakukan dalam satu kali," katanya.

Diakuinya, Sri Ratu sebenarnya tidak ingin memberhentikan karyawan, tetapi dalam kurun waktu lima tahun kondisi bisnis ritel terus menurun, dan dari delapan Sri Ratu Pasaraya, sudah tujuh di antaranya yang ditutup.

"Sri Ratu Pasaraya di Pekalongan, Purwokerto, Tegal, Madiun, Kediri, dan lainnya telah ditutup, masih menyisakan Sri Ratu Pemuda Semarang. Karena memang tidak mampu menanggung biaya operasional," katanya.

Namun, kata dia, manajemen Sri Ratu masih mempunyai itikad baik terhadap karyawannya, dibuktikan dengan adanya jaminan kesehatan BPJS, uang penghargaan masa kerja, dan uang pesangon meski prosesnya harus dibayar dengan mengangsur.

"Perusahaan sudah lebih dari tiga tahun mengalami kerugian sehingga tidak memiliki kemampuan untuk membayar pesangon karyawan dalam satu kali pembayaran. Tetapi, kami komitmen pasti membayar pesangon," tegasnya.