Narasi batu dan kaostis-estetis Komunitas Lima Gunung
Senin, 10 September 2018 14:21 WIB
Kirab pesta pernikahan desa "Sih Sekar Gunung" digarap Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang, di kawasan Gunung Merapi, Minggu (9/9). (Foto: Hari Atmoko)
Saking paham terhadap jeroan Komunitas Lima Gunung, budayawan dan sineas Garin Nugroho menyebut gerakan kebudayaan yang dilakoni seniman petani gunung-gunung di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, itu sebagai "chaotic aesthetic".
Yang paling mudah dilihat atas kaostis-estetis komunitas itu melalui berbagai pementasan kesenian yang mereka garap dengan mengeksplorasi kekayaan panggung alam desa, seperti halnya diunggah melalui agenda tahunan, Festival Lima Gunung. Festival tersebut pada tahun ini sudah masuk yang ke 17 kali.
Pertemuan-pertemuan petinggi komunitas dari desa-desa di kawasan Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh, Kabupaten Magelang, itu pun menghadirkan sematan tersebut. Mungkin, mereka yang awam terhadap komunitas itu akan sulit mengerti, apalagi memahami apa yang diomongkan karena terkesan kaostis, namun jika disimak ternyata bercampur estetis.
Begitu pula dengan relasi pergaulan komunitas yang menerima siapa saja. Mereka tidak memandang latar belakang identitas. Komunitas itu menerima apa saja karakter orang dengan beban persoalan dan ragam gembira masing-masing, sebagaimana dunia pewayangan yang kaya, rumit, dan lantip menggenggam nilai kehidupan.
Komunitas itu memiliki gaya rapat yang unikum gaul desa, Mungkin hal itu yang membuat mereka terus menerus memperkuat apa yang telah dirumuskan filsuf Prancis Henri Bergson (1859-1941) sebagai "elan vital" atau energi hidup.
Tokoh sentral Komunitas Lima Gunung yang juga pemikir dan budayawan Sutanto Mendut membahasakan energi hidup kepada pegiatnya yang kalangan warga dusun itu sebagai kearifan dan kebijakan.
Sebutan itu, kiranya menjadi mudah dipahami anggota komunitas karena telah menjadi cara hidup mereka sehari-hari yang oleh penulis Bre Redana disebut kesatuan raga, pikiran, dan batin. Pemahanan atas energi hidup warga komunitas itu, termasuk dalam aplikasi manajemen desa untuk gerakan kebudayaannya.
Kearifan dan kebijakan yang berkelindan dengan manajemen desa bukan hal baru bagi mereka. Karakter sosial desa itu oase ampuh untuk menyirami mereka dalam bersiasat terhadap kebutuhan kekinian. Persoalan dan tantangan kekinian diolah menjadi anugerah desa karena solusinya saling berterima dengan bahagia dan legawa. Mereka menambatkan lagi kekuatan nilai legawa dan bahagia itu sebagai "tan kena kinaya opo". Suatu hal yang tak terkira dan tak cukup mampu untuk utuh dikatakan.
Terkini
Ihwal terkini atas bahagia kaostis-estetis dihadirkan komunitas saat pesta pernikahan desa, Agatha Sekar Harumawarni dan Huda Wijaya Kusuma. Sekar adalah anak seniman patung Gunung Merapi Ismanto-Murtiyah, sedangkan Huda, anak pasangan Parwodo dan Warsiyem dari Lampung.
Keduanya berjumpa pertama kali melalui alam milenial media sosial dan berlanjut ke pelaminan. Pesta perayaan pernikahan keduanya digelar keluarga mempelai bersama warga sekitar.
Komunitas Lima Gunung meletakkan pesta bahagia desa itu dengan nama pernikahan "Sih Sekar Gunung". Maknanya, sebagai kegembiraan bersama karena kasih sayang bersumber dari alam gunung.?Pilihan kata "Sih" diujarkan pegiat komunitas yang juga fotografer tinggal di Yogyakarta, Tarko Sudiarno, dalam rapat komunitas menjelang acara pernikahan. Komunitas lalu merumuskan menjadi pernikahan "Sih Sekar Gunung".
Rangkaian acara dilaksanakan di dua lokasi pada Minggu (9/9). Secara keagamaan acara berlangsung di Sendang Waringin, sumber air yang dikembangkan warga menjadi taman doa bernama "Ibu Maria Tuking Katentreman" di Dusun Grogol, Desa Ngargomulyo, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Ibadah pernikahan dipimpin tiga rohaniwan, yakni Romo Sindhunata, Romo Kirjito, dan Romo Juned Triatmo.
Pesta gembira pernikahan dilanjutkan di Sanggar Gadung Mlati Dusun Ngampel, Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, tempat sehari-hari Ismanto melahirkan berbagai karya patung dari batu Merapi. Jarak Sendang Waringin ke Sanggar Gadung Mlati sekitar tujuh kilometer.
Kegembiraan bukan sekadar karena kirab meriah dengan pengantin ditandu dan diiringi kesenian rakyat gangsir ngentir serta para seniman Komunitas Lima Gunung, atau prosesi panggih pengantin yang dinarasikan melalui cerita carangan wayang orang yang memikat oleh para seniman Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor, pimpinan Sitras Anjilin.
Kemeriahan juga bukan hanya karena saat arak-arakan itu, ada gunungan raksasa berupa aneka sayuran dan pala kependem hasil kesuburan pertanian bumi Merapi, kehadiran sejumlah pasangan duta wisata Kota Magelang, acara ritual kontemporer desa "Ondo Bumi", pembacaan puisi tentang kura-kura dan dua angsa oleh penyair Wicahyanti Rejeki, serta pementasan secara "medley" (urut-urutan) kesenian soreng, topeng ireng, dan kuda lumping.
Suasana meriah pesta pernikahan desa itu juga karena kedekatan pergaulan di antara anggota komunitas, para tamu undangan, dan warga setempat, termasuk sejumlah kelompok warga yang mengatur kelancaran hilir mudik lalu lintas kendaraan melewati desa itu. Belum lagi soal suguhan makanan dan minuman yang berkecukupan mereka sajikan. Kemeriahan dan kegembiraan kaostis-estetis adalah konstruksi pergelaran yang dibangun Komunitas Lima Gunung bersama semua yang hadir.
Koordinasi spontan dan improvisasi para seniman dalam bagian-bagian sajian kesenian dan dukungan suasana lokasi yang ditata dengan pajangan berbagai instalasi berbahan alami, juga menjadi bagian kehadiran kaostis-estetis pementasan kontemporer komunitas itu dalam pesta pernikahan desa itu.
Dihadirkan
Narasi tentang batu yang menjadi bahan baku karya seni Ismanto dihadirkan Sindhunata dan narasi tentang relief kura-kura yang dihadirkan Sutanto Mendut, juga menjadi kesatuan untuh atas pergelaran "Sih Sekar Gunung". Perenungan tentang batu itu seakan mengisi kedalaman makna atas pernikahan mereka.
Sindhunata yang juga penulis dan budayawan menghadirkan narasi batu melalui khutbah di Sendang Waringin berlanskap lereng Gunung Merapi, sedangkan Sutanto menghadirkan pemaknaan relief kura-kura Candi Mendut dan Candi Pendem melalui ular-ular kepada pengantin di Sanggar Gadung Mlati.
Keduanya membawa narasi masing-masing kepada muara pemaknaan atas perjalanan kesenimanan Ismanto dan kompleksitas sejarah kehidupan keluarganya. Harapannya, hal itu menjadi inspirasi bagi kedua mempelai dalam membawa bahtera rumah tangganya.
Sebagaimana Ismanto yang mengkreasi batu-batu Merapi menjadi karya indah berupa patung, begitulah pengantin itu akan menjalani kehidupan berkeluarga. Mereka harus memahat berbagai tantangan menjadi kehidupan keluarga yang indah, penuh rahmat, dan membahagiakan.
Berbagai patung karya Ismanto terpajang menjadi koleksi di beberapa kota di Indonesia, termasuk di "Omah Petroek" Pakem, Kabupaten Sleman, Yogyakarta yang dikelola Sindhunata dan di "Studio Mendut" yang dikelola Sutanto Mendut..
Sejumlah hasil karya lainnya Ismanto, berupa patung Ki Hajar Dewantara dipajang di depan toko buku di salah satu perempatan jalan utama Kota Yogyakarta, patung Petrus Kanisius di depan Seminari Mertoyudan Kabupaten Magelang, dan patung Maria berlatar belakang panorama Gunung Merapi di taman doa Dusun Gantang, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang.
Beberapa bulan lalu, Ismanto juga menempatkan karyanya berupa patung Maria ukuran raksasa di kaki Bukit Anjongan, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat. Saat ini ia juga sedang menggarap patung Tiga Raja dari Timur untuk kapela di Secang, Kabupaten Magelang.
"Perjalanan hidup Ismanto tidak mudah. Yang dibuat Ismanto tidak mudah. Batu-batu yang keras, kalau mau dengan kreasi, dibentuk menjadi indah. Penderitaan dan tantangan bisa dipahat menjadi karya indah. Jangan menyerah," kata Sindhunata.
Sutanto bercerita tentang perjalanan Ismanto di Komunitas Lima Gunung dan menghubungkannya dengan relief kura-kura di Candi Mendut dan Candi Pendem. Candi Mendut sekitar 100 meter barat "Studio Mendut", sedangkan Candi Pendem tak jauh dari rumah Ismanto di Desa Sengi.
Setelah menjabat Ketua Komunitas Lima Gunung, Ismanto sekitar tujuh tahun menjalani pengembaraan kesenimanan di luar komunitas. Akan tetapi, ia mengaku tak pernah pergi dari semangat dan inspirasi komunitas itu. Begitu pula, ia tetap saja tak lepas dari inspirasi dan pemikiran kritis Sutanto Mendut yang dianggap sebagai bapaknya dan sesepuh keluarganya.
Ibarat kisah pewayangan, ia memainkan sosok Bambang Ekalawya yang ingin pandai memanah seperti Arjuna atau Palguna. Ia belajar ilmu memanah melalui inspirasi patung Begawan Durna. Oleh karena kepandaian memanah, Bambang Ekalawya kemudian mendapat julukan Palgunadi.
Ismanto hadir lagi di komunitasnya itu untuk acara mantu anaknya. Komunitas pun merespons dengan gelora batin gembira sebagai bagian perjalanan gerakan kebudayaan para seniman petani gunung-gunung itu, hingga melahirkan garapan pesta "Sih Sekar Gunung".
Sutanto menyebut kaotis-estetis komunitasnya dengan pribadi-pribadi pegiatnya sebagaimana dunia pewayangan dengan kekayaan dan pergulatan nilai kehidupan manusia, alam, wangsit, dan berkah melimpah Sang Penguasa Jagat.
"Kita bersama belajar dari wayang, bertemu dengan apa yang dinamakan arif dan bijaksana," ucap dia dalam suatu pertemuan menjelang pesta pernikahan desa itu.
Sebelum ular-ular di hadapan mempelai dalam pesta itu, dalang Sus Anggoro menyerahkan wayang bedhawang (kura-kura) kepada Sutanto. Sang budayawan pun kemudian bertutur tentang kura-kura sebagaimana relief Candi Mendut dan Candi Pendem.
Ia menyebut kura-kura hidup dalam usia panjang yang maknanya suatu karya menjadi penting bagi kehidupan jangka panjang. Kura-kura di relief Candi Pendem menggambarkan penyangga dunia yang artinya ia kuat memikul beban karena kuatnya memaknai perjalanan kehidupan.
Relief di Candi Mendut, dikisahkan Sutanto bahwa kura-kura ingin melihat keadaan bumi dari angkasa. Dengan sebatang kayu,?ia dibawa terbang oleh dua ekor burung. Ia jatuh karena terpana sorakan orang-orang yang melihatnya di angkasa.
"Ini suatu peringatan untuk kita semua, supaya kita tetap rendah hati dan menep ketika di puncak sukses, " ucap dia.
Komunitas Lima Gunung makin menep dengan kekayaan narasi hidup dan Ismanto pun menyebut bahagia untuk daya hidup komunitasnya.
Yang paling mudah dilihat atas kaostis-estetis komunitas itu melalui berbagai pementasan kesenian yang mereka garap dengan mengeksplorasi kekayaan panggung alam desa, seperti halnya diunggah melalui agenda tahunan, Festival Lima Gunung. Festival tersebut pada tahun ini sudah masuk yang ke 17 kali.
Pertemuan-pertemuan petinggi komunitas dari desa-desa di kawasan Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh, Kabupaten Magelang, itu pun menghadirkan sematan tersebut. Mungkin, mereka yang awam terhadap komunitas itu akan sulit mengerti, apalagi memahami apa yang diomongkan karena terkesan kaostis, namun jika disimak ternyata bercampur estetis.
Begitu pula dengan relasi pergaulan komunitas yang menerima siapa saja. Mereka tidak memandang latar belakang identitas. Komunitas itu menerima apa saja karakter orang dengan beban persoalan dan ragam gembira masing-masing, sebagaimana dunia pewayangan yang kaya, rumit, dan lantip menggenggam nilai kehidupan.
Komunitas itu memiliki gaya rapat yang unikum gaul desa, Mungkin hal itu yang membuat mereka terus menerus memperkuat apa yang telah dirumuskan filsuf Prancis Henri Bergson (1859-1941) sebagai "elan vital" atau energi hidup.
Tokoh sentral Komunitas Lima Gunung yang juga pemikir dan budayawan Sutanto Mendut membahasakan energi hidup kepada pegiatnya yang kalangan warga dusun itu sebagai kearifan dan kebijakan.
Sebutan itu, kiranya menjadi mudah dipahami anggota komunitas karena telah menjadi cara hidup mereka sehari-hari yang oleh penulis Bre Redana disebut kesatuan raga, pikiran, dan batin. Pemahanan atas energi hidup warga komunitas itu, termasuk dalam aplikasi manajemen desa untuk gerakan kebudayaannya.
Kearifan dan kebijakan yang berkelindan dengan manajemen desa bukan hal baru bagi mereka. Karakter sosial desa itu oase ampuh untuk menyirami mereka dalam bersiasat terhadap kebutuhan kekinian. Persoalan dan tantangan kekinian diolah menjadi anugerah desa karena solusinya saling berterima dengan bahagia dan legawa. Mereka menambatkan lagi kekuatan nilai legawa dan bahagia itu sebagai "tan kena kinaya opo". Suatu hal yang tak terkira dan tak cukup mampu untuk utuh dikatakan.
Terkini
Ihwal terkini atas bahagia kaostis-estetis dihadirkan komunitas saat pesta pernikahan desa, Agatha Sekar Harumawarni dan Huda Wijaya Kusuma. Sekar adalah anak seniman patung Gunung Merapi Ismanto-Murtiyah, sedangkan Huda, anak pasangan Parwodo dan Warsiyem dari Lampung.
Keduanya berjumpa pertama kali melalui alam milenial media sosial dan berlanjut ke pelaminan. Pesta perayaan pernikahan keduanya digelar keluarga mempelai bersama warga sekitar.
Komunitas Lima Gunung meletakkan pesta bahagia desa itu dengan nama pernikahan "Sih Sekar Gunung". Maknanya, sebagai kegembiraan bersama karena kasih sayang bersumber dari alam gunung.?Pilihan kata "Sih" diujarkan pegiat komunitas yang juga fotografer tinggal di Yogyakarta, Tarko Sudiarno, dalam rapat komunitas menjelang acara pernikahan. Komunitas lalu merumuskan menjadi pernikahan "Sih Sekar Gunung".
Rangkaian acara dilaksanakan di dua lokasi pada Minggu (9/9). Secara keagamaan acara berlangsung di Sendang Waringin, sumber air yang dikembangkan warga menjadi taman doa bernama "Ibu Maria Tuking Katentreman" di Dusun Grogol, Desa Ngargomulyo, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Ibadah pernikahan dipimpin tiga rohaniwan, yakni Romo Sindhunata, Romo Kirjito, dan Romo Juned Triatmo.
Pesta gembira pernikahan dilanjutkan di Sanggar Gadung Mlati Dusun Ngampel, Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, tempat sehari-hari Ismanto melahirkan berbagai karya patung dari batu Merapi. Jarak Sendang Waringin ke Sanggar Gadung Mlati sekitar tujuh kilometer.
Kegembiraan bukan sekadar karena kirab meriah dengan pengantin ditandu dan diiringi kesenian rakyat gangsir ngentir serta para seniman Komunitas Lima Gunung, atau prosesi panggih pengantin yang dinarasikan melalui cerita carangan wayang orang yang memikat oleh para seniman Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor, pimpinan Sitras Anjilin.
Kemeriahan juga bukan hanya karena saat arak-arakan itu, ada gunungan raksasa berupa aneka sayuran dan pala kependem hasil kesuburan pertanian bumi Merapi, kehadiran sejumlah pasangan duta wisata Kota Magelang, acara ritual kontemporer desa "Ondo Bumi", pembacaan puisi tentang kura-kura dan dua angsa oleh penyair Wicahyanti Rejeki, serta pementasan secara "medley" (urut-urutan) kesenian soreng, topeng ireng, dan kuda lumping.
Suasana meriah pesta pernikahan desa itu juga karena kedekatan pergaulan di antara anggota komunitas, para tamu undangan, dan warga setempat, termasuk sejumlah kelompok warga yang mengatur kelancaran hilir mudik lalu lintas kendaraan melewati desa itu. Belum lagi soal suguhan makanan dan minuman yang berkecukupan mereka sajikan. Kemeriahan dan kegembiraan kaostis-estetis adalah konstruksi pergelaran yang dibangun Komunitas Lima Gunung bersama semua yang hadir.
Koordinasi spontan dan improvisasi para seniman dalam bagian-bagian sajian kesenian dan dukungan suasana lokasi yang ditata dengan pajangan berbagai instalasi berbahan alami, juga menjadi bagian kehadiran kaostis-estetis pementasan kontemporer komunitas itu dalam pesta pernikahan desa itu.
Dihadirkan
Narasi tentang batu yang menjadi bahan baku karya seni Ismanto dihadirkan Sindhunata dan narasi tentang relief kura-kura yang dihadirkan Sutanto Mendut, juga menjadi kesatuan untuh atas pergelaran "Sih Sekar Gunung". Perenungan tentang batu itu seakan mengisi kedalaman makna atas pernikahan mereka.
Sindhunata yang juga penulis dan budayawan menghadirkan narasi batu melalui khutbah di Sendang Waringin berlanskap lereng Gunung Merapi, sedangkan Sutanto menghadirkan pemaknaan relief kura-kura Candi Mendut dan Candi Pendem melalui ular-ular kepada pengantin di Sanggar Gadung Mlati.
Keduanya membawa narasi masing-masing kepada muara pemaknaan atas perjalanan kesenimanan Ismanto dan kompleksitas sejarah kehidupan keluarganya. Harapannya, hal itu menjadi inspirasi bagi kedua mempelai dalam membawa bahtera rumah tangganya.
Sebagaimana Ismanto yang mengkreasi batu-batu Merapi menjadi karya indah berupa patung, begitulah pengantin itu akan menjalani kehidupan berkeluarga. Mereka harus memahat berbagai tantangan menjadi kehidupan keluarga yang indah, penuh rahmat, dan membahagiakan.
Berbagai patung karya Ismanto terpajang menjadi koleksi di beberapa kota di Indonesia, termasuk di "Omah Petroek" Pakem, Kabupaten Sleman, Yogyakarta yang dikelola Sindhunata dan di "Studio Mendut" yang dikelola Sutanto Mendut..
Sejumlah hasil karya lainnya Ismanto, berupa patung Ki Hajar Dewantara dipajang di depan toko buku di salah satu perempatan jalan utama Kota Yogyakarta, patung Petrus Kanisius di depan Seminari Mertoyudan Kabupaten Magelang, dan patung Maria berlatar belakang panorama Gunung Merapi di taman doa Dusun Gantang, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang.
Beberapa bulan lalu, Ismanto juga menempatkan karyanya berupa patung Maria ukuran raksasa di kaki Bukit Anjongan, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat. Saat ini ia juga sedang menggarap patung Tiga Raja dari Timur untuk kapela di Secang, Kabupaten Magelang.
"Perjalanan hidup Ismanto tidak mudah. Yang dibuat Ismanto tidak mudah. Batu-batu yang keras, kalau mau dengan kreasi, dibentuk menjadi indah. Penderitaan dan tantangan bisa dipahat menjadi karya indah. Jangan menyerah," kata Sindhunata.
Sutanto bercerita tentang perjalanan Ismanto di Komunitas Lima Gunung dan menghubungkannya dengan relief kura-kura di Candi Mendut dan Candi Pendem. Candi Mendut sekitar 100 meter barat "Studio Mendut", sedangkan Candi Pendem tak jauh dari rumah Ismanto di Desa Sengi.
Setelah menjabat Ketua Komunitas Lima Gunung, Ismanto sekitar tujuh tahun menjalani pengembaraan kesenimanan di luar komunitas. Akan tetapi, ia mengaku tak pernah pergi dari semangat dan inspirasi komunitas itu. Begitu pula, ia tetap saja tak lepas dari inspirasi dan pemikiran kritis Sutanto Mendut yang dianggap sebagai bapaknya dan sesepuh keluarganya.
Ibarat kisah pewayangan, ia memainkan sosok Bambang Ekalawya yang ingin pandai memanah seperti Arjuna atau Palguna. Ia belajar ilmu memanah melalui inspirasi patung Begawan Durna. Oleh karena kepandaian memanah, Bambang Ekalawya kemudian mendapat julukan Palgunadi.
Ismanto hadir lagi di komunitasnya itu untuk acara mantu anaknya. Komunitas pun merespons dengan gelora batin gembira sebagai bagian perjalanan gerakan kebudayaan para seniman petani gunung-gunung itu, hingga melahirkan garapan pesta "Sih Sekar Gunung".
Sutanto menyebut kaotis-estetis komunitasnya dengan pribadi-pribadi pegiatnya sebagaimana dunia pewayangan dengan kekayaan dan pergulatan nilai kehidupan manusia, alam, wangsit, dan berkah melimpah Sang Penguasa Jagat.
"Kita bersama belajar dari wayang, bertemu dengan apa yang dinamakan arif dan bijaksana," ucap dia dalam suatu pertemuan menjelang pesta pernikahan desa itu.
Sebelum ular-ular di hadapan mempelai dalam pesta itu, dalang Sus Anggoro menyerahkan wayang bedhawang (kura-kura) kepada Sutanto. Sang budayawan pun kemudian bertutur tentang kura-kura sebagaimana relief Candi Mendut dan Candi Pendem.
Ia menyebut kura-kura hidup dalam usia panjang yang maknanya suatu karya menjadi penting bagi kehidupan jangka panjang. Kura-kura di relief Candi Pendem menggambarkan penyangga dunia yang artinya ia kuat memikul beban karena kuatnya memaknai perjalanan kehidupan.
Relief di Candi Mendut, dikisahkan Sutanto bahwa kura-kura ingin melihat keadaan bumi dari angkasa. Dengan sebatang kayu,?ia dibawa terbang oleh dua ekor burung. Ia jatuh karena terpana sorakan orang-orang yang melihatnya di angkasa.
"Ini suatu peringatan untuk kita semua, supaya kita tetap rendah hati dan menep ketika di puncak sukses, " ucap dia.
Komunitas Lima Gunung makin menep dengan kekayaan narasi hidup dan Ismanto pun menyebut bahagia untuk daya hidup komunitasnya.
Pewarta : M. Hari Atmoko
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
Terpopuler - Spektrum
Lihat Juga
Kisah Warung Makan Selera Jenderal di Demak, berawal dari celetukan pelanggan
31 October 2024 10:27 WIB