Urgensi perempuan awasi pemilu
Rabu, 23 Januari 2019 6:47 WIB
Ketua Bawaslu Kabupaten Purworejo Nur Kholiq. (Foto: Dok. Pribadi)
Deklarasi pengawasan pemilu partisipatif bertajuk "Pengawasan Rakyat Semesta" yang dilakukan 600 perempuan di Kabupaten Purworejo, beberapa waktu lalu cukup memantik rasa penasaran sekaligus kekaguman.
Sesungguhnya, peristiwa itu tidak bisa sekadar dibaca sebagai kegiatan seremonial. Lebih dari itu, acara yang diinisiasi oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bekerja sama dengan Korpri itu sebenarnya mengandung pesan-pesan penting dalam diskursus kepemiluan sekaligus isu pengarusutamaan gender dalam pembangunan.
Deklarasi tersebut seharusnya mampu memantik kesadaran para pemangku kepentingan, bahwa keterlibatan kaum perempuan di ranah publik pada zaman milenial ini suatu keniscayaan.
Termasuk pula semangat keterlibatan kaum perempuan dalam penyelenggaraan pemilu, terutama di bidang pengawasan, memiliki makna urgensi yang tidak perlu diperdebatkan lagi.
Sedikitnya ada dua argumentasi yang bisa diuraikan untuk bisa menemukan nilai urgensi dari deklarasi perempuan awasi pemilu di Kabupaten Purworejo.
Pertama, deklarasi perempuan awasi pemilu itu bisa dilihat sebagai lompatan progresif dalam gerak perjuangan pengarusutamaan gender. Pasalnya, deklarasi itu menjadi pelecut untuk menguatkan kesetaraan gender dalam praktik demokrasi.
Panduan
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pangarusutamaan Gender telah memberikan berbagai panduan dan prasyarat teknis.
Salah satu komponen kunci pengarusutamaan gender adanya "political will" dan "good will" dari lembaga-lembaga pemerintah untuk mengejawantahkannya pada setiap nafas dan gerak pembangunan di Indonesia.
Sinergi antara Bawaslu dengan Korpri yang kemudian menginisiasi deklarasi tersebut menjadi bukti terwujudnya prasyarat tersebut.
Bawaslu sebagai lembaga pemerintah yang diberikan tugas penyelenggaraan pemilu menunjukkan kesadaran tentang pentingnya pengarusutamaan gender dalam langgam pengembangan pengawasan pemilu partisipatif.
Semangat Bawaslu itu menemukan titik konvergensinya dengan kepentingan Korpri. Organisasi wadah Aparatur Sipil Negara (ASN) ini berikhiar untuk memberikan kontribusi dalam pemberdayaan perempuan.
Unsur ketua Tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (TP PKK), Pembina Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), serta aktivis perempuan dari Gabungan Organisasi Wanita (GOW) didorong untuk ikut mengambil peran langsung dalam penyelenggaraan pemilu.
Inpres juga mengukur keberhasilan pengarusutamaan gender dilihat dari komponen kunci berupa dorongan dari masyarakat madani kepada pemerintah untuk berpartisipasi.
Keterlibatan kaum perempuan dari TP PKK, Pembina PAUD, dan aktivis GOW dari seluruh wilayah di Kabupaten Purworejo itu menjadi bukti adanya kesadaran pengarusutamaan gender, bahkan dari komponen terbawah di tingkat desa.
Partisipasi itu dilaksanakan dalam wujud diskusi dan sosialisasi pengawasan pemilu serta aksi nyata dalam bentuk deklarasi untuk berkomitmen berperan aktif melakukan pengawasan pemilu.
Dalam studi tentang gender dikenal teori Equilibrium. Teori ini menekankan pada konsep relasi kemitraan dan keharmonisan antara perempuan dan laki-laki.
Peran laki-laki dan perempuan ini tidak boleh dipertentangkan. Keduanya justru harus bekerja sama dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.
R.H. Tawney, salah satu tokoh teori ini, menyebutkan bahwa keragaman peran apakah karena faktor biologis, etnis, aspirasi, minat, pilihan, atau budaya pada hakikatnya realita kehidupan manusia.
Hubungan laki-laki dan perempuan bukan dilandasi dikotomis, bukan pula struktural fungsional, tetapi lebih dilandasi kebutuhan kebersamaan guna membangun kemitraan yang harmonis, karena setiap pihak punya kelebihan sekaligus kekurangan, kekuatan sekaligus kelemahan yang perlu diisi dan dilengkapi pihak lain dalam kerja sama yang setara.
Dengan demikian, sudah barang tentu perempuan dan laki-laki memiliki peran yang setara dalam ruang-ruang demokrasi di negeri ini.
Peran penyelenggaraan pemilu beserta seluruh pranatanya tidak boleh hanya dimonopoli oleh kaum laki-laki.
Justru hubungan kemitraan dan harmonisasi dalam peran yang setara dan saling melengkapi harus diimplementasikan untuk mewujudkan Pemilu 2019 yang berintegritas dan bermartabat.
Memastikan
Kedua, nilai urgensi perempuan awasi pemilu bisa juga dibaca dari usaha-usaha untuk memastikan bahwa pemilu benar-benar dilaksanakan sebagai sarana kedaulatan rakyat, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 Angka (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017.
Kesadaran kaum perempuan perlu untuk didorong melakukan aksi nyata guna memastikan aspirasi mereka benar-benar tersalurkan dalam hajatan demokrasi Pemilu 2019. Artinya, keterlibatan kaum perempuan dalam pengawasan pemilu dilakukan dalam rangka mengawal kedaulatan rakyat kaum perempuan itu terwakilkan kepada orang-orang yang tepat.
Pemikiran itu sekiranya tidak berlebihan jika melihat komposisi daftar pemilih tetap (DPT) tingkat nasional.
Hasil penyempurnaan DPT tahap II yang diputuskan oleh KPU akhir 2018, jumlah pemilih pada 2019 mencapai 192.828.520 jiwa. Dari total jumlah pemilih tersebut, pemilih perempuan jumlahnya lebih besar, yaitu 96.557.004 jiwa dibandingkan dengan pemilih laki-laki yang berjumlah 96.271.476 jiwa. Artinya pemilih perempuan jauh lebih banyak 286.568 jiwa.
Dengan demikian, ada alasan yang sangat kuat bagi kaum perempuan untuk terlibat langsung dalam Pemilu 2019. Kepentingan pemilih perempuan sangat besar untuk bisa langsung mengakses proses penyelenggaraan pemilu. Jika tidak, mereka yang sebenarnya pemegang mayoritas suara hanya akan menjadi objek untuk melegitimasi hasil pemilu.
Dua alasan itu sekiranya sudah lebih dari cukup untuk memberikan pemahaman kepada publik bahwa gagasan perempuan awasi pemilu tidak boleh sekadar menjadi wacana. Tidak juga sekadar bunga-bunga seremonial yang mengamuflase agar penyelenggaraan pemilu terkesan berbasis pada kesetaraan gender.
Program pengawasan partisipatif yang digagas Bawaslu, salah satunya melalui varian "Perempuan Awasi Pemilu" harus didorong menjadi suatu gerakan masif. Bagian dari suatu gerakan demokrasi yang didukung oleh seluruh elemen perempuan, aktivis perempuan, organisasi perempuan untuk memastikan kedaulatan kaum perempuan benar-benar terjaga dalam pemilu serentak tahun ini. Semoga!
*) Penulis Ketua Bawaslu Kabupaten Purworejo
Sesungguhnya, peristiwa itu tidak bisa sekadar dibaca sebagai kegiatan seremonial. Lebih dari itu, acara yang diinisiasi oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bekerja sama dengan Korpri itu sebenarnya mengandung pesan-pesan penting dalam diskursus kepemiluan sekaligus isu pengarusutamaan gender dalam pembangunan.
Deklarasi tersebut seharusnya mampu memantik kesadaran para pemangku kepentingan, bahwa keterlibatan kaum perempuan di ranah publik pada zaman milenial ini suatu keniscayaan.
Termasuk pula semangat keterlibatan kaum perempuan dalam penyelenggaraan pemilu, terutama di bidang pengawasan, memiliki makna urgensi yang tidak perlu diperdebatkan lagi.
Sedikitnya ada dua argumentasi yang bisa diuraikan untuk bisa menemukan nilai urgensi dari deklarasi perempuan awasi pemilu di Kabupaten Purworejo.
Pertama, deklarasi perempuan awasi pemilu itu bisa dilihat sebagai lompatan progresif dalam gerak perjuangan pengarusutamaan gender. Pasalnya, deklarasi itu menjadi pelecut untuk menguatkan kesetaraan gender dalam praktik demokrasi.
Panduan
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pangarusutamaan Gender telah memberikan berbagai panduan dan prasyarat teknis.
Salah satu komponen kunci pengarusutamaan gender adanya "political will" dan "good will" dari lembaga-lembaga pemerintah untuk mengejawantahkannya pada setiap nafas dan gerak pembangunan di Indonesia.
Sinergi antara Bawaslu dengan Korpri yang kemudian menginisiasi deklarasi tersebut menjadi bukti terwujudnya prasyarat tersebut.
Bawaslu sebagai lembaga pemerintah yang diberikan tugas penyelenggaraan pemilu menunjukkan kesadaran tentang pentingnya pengarusutamaan gender dalam langgam pengembangan pengawasan pemilu partisipatif.
Semangat Bawaslu itu menemukan titik konvergensinya dengan kepentingan Korpri. Organisasi wadah Aparatur Sipil Negara (ASN) ini berikhiar untuk memberikan kontribusi dalam pemberdayaan perempuan.
Unsur ketua Tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (TP PKK), Pembina Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), serta aktivis perempuan dari Gabungan Organisasi Wanita (GOW) didorong untuk ikut mengambil peran langsung dalam penyelenggaraan pemilu.
Inpres juga mengukur keberhasilan pengarusutamaan gender dilihat dari komponen kunci berupa dorongan dari masyarakat madani kepada pemerintah untuk berpartisipasi.
Keterlibatan kaum perempuan dari TP PKK, Pembina PAUD, dan aktivis GOW dari seluruh wilayah di Kabupaten Purworejo itu menjadi bukti adanya kesadaran pengarusutamaan gender, bahkan dari komponen terbawah di tingkat desa.
Partisipasi itu dilaksanakan dalam wujud diskusi dan sosialisasi pengawasan pemilu serta aksi nyata dalam bentuk deklarasi untuk berkomitmen berperan aktif melakukan pengawasan pemilu.
Dalam studi tentang gender dikenal teori Equilibrium. Teori ini menekankan pada konsep relasi kemitraan dan keharmonisan antara perempuan dan laki-laki.
Peran laki-laki dan perempuan ini tidak boleh dipertentangkan. Keduanya justru harus bekerja sama dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.
R.H. Tawney, salah satu tokoh teori ini, menyebutkan bahwa keragaman peran apakah karena faktor biologis, etnis, aspirasi, minat, pilihan, atau budaya pada hakikatnya realita kehidupan manusia.
Hubungan laki-laki dan perempuan bukan dilandasi dikotomis, bukan pula struktural fungsional, tetapi lebih dilandasi kebutuhan kebersamaan guna membangun kemitraan yang harmonis, karena setiap pihak punya kelebihan sekaligus kekurangan, kekuatan sekaligus kelemahan yang perlu diisi dan dilengkapi pihak lain dalam kerja sama yang setara.
Dengan demikian, sudah barang tentu perempuan dan laki-laki memiliki peran yang setara dalam ruang-ruang demokrasi di negeri ini.
Peran penyelenggaraan pemilu beserta seluruh pranatanya tidak boleh hanya dimonopoli oleh kaum laki-laki.
Justru hubungan kemitraan dan harmonisasi dalam peran yang setara dan saling melengkapi harus diimplementasikan untuk mewujudkan Pemilu 2019 yang berintegritas dan bermartabat.
Memastikan
Kedua, nilai urgensi perempuan awasi pemilu bisa juga dibaca dari usaha-usaha untuk memastikan bahwa pemilu benar-benar dilaksanakan sebagai sarana kedaulatan rakyat, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 Angka (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017.
Kesadaran kaum perempuan perlu untuk didorong melakukan aksi nyata guna memastikan aspirasi mereka benar-benar tersalurkan dalam hajatan demokrasi Pemilu 2019. Artinya, keterlibatan kaum perempuan dalam pengawasan pemilu dilakukan dalam rangka mengawal kedaulatan rakyat kaum perempuan itu terwakilkan kepada orang-orang yang tepat.
Pemikiran itu sekiranya tidak berlebihan jika melihat komposisi daftar pemilih tetap (DPT) tingkat nasional.
Hasil penyempurnaan DPT tahap II yang diputuskan oleh KPU akhir 2018, jumlah pemilih pada 2019 mencapai 192.828.520 jiwa. Dari total jumlah pemilih tersebut, pemilih perempuan jumlahnya lebih besar, yaitu 96.557.004 jiwa dibandingkan dengan pemilih laki-laki yang berjumlah 96.271.476 jiwa. Artinya pemilih perempuan jauh lebih banyak 286.568 jiwa.
Dengan demikian, ada alasan yang sangat kuat bagi kaum perempuan untuk terlibat langsung dalam Pemilu 2019. Kepentingan pemilih perempuan sangat besar untuk bisa langsung mengakses proses penyelenggaraan pemilu. Jika tidak, mereka yang sebenarnya pemegang mayoritas suara hanya akan menjadi objek untuk melegitimasi hasil pemilu.
Dua alasan itu sekiranya sudah lebih dari cukup untuk memberikan pemahaman kepada publik bahwa gagasan perempuan awasi pemilu tidak boleh sekadar menjadi wacana. Tidak juga sekadar bunga-bunga seremonial yang mengamuflase agar penyelenggaraan pemilu terkesan berbasis pada kesetaraan gender.
Program pengawasan partisipatif yang digagas Bawaslu, salah satunya melalui varian "Perempuan Awasi Pemilu" harus didorong menjadi suatu gerakan masif. Bagian dari suatu gerakan demokrasi yang didukung oleh seluruh elemen perempuan, aktivis perempuan, organisasi perempuan untuk memastikan kedaulatan kaum perempuan benar-benar terjaga dalam pemilu serentak tahun ini. Semoga!
*) Penulis Ketua Bawaslu Kabupaten Purworejo
Pewarta : Nur Kholiq *)
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
Terpopuler - Pumpunan
Lihat Juga
"Sepenggal Kisah" BPJS Ketenagakerjaan bagi penggali kubur dan pemandi jenazah
22 November 2024 21:06 WIB