Sejarawan: Banyak yang salah sebut "Jas Merah"
Rabu, 15 Mei 2019 15:25 WIB
Narasumber Bedah Pidato Bung Karno "Djangan Sekali-kali Meninggalkan Sedjarah" yang diadakan di Perpustakaan Nasional Jakarta, Rabu (15/5/2019), dari kiri ke kanan: penulis Roso Daras, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Negeri 11 Maret Surakarta Suyatno dan sejarawan Rushdy Hoesein. (ANTARA/Dewanto Samodro)
Jakarta (ANTARA) - Sejarawan Rushdy Hoesein mengatakan masih banyak orang, termasuk para pejabat, yang mengutip "Jas Merah", akronim/singkatan dari kutipan pidato Presiden Pertama Indonesia Sukarno sebagai "Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah".
"Padahal yang betul adalah 'Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah'. Ada makna yang berbeda antara 'melupakan' dengan 'meninggalkan'," kata Rushdy dalam bedah pidato Bung Karno yang diadakan di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Rabu.
Rushdy kemudian mencontohkan dia memiliki kunci rumah. Setiap pergi meninggalkan rumahnya dia tidak akan pernah meninggalkan kunci rumahnya, meskipun mungkin suatu ketika lupa membawa.
Rushdy mengatakan pidato "Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah" yang disampaikan pada 17 Agustus 1966 merupakan pidato kepresidenan Bung Karno yang terakhir karena pada 1967 dia bukan lagi presiden.
"Dalam pidato tersebut, Bung Karno menyebutkan antara lain Indonesia menghadapi tahun yang gawat, konflik sesama anak bangsa, dan seterusnya," tuturnya.
Menurut Rushdy, opini masyarakat setelah itu memang terkesan dan dikesankan seolah-olah terkait pada kondisi bangsa yang progresif revolusioner.
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta Suyatno mengatakan pidato-pidato Bung Karno merupakan suatu rentetan dan memiliki benang merah.
"Pidato-pidato Bung Karno menggambarkan perjalanan revolusi Indonesia dari masa ke masa. Revolusi Indonesia mengalami masa-masa krusial dan juga mengalami kemenangan," katanya.
Sementara itu, penulis Roso Daras mengatakan perlu ada upaya menjembatani pemikiran-pemikiran Bung Karno dengan generasi muda.
"Harus ada penafsiran terhadap pidato-pidato dan karya-karya Bung Karno dalam konteks kekinian sehingga generasi muda bisa memahami Bung Karno," kata penulis "Aktualisasi Pidato Terakhir Bung Karno, Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah" itu.
"Padahal yang betul adalah 'Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah'. Ada makna yang berbeda antara 'melupakan' dengan 'meninggalkan'," kata Rushdy dalam bedah pidato Bung Karno yang diadakan di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Rabu.
Rushdy kemudian mencontohkan dia memiliki kunci rumah. Setiap pergi meninggalkan rumahnya dia tidak akan pernah meninggalkan kunci rumahnya, meskipun mungkin suatu ketika lupa membawa.
Rushdy mengatakan pidato "Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah" yang disampaikan pada 17 Agustus 1966 merupakan pidato kepresidenan Bung Karno yang terakhir karena pada 1967 dia bukan lagi presiden.
"Dalam pidato tersebut, Bung Karno menyebutkan antara lain Indonesia menghadapi tahun yang gawat, konflik sesama anak bangsa, dan seterusnya," tuturnya.
Menurut Rushdy, opini masyarakat setelah itu memang terkesan dan dikesankan seolah-olah terkait pada kondisi bangsa yang progresif revolusioner.
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta Suyatno mengatakan pidato-pidato Bung Karno merupakan suatu rentetan dan memiliki benang merah.
"Pidato-pidato Bung Karno menggambarkan perjalanan revolusi Indonesia dari masa ke masa. Revolusi Indonesia mengalami masa-masa krusial dan juga mengalami kemenangan," katanya.
Sementara itu, penulis Roso Daras mengatakan perlu ada upaya menjembatani pemikiran-pemikiran Bung Karno dengan generasi muda.
"Harus ada penafsiran terhadap pidato-pidato dan karya-karya Bung Karno dalam konteks kekinian sehingga generasi muda bisa memahami Bung Karno," kata penulis "Aktualisasi Pidato Terakhir Bung Karno, Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah" itu.
Pewarta : Dewanto Samodro
Editor : Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
Komunitas Mahima dan Bale Agung angkat kisah cinta ibunda dan ayahnda Soekarno
29 April 2018 16:36 WIB, 2018