BMKG: Rentetan gempa 7 Juli harus diwaspadai
Selasa, 7 Juli 2020 18:14 WIB
Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono saat jumpa pers di Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta, Jumat (30/8/2019). ANTARA/Dewanto Samodro
Jakarta (ANTARA) - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan peristiwa rentetan gempa Bumi yang terjadi sepanjang Selasa (7/7) dengan magnitudo di atas M5,0 patut diwaspadai karena bisa saja pertanda akan terjadi gempa besar.
"Hal ini sulit diprediksi, tetapi dengan adanya rentetan aktivitas gempa ini tentu kita harus mewaspadai," kata Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Daryono di Jakarta, Selasa.
Dia menjelaskan dalam ilmu gempa atau seismologi, khususnya pada teori tipe gempa, ada tipe gempa besar yang kejadiannya diawali dengan gempa pendahuluan atau gempa pembuka.
Setiap gempa besar, kata dia, hampir dipastikan didahului dengan rentetan aktivitas gempa pembuka. Akan tetapi rentetan gempa yang terjadi di suatu wilayah juga belum tentu berakhir dengan munculnya gempa besar.
"Inilah karakteristik ilmu gempa yang memiliki ketidakpastian (uncertainty) yang tinggi yang penting juga untuk kita pahami," tambah dia.
Lebih lanjut dia menjelaskan sebenarnya apa yang terjadi di beberapa wilayah gempa tersebut adalah manifestasi pelepasan medan tegangan pada sumber gempa masing-masing.
Masing-masing sumber gempa mengalami akumulasi medan tegangan sendiri-sendiri, mencapai stress maksimum sendiri-sendiri, hingga selanjutnya mengalami rilis energi sebagai gempa juga sendiri sendiri.
"Ini konsekuensi logis daerah dengan sumber gempa sangat aktif dan kompleks. Kita memang memiliki banyak sumber gempa sehingga jika terjadi gempa di tempat yang relatif berdekatan lokasinya dan terjadi dalam waktunya yang relatif berdekatan maka itu hanya kebetulan saja," katanya.
Selain itu, kata dia, gempa Banten selatan dan di selatan Garut bersumber dari sumber gempa yang berbeda.
Gempa Banten selatan terjadi akibat adanya deformasi batuan pada slab Lempeng Indo-Australia di Zona Benioff di kedalaman 87 kilometer, sementara Gempa di selatan Garut dipicu oleh adanya deformasi batuan pada slab Lempeng Indo-Australia di Zona Megathrust.
Ia mengatakan gempa yang terjadi secara beruntun pada Selasa (7/7) 2020 tidak memiliki kaitan dengan gempa yang terjadi sebelumnya, baik gempa Laut Jawa di utara Jepara berkekuatan M6,1 yang terjadi pagi dinihari pukul pukul 05.54.44 WIB.
Selain itu, juga tidak terkait dengan gempa di selatan Banten M5,1 pukul 11.44.14 WIB, gempa di selatan Garut M 5,0 pukul 12.17.51 WIB, dan gempa di selatan Selat Sunda M 5,2 pada 13.16.22 WIB, katena berada pada sumber gempa yang berbeda, kedalaman yang berbeda, dan juga berbeda mekanismenya, demikian Daryono.
Baca juga: Pascagempa M 6,1, penyaluran BBM dan LPG di Jepara berjalan normal
Baca juga: Jepara diguncang gempa dengan magnitudo 6,1
"Hal ini sulit diprediksi, tetapi dengan adanya rentetan aktivitas gempa ini tentu kita harus mewaspadai," kata Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Daryono di Jakarta, Selasa.
Dia menjelaskan dalam ilmu gempa atau seismologi, khususnya pada teori tipe gempa, ada tipe gempa besar yang kejadiannya diawali dengan gempa pendahuluan atau gempa pembuka.
Setiap gempa besar, kata dia, hampir dipastikan didahului dengan rentetan aktivitas gempa pembuka. Akan tetapi rentetan gempa yang terjadi di suatu wilayah juga belum tentu berakhir dengan munculnya gempa besar.
"Inilah karakteristik ilmu gempa yang memiliki ketidakpastian (uncertainty) yang tinggi yang penting juga untuk kita pahami," tambah dia.
Lebih lanjut dia menjelaskan sebenarnya apa yang terjadi di beberapa wilayah gempa tersebut adalah manifestasi pelepasan medan tegangan pada sumber gempa masing-masing.
Masing-masing sumber gempa mengalami akumulasi medan tegangan sendiri-sendiri, mencapai stress maksimum sendiri-sendiri, hingga selanjutnya mengalami rilis energi sebagai gempa juga sendiri sendiri.
"Ini konsekuensi logis daerah dengan sumber gempa sangat aktif dan kompleks. Kita memang memiliki banyak sumber gempa sehingga jika terjadi gempa di tempat yang relatif berdekatan lokasinya dan terjadi dalam waktunya yang relatif berdekatan maka itu hanya kebetulan saja," katanya.
Selain itu, kata dia, gempa Banten selatan dan di selatan Garut bersumber dari sumber gempa yang berbeda.
Gempa Banten selatan terjadi akibat adanya deformasi batuan pada slab Lempeng Indo-Australia di Zona Benioff di kedalaman 87 kilometer, sementara Gempa di selatan Garut dipicu oleh adanya deformasi batuan pada slab Lempeng Indo-Australia di Zona Megathrust.
Ia mengatakan gempa yang terjadi secara beruntun pada Selasa (7/7) 2020 tidak memiliki kaitan dengan gempa yang terjadi sebelumnya, baik gempa Laut Jawa di utara Jepara berkekuatan M6,1 yang terjadi pagi dinihari pukul pukul 05.54.44 WIB.
Selain itu, juga tidak terkait dengan gempa di selatan Banten M5,1 pukul 11.44.14 WIB, gempa di selatan Garut M 5,0 pukul 12.17.51 WIB, dan gempa di selatan Selat Sunda M 5,2 pada 13.16.22 WIB, katena berada pada sumber gempa yang berbeda, kedalaman yang berbeda, dan juga berbeda mekanismenya, demikian Daryono.
Baca juga: Pascagempa M 6,1, penyaluran BBM dan LPG di Jepara berjalan normal
Baca juga: Jepara diguncang gempa dengan magnitudo 6,1
Pewarta : Desi Purnamawati
Editor : Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
Jelang akhir tahun, realisasi PBB Kota Semarang baru tercapai 82,78 persen
28 October 2024 21:27 WIB
Inisiatif pertumbuhan dan integrasi infrastruktur gas bumi nasional jaga kinerja PGN semester I 2024
18 September 2024 17:45 WIB