Anni: UU Cipta Kerja bakal persulit nasib nelayan kecil
Jumat, 9 Oktober 2020 9:46 WIB
Ketua DPP Aliansi Nelayan Indonesia Riyono. ANTARA/HO-DPW PKS Jawa Tengah
Semarang (ANTARA) - Aliansi Nelayan Indonesia (Anni) mengkhawatirkan nasib nelayan dan masyarakat pesisir atas berlakunya Omnibus Law UU Cipta Kerja karena regulasi tersebut bakal berimplikasi pada tata kelola wilayah laut, kesejahteraan nelayan, dan kedaulatan negara.
"Dalam draf final Tim Perumus Baleg DPR sebagai bahan akhir menuju pengambilan putusan tingkat 1 di Baleg dijelaskan bahwa status nelayan kecil sudah tidak berbasis kepemilikan kapal yang memiliki bobot maksimal 10 GT, tapi hanya berbasis kegiatan tangkap ikan. Bahkan definisi nelayan makin kabur karena bersifat umum," kata Ketua DPP Ani, Riyono, dalam keterangan tertulis yang diterima di Semarang, Jumat.
Implikasinya, menurut dia, nasib dan kehidupan nelayan tradisional dan kecil bakal makin sengsara.
Isu lain yang krusial adalah kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (ZWP3K) bisa diambil alih oleh Pemerintah Pusat dengan berlindung pada PSN (proyek strategis nasional).
"Ini jelas sangat merugikan daerah dan mengancam kelestarian wilayah pesisir, sumber saya alam, dan berpotensi merusak laut sehingga nasib nelayan akan makin susah," kata Riyono yang juga anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah itu.
UU Cipta Kerja, menurut dia, juga memberikan ruang laut untuk dikuasai oleh kapal asing. Dalam UU Nomor 45/2009 tentang Perikanan disebutkan bahwa kapal berbendara asing harus menggunakan ABK dalam negeri minimal 70 persen, sedangkan pada UU Cipta Kerja, pasal tersebut malah dihapuskan.
"Laut di ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia) bisa makin sulit mengontrolnya," katanya.
Dengan regulasi tersebut, Anni mengkhawatirkan operasi penangkapan ikan asing di ZEEI bakal kembali melanggar zona tangkap kapal dalam negeri dan nelayan lokal.
Selain itu, penangkapan ikan skala besar pun dikhawatirkan akan mematikan usaha penangkapan ikan rakyat yang kini sedang tumbuh dengan modal dan kekuatan sendiri
"Empat alasan tersebut bakal membuat kehidupan nelayan makin sulit bahkan kita akan sulit menemukan nelayan kecil atau tradisional di laut karena ruang laut bisa jadi dikuasai oleh pengusaha dan investor asing yang berlindung di balik UU Cipta Kerja," kata mantan aktivis mahasiswa tersebut.
Ia mengemukakan sejak diajukan oleh Presiden pada Februari 2020, UU tersebut sudah menuai pro dan kontra.
Kalangan aktivis nelayan dan perikanan, akademisi, serta organisasi profesi keilmuan serta kampus melihat UU ini cacat secara prosedur dan bahkan melanggar UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Bahkan, menurut dia, sampai sekarang dokumen resmi UU Cipta Kerja sulit diakses oleh publik. DPR mengakui setelah disahkan masih ada yang difinalisasi atau dirapikan.
"Ini jelas sangat rawan dan cacat secara prosedural, UU sudah disahkan ternyata belum final di tingkat naskah aslinya," tutup Riyono, anggota DPRD Jateng dari Fraksi PKS.
"Dalam draf final Tim Perumus Baleg DPR sebagai bahan akhir menuju pengambilan putusan tingkat 1 di Baleg dijelaskan bahwa status nelayan kecil sudah tidak berbasis kepemilikan kapal yang memiliki bobot maksimal 10 GT, tapi hanya berbasis kegiatan tangkap ikan. Bahkan definisi nelayan makin kabur karena bersifat umum," kata Ketua DPP Ani, Riyono, dalam keterangan tertulis yang diterima di Semarang, Jumat.
Implikasinya, menurut dia, nasib dan kehidupan nelayan tradisional dan kecil bakal makin sengsara.
Isu lain yang krusial adalah kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (ZWP3K) bisa diambil alih oleh Pemerintah Pusat dengan berlindung pada PSN (proyek strategis nasional).
"Ini jelas sangat merugikan daerah dan mengancam kelestarian wilayah pesisir, sumber saya alam, dan berpotensi merusak laut sehingga nasib nelayan akan makin susah," kata Riyono yang juga anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah itu.
UU Cipta Kerja, menurut dia, juga memberikan ruang laut untuk dikuasai oleh kapal asing. Dalam UU Nomor 45/2009 tentang Perikanan disebutkan bahwa kapal berbendara asing harus menggunakan ABK dalam negeri minimal 70 persen, sedangkan pada UU Cipta Kerja, pasal tersebut malah dihapuskan.
"Laut di ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia) bisa makin sulit mengontrolnya," katanya.
Dengan regulasi tersebut, Anni mengkhawatirkan operasi penangkapan ikan asing di ZEEI bakal kembali melanggar zona tangkap kapal dalam negeri dan nelayan lokal.
Selain itu, penangkapan ikan skala besar pun dikhawatirkan akan mematikan usaha penangkapan ikan rakyat yang kini sedang tumbuh dengan modal dan kekuatan sendiri
"Empat alasan tersebut bakal membuat kehidupan nelayan makin sulit bahkan kita akan sulit menemukan nelayan kecil atau tradisional di laut karena ruang laut bisa jadi dikuasai oleh pengusaha dan investor asing yang berlindung di balik UU Cipta Kerja," kata mantan aktivis mahasiswa tersebut.
Ia mengemukakan sejak diajukan oleh Presiden pada Februari 2020, UU tersebut sudah menuai pro dan kontra.
Kalangan aktivis nelayan dan perikanan, akademisi, serta organisasi profesi keilmuan serta kampus melihat UU ini cacat secara prosedur dan bahkan melanggar UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Bahkan, menurut dia, sampai sekarang dokumen resmi UU Cipta Kerja sulit diakses oleh publik. DPR mengakui setelah disahkan masih ada yang difinalisasi atau dirapikan.
"Ini jelas sangat rawan dan cacat secara prosedural, UU sudah disahkan ternyata belum final di tingkat naskah aslinya," tutup Riyono, anggota DPRD Jateng dari Fraksi PKS.
Pewarta : Zaenal
Editor : Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
47 pengunjuk rasa di Jakarta dinyatakan reaktif saat dilakukan tes cepat
14 October 2020 15:12 WIB, 2020
AJI: Omnibus Law rugikan pekerja serta ancam demokratisasi penyiaran
09 October 2020 18:12 WIB, 2020
Terpopuler - Makro
Lihat Juga
FKS Foundation bersama PT Tiga Pilar Sejahtera bangun sarana air bersih untuk warga Sragen
14 December 2024 13:04 WIB
PLN pastikan kesiapan infrastruktur layanan kelistrikan andal jelang Nataru
09 December 2024 20:50 WIB