Logo Header Antaranews Jateng

AJI: Omnibus Law rugikan pekerja serta ancam demokratisasi penyiaran

Jumat, 9 Oktober 2020 18:12 WIB
Image Print
Sejumlah anggota AJI Jember membawa sejumlah poster sambil membacakan pernyataan sikap terkait UU Cipta Kerja di halaman Kantor DPRD Jember, Jawa Timur, Jumat (9/10). ANTARA/Zumrotun Solichah
Jember, Jawa Timur (ANTARA) - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menilai Omnibus Law UU Cipta Kerja yang disahkan pemeriintah dan DPR merugikan pekerja termasuk pekerja di perusahaan media dan mengancam demokratisasi penyiaran.

"Kritik terbesar publik terhadap pembahasan Omnibus Law adalah pada soal prosedur pembahasan yang cenderung mengabaikan aspirasi publik yang terdampak langsung oleh regulasi itu," kata Plt Ketua AJI Jember, Mahrus Sholih, saat berunjuk rasa dengan beberapa anggotanya di halaman Kantor DPRD Jember dan Kantor Bupati Jember, Jawa Timur, Jumat.

Pemerintah merevisi banyak pasal UU Ketenagakerjaan, yang semangatnya terlihat untuk memberikan kemudahan kepada pengusaha tapi itu justru merugikan pekerja. Salinan UU Cipta Kerja yang diakses menghasilkan jumlah halaman hingga 905 halaman. 

"Undang-undang baru itu juga melonggarkan kebijakan untuk mendorong investasi, namun akan memiliki implikasi yang membahayakan lingkungan dalam jangka panjang," katanya.



Ia mengatakan AJI Jember mengecam pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja karena merevisi pasal-pasal dalam UU Ketenagakerjaan yang justru mengurangi kesejahteraan dan membuat posisi buruh lebih lemah posisinya dalam relasi ketenagakerjaan.

Omnibus Law Cipta Kerja juga menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu atau pekerja kontrak dan menyerahkan pengaturannya melalui Peraturan Pemerintah.

"Praktek itu tentu saja bisa merugikan pekerja media yang cukup banyak tidak berstatus pekerja tetap. Ketentuan baru itu akan membuat status kontrak akan semakin luas dan merugikan pekerja media," katanya.

Selain itu, lanjut dia, pengesahan Omnibus Law merevisi UU Penyiaran dengan ketentuan baru yang tidak sejalan dengan semangat demokratisasi di dunia penyiaran.

"Omnibus Law membolehkan dunia penyiaran bersiaran secara nasional. Itu sesuatu yang dianggap melanggar oleh UU Nomor 32/2002 tentang Penyiaran," ujarnya.

Sholih menjelaskan Omnibus Law juga memberi kewenangan besar kepada pemerintah mengatur penyiaran. Pasal 34 yang mengatur peran KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) dalam proses perizinan penyiaran dihilangkan.

"Dihapusnya pasal tersebut juga menghilangkan ketentuan batasan waktu perizinan penyiaran yaitu 10 tahun untuk televisi dan lima tahun untuk radio, juga larangan izin penyiaran dipindahtangankan ke pihak lain," katanya.
 

Pewarta :
Editor: Achmad Zaenal M
COPYRIGHT © ANTARA 2024