Jakarta (ANTARA) - Peneliti lembaga kajian ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah mengatakan perusahaan tidak boleh membebankan biaya ke pegawainya dalam vaksin COVID-19 secara mandiri.

"Vaksin itu jangan berbayar, pada prinsipnya vaksin itu adalah barang publik atau gratis," ujar Rusli Abdullah ketika dihubungi di Jakarta, Rabu.

Kendati demikian, ia mengatakan Perusahaan dapat mengajukan insentif kepada pemerintah atas pelaksanaan vaksinasi secara mandiri.

"Bisa berupa insentif fiskal, di tengah pandemi perusahaan butuh insentif dari pemerintah dalam menjalankan usahanya," ucapnya.



Rusli juga mengatakan pelaksanaan vaksinasi mandiri oleh perusahaan dapat mempercepat program vaksinasi nasional.

Pemerintah menargetkan sedikitnya 182 juta orang atau 70 persen dari total penduduk untuk disuntik vaksin COVID-19.

Secara terpisah, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Siti Alifah Dina mengatakan program vaksinasi mandiri yang digagas sejumlah pihak juga harus betul-betul memperhatikan aspek perlindungan data pribadi dalam pendataannya.

"Hal ini sangat penting dilakukan karena sebagian data yang dikumpulkan merupakan data yang sensitif dan akan berdampak negatif kalau tidak terlindungi. Adanya kebocoran data pribadi konsumen sebuah marketplace dan dugaan diperjualbelikannya data tersebut di pasar gelap pada tahun lalu tentu masih segar dalam ingatan," kata Siti Alifah Dina.



Ia memaparkan, pendataan yang dilakukan oleh pihak yang mendukung vaksinasi mandiri dilakukan secara survei yang mengharuskan adanya pengisian data, dari mulai Nomor Induk Kependudukan (NIK), tanggal lahir, alamat lengkap dan juga nomor ponsel.

"Informasi serupa dari anggota keluarga karyawan juga harus diisi dan dilengkapi, misalnya nama, tempat tanggal lahir, serta hubungan keluarga. Kerawanan dari sederet informasi tadi tentu perlu dilindungi dan dijamin kerahasiaannya," ucapnya.