PDPI dorong biaya perawatan pasien "long" COVID-19 ditanggung BPJS
Selasa, 19 Oktober 2021 13:20 WIB
Tangkapan layar Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Infeksi Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Erlina Burhan dalam agenda pelatihan kepada media terkait obat dan vaksin di masa pandemi COVID-19 yang diikuti dari aplikasi Zoom di Jakarta, Selasa (19/10/2021). ANTARA/Andi Firdaus
Jakarta (ANTARA) - Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mengupayakan perawatan pasien dengan keluhan long COVID-19 ditanggung oleh dana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
"Saat ini long COVID-19 belum dijamin BPJS," kata Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Infeksi Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Erlina Burhan dalam agenda pelatihan kepada media terkait obat dan vaksin di masa pandemi COVID-19 yang diselenggarakan BPOM dan diikuti dari aplikasi Zoom di Jakarta, Selasa.
Erlina mengatakan pihaknya telah menyampaikan kepada otoritas terkait bahwa long COVID-19 yang kerap dialami penyintas telah masuk dalam buku pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
"Kalau long COVID-19 ada di buku pedoman, maka bakal di-endorse Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan ditanggung BPJS," katanya.
Dokter spesialis paru dari Divisi Infeksi Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu sedang menyusun protokol sebagai masukan untuk revisi pedoman yang baru.
"Kami sedang persiapkan protokolnya sehingga diakui oleh Kemenkes dan akan ditanggung BPJS. Sudah ada pembicaraan ke situ," ujarnya.
Penyusunan protokol tersebut, kata Erlina, meliputi varian obat dan metode perawatan bagi pasien long COVID-19.
Secara terpisah pakar ilmu kesehatan dari Universitas Indonesia Prof Tjandra Yoga Aditama mengatakan long COVID-19 juga punya aspek ekonomi dan asuransi kesehatan.
Tjandra mengatakan WHO telah mengumpulkan pendapat para pakar dari berbagai negara dalam bentuk Konsensus Delphi untuk membuat definisi keadaan long COVID-19 dan dipublikasi pada 6 Oktober 2021.
Tjandra mengatakan penyintas kerap kali mengeluh berbagai gejala yang cukup berkepanjangan sesudah dia dinyatakan sembuh dari COVID-19, ada yang beberapa pekan bahkan sampai beberapa bulan setelah pulih.
Guru Besar Paru FKUI itu mengatakan kondisi long COVID dapat terjadi pada seseorang dengan status probable atau terkonfirmasi COVID-19. Biasanya keluhan terjadi sesudah tiga bulan dari awal gejala dengan keluhan yang berlangsung setidaknya dua bulan.
Keluhan yang dirasa pun bervariasi, seperti nyeri perut, gangguan menstruasi, gangguan penciuman atau pengecap, gelisah, penglihatan kabur, nyeri dada, batuk, depresi, pusing dan demam yang hilang timbul.
Gejala lain dapat juga berupa gangguan saluran cerna, baik diare maupun konstipasi dan acid reflux, juga bisa sakit kepala, gangguan memori, nyeri sendi, nyeri otot, neuralgia, bentuk alergi baru, gangguan tidur, berdebar debar dan juga telinga berdenging atau gangguan pendengaran lainnya.
"Dari kacamata ekonomi kesehatan, harus ada mekanisme keuangan agar pasien long COVID-19 dapat terus mendapat penanganan medis dengan baik tanpa harus terbebani biaya yang tidak dapat dia tanggung, ini sesuai dengan prinsip Universal Health Care (UHC) yang dianut dunia," katanya.
"Saat ini long COVID-19 belum dijamin BPJS," kata Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Infeksi Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Erlina Burhan dalam agenda pelatihan kepada media terkait obat dan vaksin di masa pandemi COVID-19 yang diselenggarakan BPOM dan diikuti dari aplikasi Zoom di Jakarta, Selasa.
Erlina mengatakan pihaknya telah menyampaikan kepada otoritas terkait bahwa long COVID-19 yang kerap dialami penyintas telah masuk dalam buku pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
"Kalau long COVID-19 ada di buku pedoman, maka bakal di-endorse Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan ditanggung BPJS," katanya.
Dokter spesialis paru dari Divisi Infeksi Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu sedang menyusun protokol sebagai masukan untuk revisi pedoman yang baru.
"Kami sedang persiapkan protokolnya sehingga diakui oleh Kemenkes dan akan ditanggung BPJS. Sudah ada pembicaraan ke situ," ujarnya.
Penyusunan protokol tersebut, kata Erlina, meliputi varian obat dan metode perawatan bagi pasien long COVID-19.
Secara terpisah pakar ilmu kesehatan dari Universitas Indonesia Prof Tjandra Yoga Aditama mengatakan long COVID-19 juga punya aspek ekonomi dan asuransi kesehatan.
Tjandra mengatakan WHO telah mengumpulkan pendapat para pakar dari berbagai negara dalam bentuk Konsensus Delphi untuk membuat definisi keadaan long COVID-19 dan dipublikasi pada 6 Oktober 2021.
Tjandra mengatakan penyintas kerap kali mengeluh berbagai gejala yang cukup berkepanjangan sesudah dia dinyatakan sembuh dari COVID-19, ada yang beberapa pekan bahkan sampai beberapa bulan setelah pulih.
Guru Besar Paru FKUI itu mengatakan kondisi long COVID dapat terjadi pada seseorang dengan status probable atau terkonfirmasi COVID-19. Biasanya keluhan terjadi sesudah tiga bulan dari awal gejala dengan keluhan yang berlangsung setidaknya dua bulan.
Keluhan yang dirasa pun bervariasi, seperti nyeri perut, gangguan menstruasi, gangguan penciuman atau pengecap, gelisah, penglihatan kabur, nyeri dada, batuk, depresi, pusing dan demam yang hilang timbul.
Gejala lain dapat juga berupa gangguan saluran cerna, baik diare maupun konstipasi dan acid reflux, juga bisa sakit kepala, gangguan memori, nyeri sendi, nyeri otot, neuralgia, bentuk alergi baru, gangguan tidur, berdebar debar dan juga telinga berdenging atau gangguan pendengaran lainnya.
"Dari kacamata ekonomi kesehatan, harus ada mekanisme keuangan agar pasien long COVID-19 dapat terus mendapat penanganan medis dengan baik tanpa harus terbebani biaya yang tidak dapat dia tanggung, ini sesuai dengan prinsip Universal Health Care (UHC) yang dianut dunia," katanya.
Pewarta : Andi Firdaus
Editor : Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
Menwa Unsoed gelar Pembaretan Yudha XLVI dan Long March Tradisi XXXVII
13 March 2023 16:46 WIB, 2023