Magelang (ANTARA) - Pergantian tahun 1443 ke 1444 Hijriah, Jumat (29/7) malam, di panggung terbuka Studio Mendut, Kabupaten Magelang, diwarnai dengan peluncuran novel Kidung Anjampiani karya Bre Redana.

Dalam peluncuran buku di pusat aktivitas kebudayaan seniman petani Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang tersebut, diwarnai dengan pementasan fragmen pada zaman Majapahit, yakni perseteruan antara Patih Nambi dengan Ranggalawe.

Guru Besar Universitas Pelita Harapan Profesor Hendrawan Supratikno dalam ulasannya menyampaikan bahwa karya Bre Redana ini merupakan pengalaman pribadi yang menemukan fragmen sejarah secara ilustratif. 

Ia mengaku sudah ketiga kalinya mendatangi peluncuran buku karya Bre Redana, pertama di Bentara Budaya, kedua di Solo, dan ketiga di Studio Mendut Magelang.

Baca juga: Seniman Bulukumba ekspedisi budaya di Studio Mendut

Menurut dia, novel-novel karya Bre bertemu dua kepentingan, terjadi dialektika dua kepentingan, pengalaman pribadi suatu refleksi yang panjang dalam perjalanan hidupnya dengan kondisi Kerajaan Majapahit yang ilustratif.

"Jadi novel-novelnya menarik, tetapi memang rata-rata penulis besar begitu selalu karya-karyanya diwarnai oleh pengalaman pribadinya, seperti tetralogi Pramudya Ananta Toer itu kan luar biasa. Kalau masih hidup mungkin salah satu calon kuat pemenang Nobel Sastra," katanya.
 
Novel Kidung Anjampiani dimulai dengan kepergian Ranggalawe meninggalkan anaknya, Anjampiani. Ranggalawe pergi untuk menyongsong pasukan Majapahit. Entah mengapa, Anjampiani menangis. Rangga Lawe berucap akan pergi untuk keperluan yang tidak akan berlangsung lama. Ia berjanji akan kembali dengan menunggang kereta kencana yang ditarik delapan ekor kuda. 

Pada bagian terkait, novel diterbitkan penerbit indi Tanda Baca Yogyakarta ini menuturkan bagian perpisahan Ranggalawe dengan istrinya Martaraga yang mengingatkan penulis pada kejadian tatkala pagi itu ayahnya meninggalkan rumah dijemput sekelompok tentara.

Fragmen, ritual, dan performa seni Kidung Anjampiani, antara lain dimainkan para seniman petani Komunitas Lima Gunung, Jais Darga, Wijaya Eka, dan penyair Haris Kertorahardjo (Lie Thian Hauw). Peluncuran novel itu juga diisi dengan diskusi menghadirkan narasumber Hendrawan Supratikno, Bre Redana, dan budayawan Komunitas Lima Gunung, Sutanto Mendut.

Baca juga: Biarkan berisik cerita satwa bikin mental sehat!
Baca juga: Ke mana APD-APD kita?
Baca juga: Mat-matan menyuarakan makna bisikan candi-candi