Akademisi sebut atasi kekurangan dokter spesialis lewat fasilitasi PTS
Kamis, 9 Februari 2023 8:29 WIB
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang Dr. dr. Setyo Trisnadi SH, Sp.K.F. ANTARA/Zuhdiar Laeis
Semarang (ANTARA) - Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang Setyo Trisnadi mengatakan bahwa kekurangan dokter spesialis bisa diatasi dengan memfasilitasi perguruan tinggi swasta (PTS) membuka program pendidikan spesialis.
"Kekurangan dokter spesialis ini memang fakta. Banyak faktornya. Pertama, hanya perguruan tinggi negeri (PTN) yang bisa meluluskan dokter spesialis, PTS ada, tetapi baru dua," kata Dr. dr. Setyo Trisnadi, S.H., Sp.K.F. di Semarang, Rabu (8/2).
Setyo Trisnadi lantas menyebutkan dua PTS yang sudah membuka program spesialis, yakni FK Universitas Pelita Harapan (UPH) Tangerang dan FK Universitas Prima Indonesia Medan. Itu pun hanya terbatas pada spesialis radiologi.
Namun, diakui Setyo bahwa kalangan PTS juga dihadapkan pada kegamangan untuk buka program pendidikan dokter spesialis (PPDS) karena biaya yang dibutuhkan untuk operasional sangat besar.
"Kita tahu (biaya, red.) pendidikan dokter umum saja sudah segini tingginya, apalagi (dokter) spesialis. Misalnya, kedokteran umum saja Rp100 juta, spesialis 'kan bisa sampai dua kalinya," katanya.
Selama calon dokter spesialis menjalani praktik pendidikan, kata Setyo, juga harus digaji atau diberikan insentif sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran.
"Itu selama berkuliah, saat praktik di rumah sakit. Kalau swasta, siapa yang menggaji? Kami 'kan harus berhitung seperti itu. Oleh karena itu, swasta pasti akan menarik biaya tinggi untuk spesialis (PPDS)," ujar dokter spesialis forensik itu.
Dalam pemenuhan persyaratan, lanjut dia, PTS juga lebih sulit karena berbeda dengan PTN yang diberikan skema penugasan oleh Pemerintah untuk membuka PPDS. Jika ada syarat yang kurang, PTN bisa dibantu oleh Pemerintah.
Setyo mengatakan bahwa PTS harus berjuang sendiri untuk memenuhi kelengkapan persyaratan sehingga ada beberapa PTS yang terpaksa tertunda pembukaan PPDS-nya karena ada syarat yang belum terpenuhi.
Oleh sebab itu, Setyo berharap Pemerintah bersedia memfasilitasi PTS yang memiliki FK untuk membuka PPDS sehingga membantu PTN dalam mencetak dokter-dokter spesialis sebagai upaya untuk mengatasi kekurangan dokter spesialis.
Fasilitasi, kata dia, terutama dibutuhkan dalam pembiayaan, antara lain lewat beasiswa. Pasalnya, beasiswa di kedokteran PTS sangat terbatas karena biaya yang dibutuhkan memang sangat besar.
"Kalau (beasiswa, red.) untuk nonkedokteran banyak, tetapi kedokteran (FK) sedikit. SPP-nya saja per semester Rp26 juta. Ibaratnya itu untuk beasiswa nonkedokteran bisa berapa mahasiswa," kata Setyo.
"Kekurangan dokter spesialis ini memang fakta. Banyak faktornya. Pertama, hanya perguruan tinggi negeri (PTN) yang bisa meluluskan dokter spesialis, PTS ada, tetapi baru dua," kata Dr. dr. Setyo Trisnadi, S.H., Sp.K.F. di Semarang, Rabu (8/2).
Setyo Trisnadi lantas menyebutkan dua PTS yang sudah membuka program spesialis, yakni FK Universitas Pelita Harapan (UPH) Tangerang dan FK Universitas Prima Indonesia Medan. Itu pun hanya terbatas pada spesialis radiologi.
Namun, diakui Setyo bahwa kalangan PTS juga dihadapkan pada kegamangan untuk buka program pendidikan dokter spesialis (PPDS) karena biaya yang dibutuhkan untuk operasional sangat besar.
"Kita tahu (biaya, red.) pendidikan dokter umum saja sudah segini tingginya, apalagi (dokter) spesialis. Misalnya, kedokteran umum saja Rp100 juta, spesialis 'kan bisa sampai dua kalinya," katanya.
Selama calon dokter spesialis menjalani praktik pendidikan, kata Setyo, juga harus digaji atau diberikan insentif sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran.
"Itu selama berkuliah, saat praktik di rumah sakit. Kalau swasta, siapa yang menggaji? Kami 'kan harus berhitung seperti itu. Oleh karena itu, swasta pasti akan menarik biaya tinggi untuk spesialis (PPDS)," ujar dokter spesialis forensik itu.
Dalam pemenuhan persyaratan, lanjut dia, PTS juga lebih sulit karena berbeda dengan PTN yang diberikan skema penugasan oleh Pemerintah untuk membuka PPDS. Jika ada syarat yang kurang, PTN bisa dibantu oleh Pemerintah.
Setyo mengatakan bahwa PTS harus berjuang sendiri untuk memenuhi kelengkapan persyaratan sehingga ada beberapa PTS yang terpaksa tertunda pembukaan PPDS-nya karena ada syarat yang belum terpenuhi.
Oleh sebab itu, Setyo berharap Pemerintah bersedia memfasilitasi PTS yang memiliki FK untuk membuka PPDS sehingga membantu PTN dalam mencetak dokter-dokter spesialis sebagai upaya untuk mengatasi kekurangan dokter spesialis.
Fasilitasi, kata dia, terutama dibutuhkan dalam pembiayaan, antara lain lewat beasiswa. Pasalnya, beasiswa di kedokteran PTS sangat terbatas karena biaya yang dibutuhkan memang sangat besar.
"Kalau (beasiswa, red.) untuk nonkedokteran banyak, tetapi kedokteran (FK) sedikit. SPP-nya saja per semester Rp26 juta. Ibaratnya itu untuk beasiswa nonkedokteran bisa berapa mahasiswa," kata Setyo.
Pewarta : Zuhdiar Laeis
Editor : Teguh Imam Wibowo
Copyright © ANTARA 2024
Terkait
Investigasi perundungan mahasiswi PPDS Undip, Kemenkes-RSUP dr Kariadi ikut bertanggung jawab
08 September 2024 16:31 WIB
Mantan Ketua IDI pertanyakan penghentian aktivitas klinis Dekan FK Undip
03 September 2024 14:33 WIB
Soal mahasiswi PPDS Undip, Dokter forensik: penetapan bunuh diri harus dari penyidik
26 August 2024 19:50 WIB