Wali Kota Semarang intensif sosialisasi dampak pernikahan anak
Rabu, 10 Mei 2023 7:39 WIB
Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu. (ANTARA/Zuhdiar Laeis)
Semarang (ANTARA) - Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu mengingatkan bahwa sosialisasi dampak pernikahan anak, khususnya terhadap remaja harus dilakukan secara intensif untuk memberikan pemahaman dan kesadaran kepada mereka.
"Harus ada upaya pencegahan-pencegahan, salah satunya memberikan semacam pembelajaran bahwa ini lho ketika melakukan seperti ini (pernikahan anak), ada (berisiko) kanker serviks, stunting," kata Ita, sapaan akrab Hevearita di Semarang, Selasa.
Diakuinya, saat ini masih cukup banyak ditemukan adanya remaja yang hamil di luar nikah yang akhirnya terpaksa dinikahkan meski masih di bawah usia sebagaimana dipersyaratkan oleh Undang-Undang Perkawinan.
Dalam UU Nomor 16/2019 sebagai perubahan UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan diatur bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak laki-laki dan perempuan sudah mencapai umur 19 tahun.
Bagi pasangan remaja yang menikah di bawah usia tersebut, kata dia, pada akhirnya hanya dinikahkan secara siri yang berakibat perkawinannya tidak tercatat dan kesulitan mengurus administrasi kelahiran.
Selain itu, pasangan yang menikah pada usia dini juga berisiko mengalami sejumlah permasalahan dari aspek kesehatan, seperti kanker serviks dan anak yang berisiko mengalami stunting.
Ia menjelaskan bahwa kanker serviks memang menjadi salah satu risiko yang dihadapi perempuan yang melakukan pernikahan pada usia dini karena organ reproduksinya yang masih belum matang.
Demikian pula dengan stunting, kata dia, pasangan yang melakukan pernikahan pada usia dini berisiko melahirkan anak yang mengalami stunting karena belum matangnya organ reproduksi.
"Justru ini harus mencegah sejak dini, sejak remaja. Ini yang mesti dilakukan. Bukan ketika ada anak stunting, diintervensi. Justru pada usia-usia remaja diperlukan intervensi yang lebih intensif," katanya.
Bahkan, kata Ita, sosialisasi mengenai dampak negatif pernikahan dini bagi kalangan remaja akan digencarkan di sekolah-sekolah agar lebih optimal.
Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Semarang Ulfi Imran Basuki mengakui kasus perkawinan anak masih saja terjadi yang diawali dari kehamilan di luar nikah.
"Usia perkawinan kan minimal 19 tahun. Di bawah itu tidak diperbolehkan menikah. Tetapi, kalau sudah hamil, misalnya. Anak yang dikandung kan tidak salah, dan mereka secara administrasi harus diikuti untuk perkembangan nantinya," katanya.
Artinya, kata dia, jangan sampai nanti menambah rantai kemiskinan sehingga ada dispensasi dari Kementerian Agama bagi kasus-kasus semacam itu tetap bisa mencatatkan perkawinannya.
"Jadi, bagaimana anak-anak itu bisa dengan pernikahan resmi, bisa menerima administrasi kependudukan yang komplit untuk kehidupan selanjutnya. Ini dispensasi," kata Ulfi.
"Harus ada upaya pencegahan-pencegahan, salah satunya memberikan semacam pembelajaran bahwa ini lho ketika melakukan seperti ini (pernikahan anak), ada (berisiko) kanker serviks, stunting," kata Ita, sapaan akrab Hevearita di Semarang, Selasa.
Diakuinya, saat ini masih cukup banyak ditemukan adanya remaja yang hamil di luar nikah yang akhirnya terpaksa dinikahkan meski masih di bawah usia sebagaimana dipersyaratkan oleh Undang-Undang Perkawinan.
Dalam UU Nomor 16/2019 sebagai perubahan UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan diatur bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak laki-laki dan perempuan sudah mencapai umur 19 tahun.
Bagi pasangan remaja yang menikah di bawah usia tersebut, kata dia, pada akhirnya hanya dinikahkan secara siri yang berakibat perkawinannya tidak tercatat dan kesulitan mengurus administrasi kelahiran.
Selain itu, pasangan yang menikah pada usia dini juga berisiko mengalami sejumlah permasalahan dari aspek kesehatan, seperti kanker serviks dan anak yang berisiko mengalami stunting.
Ia menjelaskan bahwa kanker serviks memang menjadi salah satu risiko yang dihadapi perempuan yang melakukan pernikahan pada usia dini karena organ reproduksinya yang masih belum matang.
Demikian pula dengan stunting, kata dia, pasangan yang melakukan pernikahan pada usia dini berisiko melahirkan anak yang mengalami stunting karena belum matangnya organ reproduksi.
"Justru ini harus mencegah sejak dini, sejak remaja. Ini yang mesti dilakukan. Bukan ketika ada anak stunting, diintervensi. Justru pada usia-usia remaja diperlukan intervensi yang lebih intensif," katanya.
Bahkan, kata Ita, sosialisasi mengenai dampak negatif pernikahan dini bagi kalangan remaja akan digencarkan di sekolah-sekolah agar lebih optimal.
Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Semarang Ulfi Imran Basuki mengakui kasus perkawinan anak masih saja terjadi yang diawali dari kehamilan di luar nikah.
"Usia perkawinan kan minimal 19 tahun. Di bawah itu tidak diperbolehkan menikah. Tetapi, kalau sudah hamil, misalnya. Anak yang dikandung kan tidak salah, dan mereka secara administrasi harus diikuti untuk perkembangan nantinya," katanya.
Artinya, kata dia, jangan sampai nanti menambah rantai kemiskinan sehingga ada dispensasi dari Kementerian Agama bagi kasus-kasus semacam itu tetap bisa mencatatkan perkawinannya.
"Jadi, bagaimana anak-anak itu bisa dengan pernikahan resmi, bisa menerima administrasi kependudukan yang komplit untuk kehidupan selanjutnya. Ini dispensasi," kata Ulfi.
Pewarta : Zuhdiar Laeis
Editor : Teguh Imam Wibowo
Copyright © ANTARA 2024