"Bayangkan Perpu Pemilu yang digunakan dalam banyak instrumen teknis pengaturan Pemilu 2024 sejak 4 April 2023 disetujui Rapat Paripurna DPR RI menjadi undang-undang, tetapi tak kunjung mendapatkan kepastian pengesahan berupa penomoran dan pengundangan dalam Lembaran Negara," kata Titi Anggraini, S.H., M.H. menjawab pertanyaan ANTARA di Semarang, Rabu pagi.
Titi mengemukakan hal itu ketika merespons di Lembaran Negara belum ada Undang-Undang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Menjadi Undang-Undang (UU Penetapan Perpu Pemilu).
Padahal, lanjut dia, pemilihan umum itu harus berkepastian dan terukur. Oleh karena itu, hal-hal yang sudah sangat jelas semestinya tidak terlalu sulit untuk dieksekusi.
"Ini bisa jadi kotak pandora bagi kepercayaan publik atas Pemilu 2024 kalau terus dibiarkan terjadi ketidaktertiban hukum," kata Titi yang juga anggota Dewan Pembina Perludem.
Belum kunjung adanya kepastian perihal penomoran undang-undang berkaitan dengan penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2022, menurut dia, menjadi undang-undang menimbulkan tanda tanya besar tentang ketertiban dan keseriusan dalam menjaga kepastian hukum penyelenggaraan pemilu.
Muncul sejumlah pertanyaan dari pegiat pemilu ini, antara lain, ada apa sehingga DPR dan Pemerintah berbelit-belit sekali memastikan kepastian hukum penyelenggaraan Pemilu 2024? Apakah karena Perpu Pemilu dianggap tidak penting atau tidak prioritas?
Padahal, lanjut Titi, Perpu Pemilu isinya sangat krusial dan besar dampaknya pada penyelenggaraan Pemilu 2024.
"Saya makin yakin bahwa memang ada komitmen hukum dan demokrasi yang bermasalah terkait dengan Pemilu 2024 dari para pembentuk UU," kata Titi yang pernah sebagai Direktur Eksekutif Perludem ini.
Ia lantas menyebut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022.
Dalam Pasal 72 ayat (1) dan ayat (2) menyebutkan bahwa rancangan undang-undang (RUU) yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi undang-undang, serta penyampaian RUU tersebut dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
Selanjutnya, Pasal 73 ayat (1) menyatakan bahwa RUU yang telah disampaikan DPR disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 hari terhitung sejak RUU tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.
Sementara itu, ketika dicek di laman peraturan.go.id, Rabu pukul 08.18 WIB, terdapat enam produk hukum berupa undang-undang pada tahun ini, termasuk Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.
Baca juga: Akademisi optimistis Indonesia mampu stabilkan situasi Asia Tenggara