PPNSI: Jangan Kurangi Subsidi Harga BBM Nelayan
Minggu, 5 Februari 2012 9:10 WIB
"BBM merupakan komponen utama biaya operasional nelayan kecil sehingga kenaikan harga bahan bakar ini bakal mengurangi penghasilan mereka," kata Sekretaris Jenderal DPP PPNSI, Riyono, dalam keterangan tertulisnya, Minggu.
Ia mengatakan pro dan kontra kebijakan harga BBM belakangan ini menjadi tidak produktif dan membuat rakyat bertambah bingung.
Dalam APBN 2012 sudah ditetapkan kebijakan pembatasan harga BBM bersubsidi, namun belakangan ini muncul desakan, agar pemerintah bersama DPR merevisi keputusan itu dengan menaikkan harga BBM secara bertahap.
Salah satu pertimbangan untuk meninjau ulang rencana pembatasan BBM itu karena implementasi di lapangan sangat rumit dan membuka peluang besar terjadinya penyimpangan.
Menurut Riyono, kebijakan harga BBM murah atau bersubsidi selama ini justru lebih banyak dinikmati kalangan menengah atas, seperti pejabat dan pemilik mobil pribadi.
PPNSI, katanya, tetap minta pemerintah memperhatikan kelompok masyarakat bawah seperti nelayan agar tetap menikmati harga BBM bersubsidi yang dibedakan harganya dengan kelompok industri dan pengguna mobil pribadi.
"Kalau untuk melaut, nelayan bisa beli solar dengan harga Rp4.500/liter solar, sedangkan harga solar untuk industri dan mobil pribadi Rp6.000/liter," kata Riyono.
Oleh karena itu, katanya, PPNSI minta pemerintah tidak mengurangi subsidi harga BBM untuk nelayan dan menolak kenaikan harga BBM yang berlaku secara umum karena hal ini akan menyusahkan nelayan.
Ia memberi contoh kenaikan harga BBM pada 2005 yang terjadi hingga tiga kali dalam setahun, benar-benar membuat nelayan terkapar karena tingginya biaya BBM saat melaut tidak seimbang dengan hasil tangkapannya.
"Kenaikan harga BBM saat itu mengakibatkan banyak nelayan terperangkap jeratan rentenir," katanya.
Menurut dia, untuk menghemat APBN, pemerintah harus bisa mengurangi biaya operasional negara yang tidak penting seperti perjalanan dinas dan pemberian bonus berlebihan di BUMN.
Aparat pemerintah dan Presiden, menurut dia, harus memberi contoh penerapan prinsip efisensi keuangan negara, namun tetap memberikan subsidi kepada rakyat kecil dengan alokasi yang proporsional.
"Jangan sebaliknya, anggaran untuk aparat dan politikus terus bertambah, namun biaya untuk subsidi dikurangi atau malah menaikkan harga BBM. Ini bukan kebijakan prokaum miskin," kata Riyono.
Ekonom Universitas Diponegoro Semarang, Nugroho SBM, melihat kebijakan pembatasan BBM bersubsidi rawan penyimpangan akibat disparitas harga yang amat lebar antara harga BBM bersubsidi dengan harga komersial.
Ia menyarankan kenaikan harga BBM secara bertahap. Kebijakan ini selain lebih mudah pengendaliannya, menurut dia, secara berkelanjutan juga lebih banyak menghemat anggaran.
Pewarta : -
Editor : Zaenal A.
Copyright © ANTARA 2024