Merapi yang berdiri di empat wilayah kabupaten yakni Boyolali, Magelang, Klaten (Jawa Tengah) dan Sleman (DI Yogyakarta) itu, yang dulunya dijadikan kawasan hutan lindung, cagar alam, dan taman wisata alam sudah diubah fungsinya .

Menurut Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) Wilayah II Boyolali, Joko Priyono, kawasan Merapi pada 2004 hingga sekarang telah diubah fungsinya dari kawasan hutan lindung, cagar alam, dan taman wisata alam menjadi TNGM.

"Pada kelompok hutan Gunung Merapi seluas kurang lebih 6.410 hektare yang terletak di wilayah empat kabupaten tersebut diubah fungsinya berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.134/2004 atau tanggal 4 Mei 2004," katanya.

Menurut dia, kawasan hutan Merapi berpotensi besar untuk menjadi pusat kegiatan wisata alam bagi Jawa Tengah dan DIY, karena terletak tidak jauh dari Kota Yogyakarta dan Solo yang merupakan salah satu tujuan wisata.

"Gunung Merapi sangat potensial untuk mengundang banyak wisatawan baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Salah satunya wisatawan yang hendak melakukan pendakian ke puncak Merapi," katanya.

Ia menjelaskan, ada lima pusat pengembangan wisata alam di kawasan Merapi antara lain wisata Musuk, Cepogo, Selo di Boyolali, Deles di Klaten, Srumbung, Dukun, di Magelang, serta Kaliulang Sleman DIY.

Kawasan Merapi selain memiliki potensial keindahan alam dan fenomena vulkanik dari gunung itu, dan sangat cocok untuk wisata pendidikan dan petualangan seperti kegiatan pendakian ke puncak.

Bahkan, masyarakat yang bermukim di kawasan Merapi memiliki budaya yang sudah kental hidup berdampingan dengan gunung yang teraktif di dunia itu.
Upacara-upacara tradisional yang sering dilakukan oleh masyarakat lereng Merapi di antaranya, Sedekah Gunung. Hal itu, dilakukan dalam rangka menjaga keharmonisan antara Gunung Merapi dan masyarakat sekitarnya.

Menurut dia, hal tersebut merupakan potensial besar yang harus dilestarikan untuk membentuk karakter bangsa dan meningkatan kesejahteraan lewat pengembangan pariwisata.

Wisata petualangan atau pendakian ke puncak Merapi sebelum peristiwa erupsi pada 2006 yang mengakibatkan kerusakan sejumlah areal hutan di kawasan tersebut, ada empat pintu masuk pendakian yang dapat dilewati untuk para pendaki.

Menurut Joko Priyono, pintu pendakian ke puncak Merapi sebelum kejadian erupsi pada 2006, ada empat yakni melalui Deles Kabupaten Klaten, Kinahrejo Sleman, Babadan-Dukun Magelang, dan New Selo Boyolali.

Namun, setelah peristiwa erupsi 2006 jalur pendakian di tiga lokasi yakni Deles, Kinahrejo, dan Srumbung ditutup, dan hanya dibuka melalui Selo. Karena, ketiga jalur pendakian itu, medannya sangat berbahaya bagi para pendaki.

Walaupun, masing-masing jalur menawarkan panorama alam yang khas dan unik, tetapi yang menjadi favorit para pendaki di jalur Selo dan Kinahrejo.

"Para pendaki kini hanya diizinkan melakukan pendakian melalui Selo saja. Karena, jalur itu dinilai paling aman dan terpendek jaraknya dibanding yang lainnya," katanya.

Gunung Merapi berdasarkan hasil pengukuran "Geographic Positioning Sistem" (GPS) puncak tertinggi dulunya sekitar 2.965 meter di atas permukaan air laut dan dikenal dengan puncak Garuda. Namun, setelah terjadi erupsi beberapa kali ketinggian gunung itu semakin berkurang.

"Puncak Garuda Merapi kini sudah tidak ada, karena kejadian erupsi pada 2006 dan 2010. Pendaki ke puncak kini hanya bisa sampai ke bibir Kawah Mati atau ketinggian sekitar 2.800 meter di atas permukaan air laut ," katanya.


Pendakian Merapi Jalur Selo
Para pendaki ke puncak Merapi kini seluruhnya harus melalui pintu pendakian di Dukuh Plalangan, Desa Lencoh, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, dinilai paling aman dan jalurnya juga terpendek dibanding lainnya.

Menurut anggota Tim SAR "Barameru" Desa Lencoh, Selo, Samsuri, pendakian ke puncak Merapi sejak erupsi 2006 hanya dizinkan melalui pintu Selo Boyolali, sedangkan tiga lainnya ditutup karena medannya sangat berbahaya bagi para pendaki.

Pendakian melalui pintu Kinahrejo Kaliurang Sleman, kata dia, sebelum erupsi jaraknya ke puncak hanya sekitar 3,5 kilometer. Namun, karena erupsi jalurnya sudah tertutup oleh material erupsi dan medannya sangat curam untuk pendakian.

Begitu juga pendakian melalui Deles Klaten dan Srumbung Dukun Magelang, medannya berbahaya banyak tebing curam yang harus dilalui para pendaki. Kedua pintu pendakian ini jarak ke puncak cukup jauh sekitar enam hingga tujuh kilometer.

"Para pendaki kini hanya diperbolehkan melakukan pendakian pintu Selo, yang dinilai paling aman dan jarak ke puncak hanya sekitar empat kilometer atau memerlukan waktu selama sekitar empat jam," katanya.

Para pendaki melalui Selo, kata dia, tingkat kesulitannya sangat rendah dan paling aman dari dampak letusan Gunung Merapi. Pendaki dari Selo naik menuju Shelter I merupakan tempat peristirahatan pertama dengan luas areal sekitar 100 meter persegi.

Pendaki kemudian menuju ke Shelter II yang memiliki ketinggian sekitar 1.800 meter dpl, dan naik lagi ke shelter III atau masuk di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) dengan ketinggian 2.000 meter dpl.

Menurut Samsuri, di Shelter III itu tempatnya cukup luas, sehingga pendaki bisa merasakan suasana segar dan damai setelah berjalanan sekitar 10 menit dari shleter II.

Para pendaki dari Shelter III menuju ke Pasar Bubrah melewati jalur utama Kartini. Jalur ini meski sedikit jauh atau memerlukan waktu dua hingga tiga jam menuju Pasar Bubrah, tetapi medannya cukup datar.

Lokasi sebelum sampai ke Pasar Bubrah, namanya Watu Gajah adalah sebuah gua biasanya untuk berlindung para pendaki jika terjadi badai di puncak.

Menurut dia, di Pasar Bubrah ini, lokasinya datar dengan luas sekitar tiga hektare. Para pendaki di tempat ini, biasanya untuk istirahat sejenak menikmati panorama alam sekitar. Meraka banyak yang mendirikan tenda untuk berkemah sebelum melanjutkan perjalanan menuju bibir kawah mati.

Para pendakian sebelum terjadi erupsi 2010 bisa sampai ke lokasi Kawah Mati dan Woro, tetapi kawah itu sudah hidup kembali menyatu dengan puncak merapi. Sehingga, pera pendaki hanya bisa sampai bibir kawah mati yang tingginya sekitar 2.800 meter dpl.

Ia menjelaskan, jumlah pendaki Merapi melalui pintu Selo yang banyak dan ramai ada empat even yakni Sura (kalender Jawa), Tahun Baru, Lebaran, dan puncaknya biasanya tanggal 17 Agustus.

"Keempat even itu, jumlah pendaki rata-rata mencapai 1.500 orang. Puncaknya pada 17 Agustus atau Hari Kemerdekaan RI bisa mencapai sekitar 2.000 orang lebih," katanya.

Para pendaki yang melakukan pendakian ke puncak Merapi bukan saja berasal dari warga lokal, tetapi mereka juga banyak dari wisatawan asing. Dari rata-rata jumlah pendaki sekitar 600 hingga 700 orang per bulan, sekitar 10 persennya wisatawan asing.

Para pendaki kebanyakan dari Yogyakarta, Solo, Semarang, Surabaya, Jakarta, dan Boyolali, sedangkan wisatawan mancanegara berasal dari Belanda, Prancis, Jerman, Australia, Amerika Serikat, dan negera-negera asia.

"Para pendaki dari mancanegara kebanyakan melakukan pendakian untuk penelitian dan melihat keindahan panorama di puncak Merapi," katanya.

Kendati demikian, pihaknya berharap kepada pendaki yang melakukan pendakian melalui pintu Selo, untuk melaporkan identitas kepada petugas di base camp Plalangan sebelum mereka berangkat ke puncak.

Selain itu, pihaknya juga mengimbau pendaki tetap waspada terhadap kondisi cuaca hujan saat ini, dengan mempersiapkan perlengkapan cukup seperti jas hujan, senter, tenda, jaket, dan bahan makanan secukupnya.
"Karena, pada musim hujan ini sering terjadi di puncak. Jika terjadi kabut dan angin kencang sebaiknya berhenti dulu setelah aman bisa melanjutkan perjalanan," katanya.

Menurut dia, jika pendaki merasa tersesat bisa mengubungi Tim SAR di "base camp" Plalalangan Lencoh, melalui HT di kanal 14.650.
Menurut Froncois wisatawan asal Prancis, dirinya melakukan pendakian ke Merapi, sudah 15 kali, dan pertama pada tahun 2000 melalui pintu pendakian Selo Boyolali.

"Saya tidak pernah bosan mendaki Merapi, karena gunung itu sangat unik termasuk masyarakatnya, yang sangat dekat dengan aktivitas Merapi," katanya.

Menurut dia, setiap kali ia melakukan pendakian suasananya selalu berbeda, dan di Pasar Bubrah atau lokasinya yang dekat dengan puncak kelihatan ada energi yang menarik dari dalam bumi.

"Hal itu, sangat unit dan berbeda dibanding gunung-gunung lain di Indonesia yang pernah mendaki," katanya.

Soni, pemandu wisata Gunung Merapi mengatakan, pendaki Merapi malam Tahun Baru memang biasanya mencapai ribuan orang. Tetapi, hal itu tergantung kondisi cuaca di lokasi.

"Jika cuaca di kawasan Merapi cerah, perkiraan pendaki bisa mencapai ribuan terutama setiap even Tahun Baru, Lebaran, Sura, dan 17 Agustus," katanya.