Daerah memiliki kewenangan untuk mengelola dua pajak tersebut secara mandiri. Daerah tidak perlu menyetor pajak ke pemerintah pusat dan seluruh hasil penagihan dapat menjadi pendapatan asli daerah (PAD).

Untuk mengelola pajak secara mandiri tersebut tidak dapat secara otomatis, tetapi hanya pemerintah daerah yang telah mampu menyiapkan seluruh infrastruktur pendukung baik sarana dan prasarana, regulasi berupa peraturan daerah, hingga sumber daya manusia (SDM).

UU No 28 Tahun 2009 menargetkan seluruh daerah sudah mampu mengelola PBB sektor perdesaan dan perkotaan secara mandiri paling lambat pada 31 Desember 2013.

Bagaimana dengan Kota Semarang yang sudah hampir satu tahun mengelola PBB Perkotaan secara mandiri sejak Januari 2012, apakah berbuah manis atau sebaliknya?

Apalagi di tingkat Provinsi Jawa Tengah, baru Kota Semarang yang pada 2012 ini mengelola PBB secara mandiri.

Kesiapan dan Implementasi
Dengan diundangkannya UU No 28 Tahun 2009, pemeritah kabupaten dan kota yang dulunya hanya bertugas menagih pajak kemudian mendapatkan bagian 64,8 persen sementara sisanya untuk pusat, dengan pengelolaan secara mandiri maka daerah dapat meraup 100 persen dari hasil penagihan atau hasil pembayaran wajib pajak.

Daerah juga memiliki kewenangan penuh termasuk dalam penilaian nilai jual objek pajak (NJOP) serta potensi kenaikan nilai pajak.

Dalam proses peralihan pengelolaan PBB Perdesaan dan Perkotaan mensyaratkan tiga hal yang harus benar-benar dipersiapkan, yakni regulasi berupa perda, dukungan infrastruktur, dan sumber daya manusia yang memadai.

Terkait dengan regulasi, Pemerintah Kota Semarang telah memiliki Perda No 13 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perkotaan.

Perda No 13 Tahun 2011 ini merupakan operasionalisasi dari UU No 28 Tahun 2009 yang menjadi landasan pijak bagi pengelolaan PBB Perkotaan di Semarang.

Perda menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam rangka pengelolaan PBB Perkotaan seperti di Kota Semarang.

Perda tersebut mengatur bahwa besarnya NJOP ditetapkan setiap tiga tahun sekali, kecuali untuk objek tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai perkembangan wilayahnya dan penentuan besaran NJOP diatur dengan Peraturan Wali Kota setempat.

NJOP sampai dengan Rp1 miliar ditetapkan sebesar 0,1 persen. Sementara untuk NJOP di atas Rp1 miliar ditetapkan sebesar 0,2 persen.

Dukungan infrastruktur seperti peralatan terkait hardware dan software meskipun belum maksimal, menjadi kunci sukses dalam pengelolaan PBB di Kota Semarang.

Kesiapan infrastruktur tersebut dibutuhkan karena daerah menjadi memiliki kewenangan penuh terhadap pengelolaan pajak, tidak hanya menarik atau menagih pajak tetapi juga mengelola seluruh hasil PBB.

Dan yang tidak kalah pentingnya adalah 'man behind the gun', sumber daya manusia (SDM) yang mengelola PBB Perkotaan harus memiliki kompetensi dan kapabilitas yang memadai.

"Kami sudah sejak lama mempersiapkan ini agar Kota Semarang mampu mengelola sendiri PBB Perkotaan dengan menyiapkan regulasi, infrastruktur dan SDM," kata Kabid Pajak Daerah Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPKAD) Kota Semarang Agus Wuryanto.

Kesiapan yang telah dimiliki Pemkot Semarang diharapkan dapat maksimal mendorong pengelolaan PBB Perkotaan dengan target seluruh pelayanan pembayaran pajak dapat diterapkan secara sistem online.

Namun demikian, peralihan pengelolaan PBB Perdesaan dan Perkotaan tentu tidak dapat berlangsung mulus begitu saja bak membalik telapak tangan.

Hal tersebut juga terjadi di Kota Semarang yang saat ini data wajib pajak masih bergantung dari data Kantor Wilayah Ditjen Pajak dan sistem pembayaran secara online belum seluruhnya dapat diterapkan di seluruh pusat pelayanan.

Pengamat Ekonomi Universitas Diponegoro FX Sugiyanto menilai untuk kesiapan infrastruktur dan potensi PBB Perkotaan Kota Semarang sangat memadai.

"Kota Semarang telah memiliki sistem informasi tanah dan bangunaan dengan NJOP tinggi," kata FX Sugiyanto.

Menurut FX Sugiyanto dengan potensi yang besar tersebut, Kota Semarang sangat mampu menyiapkan dan berhasil mengelola secara mandiri, harusnya dapat memberikan nilai tambah buat masyarakat.

Hal ini diamini oleh Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jateng I Sakli Anggoro yang mengakui kesiapan sarana dan prasarana untuk pengelolaan PBB Perkotaan yang telah dilakukan oleh Kota Semarang sangat baik.

Tambah Pundi
Untuk Kota Semarang pengelolaan PBB yang dilakukan mandiri adalah PBB perkotaan, karena di Semarang tidak ada perdesaan.

Setelah mengelola PBB perkotaan sejak Januari 2012, Kota Semarang mulai merasakan hasilnya. Apalagi penerimaan PBB di Kota Semarang setiap tahun selalu mengalami kenaikan.

Realisasi PBB yang diterima Pemkot Semarang pada 2010 mencapai Rp135,932 miliar (realisasi PBB APBD) dan yang disetor ke pusat Rp170,690 miliar (realisasi PBB APBN). Artinya, jika pendaerahan PBB Perdesaan dan Perkotaan dilaksanakan pada 2010 maka pundi Kota Semarang seharusnya Rp170 miliar bukan Rp135 miliar, ada selisih yang cukup signifikan Rp35 miliar.

Sementara pada 2011, realisasi penerimaan PBB mencapai Rp141,9 miliar atau naik 5,23% dari 2010 dengan realisasi penerimaan Rp134,8 miliar.

Perolehan PBB untuk tahun ini hingga 20 November 2012 mencapai Rp153 miliar dari target Rp159 miliar, dan seluruh anggaran tersebut menjadi milik Pemkot tidak perlu menyetor ke pusat.

Bila ditilik secara seksama maka dibanding realisasi penerimaan PBB pada 2011 terjadi kenaikan signifikan sebesar Rp12 miliar (per Nopember 2012) atau Rp18 miliar (bila target 2012 tercapai).

Kenaikan penerimaan PBB 2012 dibanding kenaikan pada 2011 mencapai 100 persen, dari Rp7 miliar (kenaikan 2011 dari 2010) menjadi Rp18 miliar (berdasarkan target 2012).

Akan bertambahnya pundi Kota Semarang sebesar Rp18 miliar merupakan buah dari pendaerahan PBB Perdesaan dan Perkotaan yang mulai diterapkan di Kota Semarang pada awal tahun 2012 ini.

Tingkat penerimaan PBB Pemkot Semarang yang semakin tinggi juga buah dari upaya Pemkot Semarang yang secara aktif melakukan sejumlah usaha untuk dapat menggenjot peningkatan penerimaan PBB.

Sejumlah upaya tersebut antara lain dengan menggelar Pekan Panutan Pembayaran PBB Kota Semarang. Dalam acara tersebut, bagi wajib pajak yang membayar pada kesempatan pertama akan diundi untuk mendapatkan kesempatan mendapatkan hadiah.

Pekan Panutan Pembayaran PBB tersebut dimaksudkan untuk menjadi magnet wajib pajak agar membayar pajak pada kesempatan pertama setelah mendapatkan surat tagihan serta mengurangi kebiasaan membayar pajak pada bulan-bulan terakhir dan mendekati jatuh tempo pembayaran.

Untuk mempermudah pembayaran, Pemkot Semarang juga menjalin kerjasama dengan sejumlah perbankan seperti BNI, Mandiri, dan Bank Jateng selain 80 tempat pembayaran yakni 60 di tingkat kelurahan, 16 di tingkat kecamatan, dan di empat wilayah pos pelayanan PBB.

Selain Pekan Panutan Pembayaran Pajak, Pemkot Semarang juga mengupakan dalam operasi bakti, operasi sisir, konfirmasi dan pencairan tunggakan.

Sosialisasi terkat sanksi terberat bagi wajib pajak yang tidak membayar pajak juga terus dilakukan yakni dilakukan penyegelan. Akan tetapi sebelum dilakukan penyegelan terlebih dahulu dilakukan tindakan persuasif.

Terkait dengan potensi pendapatan pajak, Pemkot Semarang juga memiliki piutang karena wajib pajak menunggak sebagai warisan dari tahun 1994 hingga tahun 2012 diakumulasi mencapai Rp209 miliar.

Dari total piutang pajak tersebut, Pemkot Semarang telah berhasil menagihnya sekitar 20 persen. Berbagai cara dilakukan untuk melakukan penagihan piutang di antaranya dengan memanggil wajib pajak yang menunggak pajak serta memberikan imbauan.

FX Sugiyanto menambahkan bahwa pengelolaan PBB Perkotaan secara mandiri tersebut harus diimbangi dengan peningkatan pelayanan kepada masyarakat untuk semua sektor pelayanan publik.

Keberhasilan Semarang dalam mengelola PBB Perdesaan dan Perkotaan agaknya perlu dicontoh daerah lain, supaya mereka pun dapat merasakan keberkahan serupa.