Buktinya, banjir hampir sering terjadi di Kabupaten Kudus dan Pati, serta Kabupaten Demak yang baru saja dilanda banjir hingga dua kali dalam sebulan.

Sejumlah kalangan menyebutkan, banjir yang selama ini terjadi tidak terlepas dari ulah masyarakat yang masih sering membuang sampah di sepanjang aliran sungai tanpa peduli dampaknya.

"Kebiasaan masyarakat yang tidak ramah terhadap lingkungan, juga diperlihatkan lewat pembangunan di dekat tanggul sungai serta aktivitas lain di tanggul sungai," kata pemerhati lingkungan yang juga Koordinator LSM Society for Health, Education, Environment, and Peace (SHEEP) Indonesia Area Jateng, Husaini, di Kudus, Rabu.

Untuk itu, kata dia, masyarakat perlu diberikan pengertian terkait dampak negatif dari sejumlah aktivitas di kawasan aliran sungai.

Ia berharap, pemerintah setempat juga melakukan sejumlah upaya pencegahan dini terhadap potensi bencana alam, salah satunya bencana banjir.

Apalagi, katanya, saat ini terdapat Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), sehingga bisa dimaksimalkan dengan memberikan pembinaan kepada masyarakat terkait mitigasi bencana.

Menurut dia, penyebab terjadinya bencana banjir selama ini tidak hanya karena faktor perilaku masyarakat di dekat aliran sungai atau terkait faktor hilir.

Pasalnya, kata dia, faktor hulu juga ikut memberikan andil terjadinya banjir, karena kawasan tangkapan air di wilayah pegunungan mulai berkurang.

"Selain adanya pengalihan lahan hutan menjadi pertanian, ada pula aktivitas galian C," ujarnya.

Kepala Balai Pengelolaan Sumber Daya Air Serang Lusi Juwana (BPSDA Seluna) Noviyanto, membenarkan, aktivitas galian C di wilayah Pegunungan Kendeng ikut memberikan dampak banjir, karena menyebabkan sedimentasi sungai.

Selain itu, banyak kawasan pegunungan yang ditanami tanaman semusim, sehingga mengakibatkan daya simpan airnya semakin menurun.

Akibatnya, kata dia, air dari kawasan pegungungan langsung turun ke sejumlah aliran sungai, sehingga debit air sungai mudah meningkat.

"Selama ini, sudah ada upaya komunikasi dengan masyarakat, termasuk kelompok petani untuk memberikan penyadaran sekaligus pemahaman pentingnya menjaga aliran sungai tetap bersih dan tidak melakukan aktivitas di tanggul sungai," ujarnya.

Ia mengakui, masih dijumpai tanggul sungai yang dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk ditanami tanaman semusim serta aktivitas lain.

Padahal, kata dia, hal tersebut mengakibatkan kekuatan tanggul semakin menurun.

Sebagian besar banjir yang terjadi, kata dia, disebabkan pula oleh ulah manusia sendiri yang kurang menyadari pentingnya menjaga sarana dan prasarana pengairan.

Terkait dengan banjir yang terjadi di Kabupaten Demak, kata dia, sebagian disebabkan karena masyarakat setempat yang tidak ikut menjaga kekuatan tanggul sungai dengan tidak melakukan berbagai aktivitas di atasnya.

"Selain itu, disebabkan pula oleh faktor alam karena tanggul bagian bawah tergerus air, sehingga mudah jebol," ujarnya.

Pendekatan DAS
Husaini menganggap, penanganan banjir tidak bisa hanya difokuskan pada bagian hilir, melainkan harus ditangani secara komprehensif termasuk bagian hulu.

"Permasalahannya, hingga sekarang masing-masing instansi belum pernah duduk satu meja menyelesaikan permasalahan banjir sesuai bidang tugasnya masing-masing," ujarnya.

Artinya, kata dia, BPSDA dipastikan menyelesaikan tugasnya tanpa berkoordinasi dengan instansi lain. Demikian halnya BP DAS juga memiliki program tanpa berkoordinasi dengan instansi lainnya.

Padahal, kata dia, perbaikan saranan dan prasarana pengairan, tanpa dukungan perbaikan bagian hulu, potensi banjir masih memungkinan terjadi.

Apalagi, banjir sekarang lebih banyak karena adanya kerusakan wilayah pegungungan, seperti Pegungungan Kendeng maupun Muria.

"Kawasan pegunungan tersebut diharapkan menjadi kawasan tangkapan air hujan, agar airnya tidak mudah masuk ke anak sungai, sehingga peningkatan debit air sungai tidak terlalu cepat," ujarnya.

Kenyataannya, kata dia, air dari kawasan pegunungan cenderung meningkat, sedangkan kapasitas tampung sungai cenderung berkurang, seiring dengan sedimentasi yang terjadi karena faktor manusia maupun alam.

Pendekatan daerah aliran sungai (DAS) kawasan, katanya, patut dicoba, termasuk melakukan koordinasi dengan lintas instansi untuk membahas rencana jangka panjang pengurangan risiko bencana.

"Pemerintah setempat juga harus mengubah pola penanganan bencana dengan melibatkan masyarakat secara langsung, pentingnya upaya pencegahan dini terhadap sejumlah bencana alam yang dimungkinkan terjadi," ujarnya.

Dengan pelibatan masyarakat, kata dia, upaya pengurangan risiko bencana, dipastikan tidak butuh biaya mahal, karena sudah dimulai dari perilaku masyarakat serta didukung sejumlah program pembangunan di kawasan hulu maupun hilir.