Para kru dari grup wayang kontemporer berasal dari Jawa Barat itu, mulai menyingkirkan berbagai perlengkapan pementasan dari panggung di dalam Benteng Vasternburg Kota Solo, Sabtu (21/9) menjelang tengah malam.

Akan tetapi, hampir sebagian besar penonton yang menyaksikan pergelaran hari kedua SIPA 2013 dengan tema "The Legend, History of World Culture" itu, seakan tak beranjak dari kursi masing-masing.

Bulan purnama pun seakan masih bertengger di langit sebelah timur laut dari benteng yang dibangun di kawasan Gladak Kota Solo pada 1745, atas perintah Gubernur Jenderal Baron van Imhoff, zaman kolonial.

Kalau mereka yang sebagian besar kalangan generasi muda itu belum beranjak dari tempatnya, boleh jadi masih asyik melesakkan dalam sanubari masing-masing tentang pesan moral yang ditabur melalui wayang ajen dengan lakon "Jaya Perbangsa".

Cahaya rembulan yang sedang penuh, seakan menerangi perjalanan pesan "Jaya Perbangsa", menyusuri nurani mereka yang menyaksikan pementasan sesi terakhir dari agenda hari kedua SIPA selama 20-22 September 2013.

Hari kedua pergelaran SIPA itu, berupa pementasan antara lain Tarian "Cantonese Girlish Charm" (Zhuhai Hansheng Art China), "Ulak Kusedenge" (Sanggar Lungun Yogyakarta), "The Rite of Spring" (Dance Theater Ludens Jepang), "K-Wind" (Noreum Machi Korea Selatan), "Ronggeng Manis" (Pring Serentet Banyumas), dan wayang ajen "Jaya Perbangsa" (Wawan Ajen, Jawa Barat).

Wayang ajen --"ngajenan" (bahasa Sunda) atau menghargai-- berupa pengembangan kreatif dan gagasan cerdas seni pedalangan bersumber dari wayang golek sebagai tradisi Sunda, oleh Wawan Gunawan bersama Arthur S. Nalan. Pementasan perdana wayang ajen pada 1999, sedangkan hingga saat ini telah digelar di berbagai kota di dalam maupun luar negeri.

Lakon wayang ajen dengan lakon "Jaya Perbangsa" yang dimainkan dalam panggung SIPA 2013 itu, berupa cuplikan dari legenda Mahabharata, tentang Gatotkaca yang gugur dalam perang keluarga Bharata. Barangkali sebagian besar kalangan muda pada awalnya tak memahami kisah dan pesan moral yang ditebar dalam lakon itu.

Dalam pergelaran itu, manajer produksi Dini Irma Damayanthi, manajer panggung Nko Kusnandi, pemusik terdiri Agus Rustandi, Asep Hidayat, Wahyudin, Wawan Somantri, Rohmat, Ani Nurlaeni, Murssidin, dan Bubun Subandara, sedangkan penari Utariwa dan Nina Triyani, serta pembantu umum Agung dan Bubun.

Sejak adegan pertama pementasan wayang kontemporer dengan lakon "Jaya Perbangsa" di benteng tua yang terkesan tak terurus lagi itu, dalang tenar dengan nama Wawan Ajen tersebut memainkan dialog dua tokoh menyangkut berbagai isu aktual, antara lain korupsi, kebut-kebutan di jalan, terorisme, remisi untuk penjahat kelas kakap, dan bisnis narkoba dari dalam penjara.

Penggunaan Bahasa Indonesia, setidaknya memudahkan publik Kota Solo dan sekitarnya memahami isi dialog dalam pementasan dengan iringan tabuhan khas Sunda, dan sesekali disusupi tembang-tembang berlanggam dangdut, pop, dan campursari.

Bahkan dalam adegan goro-goro dengan tokoh utama Gareng, Petruk, dan Cepot, pesinden mendendangkan tembang legendaris Kota Solo, karya maestro keroncong Gesang, "Bengawan Solo" dengan iringan musik keroncong. Adegan itu juga seolah menjadi pengikat penonton untuk makin hanyut dalam pementasan.

Ki dalang juga menyentuh syaraf humor para penonton dengan memunculkan sejumlah tokoh lainnya, seperti dai kondang dan pesohor dalam adegan goro-goro, termasuk melalui dialog para tokoh lainnya yang menggunakan bahasa gaul.

Selain itu, dikisahkan juga ingatan tentang sosok Jokowi (Joko Widodo) yang pernah menjadi wali kota setempat dan saat ini Gubernur DKI Jakarta, sebagai pemimpin sederhana, tidak basa-basi, menyejukkan "wong cilik", akan tetapi dengan kekuatan hatinya telah menunjukkan nyali untuk melakukan perubahan. Aplaus penonton berkali-kali menggema di dalam benteng kuno tersebut.

Kisah utama sendiri dimainkan sang dalang berumur 44 tahun itu, sejak adegan Prabu Kresna memberikan wejangan kepada Gatotkaca tentang pentingnya menjadi abdi negara untuk kesejahteraan masyarakat.

Anak Dewi Arimbi dengan Bima yang telah menyandang kematangan spiritual itu pun, diceritakan terpantik semangat nasionalisme, kebeningan hati, dan tanggung jawab berkorban untuk bangsa dan negaranya.

Prabu Kresno kemudian mengangkat Gatotkaca sebagai senapati perang Amarta menghadapi Astina dalam perang Bharata di padang Kurusetra, melawan Karna. Gatotkaca gugur oleh senjata Karna, Kunta Wijayadanu, yang menembus perutnya dan dia kemudian bergelar "Jaya Perbangsa".

Sentuhan teknologi multimedia turut memperkuat pementasan berdurasi sekitar 45 menit yang dikatakan Dalang Wawan Ajen sebagai menebarkan pesan keteladanan figur kesatria Gatotkaca.

"Gatotkaca menjadi inspirasi generasi muda dalam berjuang membela negara dengan pengorbanan jiwa dan raganya," tuturnya.

Selain itu, katanya, lakon itu juga menebar pesan tentang pendidikan budi pekerti yang berperan dalam pembentukan karakter manusia, agar manusia hidup menggunakan hati nurani dan mampu mengalahkan egonya.

"Sudah saatnya generasi muda dengan spirit Gatotkaca, berjuang terus-menerus demi penegakan kebenaran," tukasnya.