Giliran DPR Tentukan Nasib Perpu MK
Kamis, 17 Oktober 2013 23:55 WIB
Menko Polhukam Djoko Suyanto
Tampaknya "bola" berada di tangan wakil rakyat apakah menerima atau menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perpu tentang Mahkamah Konstitusi (Perpu MK) menjadi undang-undang.
Jika DPR RI menerima Perpu MK menjadi UU, Undang-Undang tentang Perpu MK ini terancam dianulir oleh MK. Apalagi, berdasarkan ketentuan Pasal 24C UUD 1945, MK dapat mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD.
Wartawan pun bertanya perihal "judicial review" itu usai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Djoko Suyanto membacakan sinoptis Perpu tentang MK dalam konferensi pers di Istana Yogyakarta, Kamis (17/10) malam.
"Mari kita lihat semangat dari diterbitkannya perpu ini, tidak lain adalah menyelamatkan dan justru memperkuat Mahkamah Konstitusi. Saya kira kita semua paham di sebuah negara demokrasi tidak boleh satu lembaga pun tanpa ada lembaga pengawas," kata Menko Polhukam Djoko Suyanto.
Joko mengatakan bahwa Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada hari Kamis (17/10) malam di Yogyakarta telah menandatangani Perpu No. 1/2013 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Sebagaimana diketahui, kata Joko, dalam pertemuan dengan para pimpinan lembaga negara di Kantor Presiden pada tanggal 5 Oktober 2013, disepakati perlu diambil langkah-langkah cepat dan tepat untuk membantu penyelamatan institusi MK pascatertangkapnya Ketua MK nonaktif Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Salah satu langkah penyelamatan yang mengemuka pada saat itu adalah perlunya diterbitkan perpu.
Melalui kajian yang mendalam, Presiden berpandangan cukup alasan konstitusional untuk menerbitkan perpu, khususnya untuk membantu MK kembali mendapatkan kepercayaan publik. Tentulah sangat berbahaya jika MK yang punya kewenangan sangat strategis untuk menjaga konstitusi bernegara, mengawal demokrasi dan menegakkan pilar negara hukum, tidak lagi mendapatkan kepercayaan utuh.
"Apalagi, tahun depan kita menyelenggarakan pesta demokrasi Pemilu 2014, yang sangat strategis bagi keberlanjutan kehidupan berdemokrasi di Tanah Air," kata Joko.
Dalam perhelatan Pemilu 2014 tersebut, peran MK yang dipercaya sangat penting, utamanya untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilu. Oleh karena itu, langkah cepat dan tepat untuk mengembalikan kepercayaan publik kepada MK adalah suatu keniscayaan, dan penerbitan Perpu MK adalah jawaban yang tepat untuk kegentingan upaya penyelamatan MK tersebut.
Libatkan Pakar
Presiden dalam proses penyusunan Perpu MK tidak hanya melibatkan anggota kabinet terkait seperti Kemenko Polhukam, Kemensesneg, Kemenkumham, dan Wantimpres, tetapi juga mengikutsertakan para guru besar hukum tata negara, mantan hakim konstitusi, praktisi hukum, serta ahli penyusun peraturan perundang-undangan.
Melalui beberapa kali diskusi yang mendalam, lanjut Joko, penyusunan dilakukan dengan cermat dan hati-hati agar tujuan penyelamatan MK dapat tercapai.
Adapun substansi inti dari Perpu MK yang baru saja ditandatangani oleh Presiden ada tiga hal utama, yaitu penambahan persyaratan untuk menjadi hakim konstitusi; memperjelas mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi; dan perbaikan sistem pengawasan hakim konstitusi.
Subtansi pertama, untuk mendapatkan hakim konstitusi yang makin baik, syarat hakim konstitusi, sesuai dengan Pasal 15 Ayat (2) Huruf i ditambah, "tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat tujuh tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi".
Subtansi kedua, mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi disempurnakan sehingga memperkuat prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas sesuai dengan harapan dan opini publik, yang tercantum pula dalam Pasal 19 Undang-Undang MK.
Untuk itu, kata Menko Polhukam, sebelum ditetapkan oleh Presiden, pengajuan calon hakim konstitusi oleh MA, DPR dan/atau Presiden, terlebih dahulu dilakukan proses uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh Panel Ahli yang dibentuk oleh Komisi Yudisial.
Panel Ahli beranggotakan tujuh orang yang terdiri atas satu orang diusulkan oleh MA; satu orang diusulkan oleh DPR; satu orang diusulkan oleh Presiden; dan empat orang dipilih oleh Komisi Yudisial berdasarkan usulan masyarakat yang terdiri atas mantan hakim konstitusi, tokoh masyarakat, akademisi di bidang hukum, dan praktisi hukum.
Subtansi ketiga, perbaikan sistem pengawasan yang lebih efektif dilakukan dengan membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) yang sifatnya permanen, dengan tetap menghormati independensi hakim konstitusi.
Oleh karena itu, MKHK dibentuk bersama oleh Komisi Yudisial dan MK dengan susunan keanggotaan lima orang terdiri atas satu orang mantan hakim konstitusi; satu orang praktisi hukum; dua orang akademisi yang salah satu atau keduanya berlatar belakang di bidang hukum; dan satu orang tokoh masyarakat.
Untuk mengelola dan membantu administrasi MKHK dibentuk sekretariatnya yang berkedudukan di Komisi Yudisial.
Sebelumnya, mantan Ketua MK Mahfud Mahmodin mengusulkan pembentukan majelis kehormatan dilakukan secara permanen untuk pengawasan terhadap hakim MK.
"Untuk melakukan pengawasan hakim MK, saya kira bisa dibentuk majelis kehormatan yang sifatnya permanen," katanya dalam acara simposium internasional di Universitas Pelita Harapan Karawaci, Jakarta, Senin (7/10).
Kelahiran Perpu Dipertanyakan
Menjelang lahirnya Perpu MK, juga ada yang mempertanyakan perihal tingkat kegentingan yang membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memandang perlu adanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi.
"Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) itu hak subjektif Presiden. Presiden yang menafsirkan apakah ada 'kegentingan yang memaksa' atau tidak. Namun, Presiden belum menyampaikan kondisi kegentingan memaksa hingga perlu mengeluarkan perpu," Miko Susanto Ginting, peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), ketika dihubungi dari Semarang, Kamis (17/10).
Namun, dia menegaskan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 memang memberikan hak bagi Presiden secara konstitusional untuk menerbitkan perpu (Pasal 22), yaitu dalam konteks adanya ihwal kegentingan memaksa.
Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa perpu adalah sebagai "noodverordeningsrecht" atau produk hukum yang dikeluarkan berdasarkan hak subjektif Presiden guna melakukan pengaturan ketika ada keadaaan yang genting dan memaksa.
Hak subjektif Presiden yang diberikan oleh konstitusi ini kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Pasal 1 butir 4, Pasal 7, dan Pasal 11).
Adapun mekanisme pemberian persetujuan oleh DPR agar perpu tersebut dapat atau tidak dapat berlaku sebagai undang-undang, kata Miko, diatur dalam Pasal 52 UU No. 12/2011.
Saat ini, menurut dia, belum ada kegentingan memaksa kalau basisnya tiga poin yang disampaikan oleh Presiden tersebut. Dalam keadaan normal pun, harusnya tiga hal tersebut sudah diatur dalam undang-undang.
"Kegentingan itu berhubungan dengan waktu dan kondisi apakah persidangan MK terhenti? Ternyata tidak. Jumlah hakim juga masih kuorum (syarat di UU MK, minimal tujuh hakim). Lain halnya, apabila lebih dari dua hakim dijadikan tersangka. Atau, semua hakim mengundurkan diri," paparnya.
Ia lantas menyarankan, dalam kapasitas Presiden yang memiliki kewenangan konstitusional untuk membentuk UU bersama dengan DPR, berdasarkan substansi pengaturannya, lebih tepat ketiga hal tersebut diajukan dalam bentuk RUU inisiatif oleh Presiden, atau dapat melalui perubahan UU No. 8/2011 tentang Perubahan atas UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Pewarta : D.Dj. Kliwantoro
Editor : D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2025
Terkait
Terpopuler - Pumpunan
Lihat Juga
"Sepenggal Kisah" BPJS Ketenagakerjaan bagi penggali kubur dan pemandi jenazah
22 November 2024 21:06 WIB