Dengan segera pula, dia membenarkan bahwa bunga relatif cukup besar itu memang bunga bangkai yang oleh kalangan masyarakat sekitar candi warisan peradaban dunia itu biasa disebut "suweg".

"Lha, yo, ini 'suweg'. Ya, betul yang disebut bunga bangkai itu," kata lelaki berumur 68 tahun itu sambil telunjuk kanannya menunjuk foto dari telepon android ketika ditemui di rumahnya yang berdampingan dengan pagar Taman Wisata Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Bunga bangkai jenis Amorphopalus paeonifolius atau "suweg" tumbuh dan mekar di pekarangan belakang rumah Hadi bin Atmodimejo (69) di Dusun Banjaran II/Kregilan, RT02/RW02, Desa Karanganyar, Kecamatan Borobudur, sekitar 3 kilometer barat daya Candi Borobudur.

Pada hari Minggu (1/12) pagi, ukurannya cukup besar. Setelah penemunya yang juga salah satu anak Hadi, Muhammad Mufid Mas'ud (31), dengan seorang anggota keluarga itu, mengukurnya, ternyata tingginya mencapai sekitar 50 sentimeter, kelompak terpanjang berukuran 56 cm dan terpendek 50 cm.

Mas'ud menyebut bunga itu mekar sejak Sabtu (30/11) sore, sedangkan tiga hari sebelumnya masih berupa kuncul dengan ukuran yang relatif cukup besar pula.

"Bau tidak sedap keluar dari bunga itu, tercium baunya seperti bangkai, apalagi kalau sore hari," kata Mas'ud yang juga guru di madrasah ibtidaiah Desa Sambeng, Kecamatan Borobudur itu.

Hadi bahkan tidak menyangka bahwa di pekarangannya muncul bunga tersebut. Sejumlah orang dewasa yang menyaksikannya pagi itu, memang sempat menyebut bunga tersebut sebagai "suweg".

"Wah, kalau yang ini, cukup besar. Biasanya hanya kecil. Sampai sekarang masih sering memang ditemui di dusun-dusun sekitar Borobudur ini," kata Ariswara yang berpanggilan akrab Pak Tomo itu.

Pak Tomo yang juga budayawan Borobudur tersebut menyebut tidak ada secara gamblang ditemukan relief berupa "suweg" di dinding-dinding Candi Borobudur yang dibangun sekitar abad ke-8 masa Dinasti Syailendra.

Akan tetapi, kata penulis buku "Temples of Java" itu, aneka ragam tanaman menjadi salah satu bagian dari relief Candi Borobudur, terutama di lantai IV dan V.

"Apa yang tertera di relief, umumnya juga tentang apa saja yang pernah dijumpai para pekerja pembangunan Candi Borobudur pada masa lalu, termasuk menyangkut flora dan fauna," katanya.

Namun, "suweg" sebagai tanaman yang sejak dahulu kala tumbuh di kawasan Candi Borobudur, terutama saat musim hujan. Biasanya, bunga itu mekar selama sekitar satu minggu untuk kemudian layu.

Ia menyatakan tidak tahu perkembangbiakan secara alamiah atas "suweg" karena biasanya tumbuh di tempat yang berbeda-beda di pekarangan rumah warga.

Disebutnya beberapa tempat di dusun sekitar candi itu yang hingga saat ini masih sering dijumpai "suweg" tumbuh dan mekar, seperti Dusun Majaksingi, Wagean, Jowahan, dan Ngaran.

Pada zaman penjajahan Jepang (1943--1945), kata dia, "suweg" diolah warga sekitar Candi Borobudur sebagai makanan. Hal itu mereka lakukan karena saat zaman penjajahan Jepang, masyarakat sekitar Candi Borobudur menghadapi kesulitan bahan pangan utama.

Umbi "suweg" yang berbentuk bulat dan ukuran relatif cukup besar seperti waluh (Cudurbita moschata) , katanya, dibelah, diiris-iris hingga sebesar camilan gadung, kemudian direndam dan direbus.

Pak Tomo yang bersama istrinya, Maidar (55), berasal dari Nanggroe Aceh Darussalam itu, sejak beberapa waktu terakhir mengembangkan pengolahan makanan berbahan baku lokal Borobudur menjadi aneka camilan, menyebut enak rasa makanan olahan dari "suweg".

"Enak rasanya. Akan tetapi, sekarang sudah jarang diolah. Mungkin karena sudah ada ketela, singkong, talas, dan lain-lain itu, sehingga 'suweg' dibiarkan tumbuh begitu saja. Menjadi tanaman liar sampai layu sendiri," katanya.

Sebagian masyarakat setempat barangkali memang tak hirau lagi terhadap "suweg" sebagai tanaman sesaat, tatkala tiba musim hujan.

Kendati demikian, "suweg" memang memperkaya flora kawasan Candi Borobudur.