Pengamanan Prancis Diperketat Jelang Aljazair Bertanding
Senin, 30 Juni 2014 21:58 WIB
Momen bersejarah pertama kalinya Aljazair lolos ke babak 16 besar Piala Dunia pada Jumat (27/6) pagi WIB memicu insiden kekerasan di sejumlah kota di Prancis, yang berujung pada penangkapan sedikitnya 70 orang pelaku kerusuhan dan penjarahan.
Jumlah tersebut dua kali lipat dari sekira 30-an orang yang ditangkap pada Senin (23/6) WIB setelah kemenangan Aljazair atas Korea Selatan.
Kerusuhan tersebut memicu reaksi pedas dari pemimpin sayap ultra kanan Marine Le Pen yang meminta agar kebijakan dwikewarganegaraan Prancis dihapuskan, karena dianggap gagal.
Warga Aljazair merupakan kelompok imigran terbesar di Prancis, dengan jumlah mencapai hampir dua juta jiwa, dan sebagian besar memiliki dwi-kewarganegaraan.
"Kami meminta semua orang agar tetap menjaga ketenteraman selama perayaan kemenangan," kata Menteri Hubungan Eropa Prancis Harlem Desic pada Senin.
"Kami tidak bisa membiarkan kerusuhan mengganggu pesta," ujarnya kepada kanal televisi swasta LCI, sembari mengatakan sejumlah rencana pengamanan telah diterapkan di beberapa tempat guna mencegah berulangnya insiden kekerasan.
Sementara itu Desir menilai reaksi Le Pen sebagai upaya untuk mengadu domba dan mengatakan para pengacau merupakan sebagian kecil dari komunitas minoritas dan tidak mewakili sikap komunitas.
"Saya ingin kita memisahkan dengan jelas mana kelompok minor pengacau dan mayoritas anggota komunitas yang perperilaku damai,
Ratusan polisi dikerahkan
Lebih dari 500 petugas kepolisian akan dikerahkan di kota bagian Timur Prancis, Lyon, menjelang pertandingan Aljazair menghadapi Jerman pada Senin, kata pimpinan keamanan wilayah tersebut Albert Doutre.
Jerman menelan dua kekalahan di dua laga terakhir melawan Aljazair, 2-1 pada Piala Dunia 1982 dan 2-0 pada pertandingan persahabatan 1964, dengan pemenang kali ini akan menghadapi Prancis atau Nigeria di babak perempat final di Rio de Janeiro.
Lyon dan Marseille menjadi lokasi insiden kekerasan selepas pertandingan Aljazair, sementara sejumlah pendukung juga mengambil alih kawasan bersejarah Champs-Elysees di Paris serta bertikai dengan pihak kepolisian.
Le Pen, selaku pimpinan Partai Front Nasional yang antiimigrasi, pada Minggu (29/6) menyatakan rangkaian kerusuhan tersebut alasan tepat untuk mengkaji ulang kebijakan imigrasi.
"Sekarang kita harus menghentikan dwikewarganegaraan. Tidak ada negara lain di dunia yang menerima apa yang terjadi di wilayah kita," kata Le Pen dalam unjuk bincang televisi dan radio setempat.
Sejak memimpin Front Nasional pada 2011, Le Pen telah berusaha untuk membersihkan citra rasis dan antisemit dari partainya.
Ia memimpin partainya memuncaki pemilihan Eropa pada Mei dengan perolehan 25 persen suara di Prancis dan Front Nasional juga mendapatkan hasil baik di pemungutan suara lokal pada Maret.
Ini bukan kali pertama Le Pen menyuarakan penolakannya terhadap kebijakan dwikewarganegaraan, sebelumny pada 2010 ia menyerukan reformasi atas hal tersebut yang dianggap "merendahkan" nilai-nilai republik.
Kelompok antirasisme Prancis SOS Racisme mengatakan langkah Le Pen menggunakan sejumlah insiden kecil untuk menyokong agenda Front Nasional sebagai "berbahaya dan memprihatinkan".
Mantan Perdana Menteri dari partai kanan moderat UMP, Francois Fillon, juga mengatakan bahwa usulan Le Pen "tidak akan mengubah apapun", sembari mengatakan hal itu bukan bagian "permasalahan hukum".
"Itu wujud kegagalan kebijakan integrasi dan sekarang kita memiliki generasi yang tidak bangga menjadi warga Prancis," katanya, demikian AFP.
Pewarta : Antaranews
Editor:
Antarajateng
COPYRIGHT © ANTARA 2024