Logo Header Antaranews Jateng

Wayang Sakral jadi Doa Kemakmuran Petani Merapi

Jumat, 7 November 2014 17:44 WIB
Image Print
Adegan Begawan Abiyasa memberi restu Pandawa untuk membangun "Lumbung Tugu Mas" dalam wayang sakral petani Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor Desa Sumber, Dukun, Magelang, Jawa Tengah, Kamis (6/11) malam. Pementasan wayang sakral dalam tradisi bud

Ratusan orang berasal dari berbagai desa di kawasan Gunung Merapi sudah berdatangan pada Kamis (6/11) malam, memadati pendopo padepokan seni budaya yang dibangun pada 1937 oleh tokoh spiritual, Romo Yoso Sudarmo (1885-1990).

Begitu juga mereka lainnya datang dari berbagai kota dan berjejaring dengan komunitas petani setempat itu, telah berada di padepokan yang letaknya di tepian alur Sungai Senowo, sekitar enam kilometer barat daya puncak Gunung Merapi.

Di antara mereka yang turut memadati pendopo padepokan dengan panggung prosenium, adalah rombongan berjumlah sekitar 100 mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta dipimpin dua pengajarnya, Joko Aswoyo dan Eko "Pebo" Supendi, saat puncak tradisi budaya para petani setempat yang dikenal sebagai "Suran Tutup Ngisor".

Bergabung juga di dalam pendopo padepokan di kawasan Gunung Merapi yang malam itu, udaranya cukup dingin dengan awan bergumpal-gumpal di langit, tepat pada 15 Sura 1948 (kalender Jawa) yang identik dengan bulan purnama, antara lain Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Magelang Edi Susanto, Kepala Kepolisian Sektor Dukun AKP Eko Mardiyanto, Sekretaris Kecamatan Dukun Bambang Hermanto, budayawan Magelang Sutanto Mendut, dan Ketua Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang Supadi Haryanto.

Semua sanak keluarga padepokan mengenakan pakaian adat Jawa, antara lain bebet, surjan, dan belangkon, menyambut dengan ramah para tamu yang datang pada peringatan hari istimewa komunitas itu. Lingkungan padepokan juga diinstalasi dengan berbagai anyaman janur, jerami, aneka hiasan bambu, dan taburan kembang mawar warna merah dan putih, serta pelita terbungkus gedebok di berbagai tempat.

Selama beberapa saat sebelum pentas wayang sakral penanda puncak "Suran Tutup Ngisor", Supadi Haryanto bersama beberapa pegiat komunitas seniman petani dari kawasan Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh itu, berjalan ke pemakaman Romo Yoso di belakang kompleks padepokan, untuk ziarah kubur dan berdoa.

Perbincangan antara Tyas yang direktur utama termuda di perusahaan di bawah badan usaha milik negara itu, dengan Sitras malam tersebut, seputar arti penting pergelaran wayang sakral dengan lakon "Lumbung Tugu Mas" dan seluruh rangkaian perayaan besar bernuansa wajah desa, "Suran Tutup Ngisor", yang kali ini berlangsung selama empat hari, 4-7 November 2014.

Keluarga padepokan, setiap tahun memiliki kewajiban menggelar empat tradisi, yakni perayaan tahun baru Jawa bernama "Suran" (Suran Tutup Ngisor), peringatan HUT RI, perayaan Idul Fitri, dan Maulud Nabi Muhammad SAW.

"Ini adalah cara kebudayaan keluarga padepokan, berdoa untuk semua orang dan melibatkan mereka dengan berbagai latar belakang, agar pertanian tetap subur dan masyarakat petani Merapi beroleh kemakmuran dan keselamatan," kata Sitras dalam sepenggal perbincangan dengan Tyas sebelum didaulat menyampaikan kesan personalnya tentang padepokan seni budaya itu di atas panggung prosenium.

Budayawan yang juga penerima Anugerah Kebudayaan dan Penghargaan Maestro Seni Tradisi 2014 dari pemerintah pusat pada 3 Oktober yang lalu, Sutanto Mendut menyebut padepokan dengan pendukungnya sebagai pusaka bangsa. Sebutan "pusaka" yang dimaksud Sutanto untuk padepokan itu, tentunya bukan sebatas pusaka bendawi, akan tetapi juga pusaka tak bendawi.

Perjalanan waktu, katanya, telah membawa mereka melewati klaim sebagai hebat dan sebagai pelestari kesenian tradisional. Mereka telah menentukan jalan kebudayaannya sebagai bagian tak lepas dari kehidupan sehari-hari. Sitras bahkan mengaku risi dengan sebutan "nguri-uri" (melestarikan) kebudayaan.

Sutanto menyatakan optimistis bahwa kekuataan desa, spirit pertanian, dan lingkungan alam Gunung Merapi akan terus menuntun kehidupan kebudayaan mereka dengan multikompleks tantangannya.

"Padepokan ini mengajari setiap orang tentang tidak ada gunanya kesombongan dan arogansi sektoral. Padepokan ini telah mengajari arti penting pergaulan yang panjang," katanya dalam pidato kebudayaan, sebelum pentas wayang sakral "Lumbung Tugu Mas" dengan tabuhan gamelan bertalu-talu dan tembang-tembang berbahasa Jawa oleh para pesinden.

Puncak
Tabuhan gamelan mengiring berbagai adegan hingga puncak pementasan wayang orang sakral, "Lumbung Tugu Mas", dengan dituntun oleh dalang Suwonto. Lakon itu, karya Romo Yoso bersumber inspirasi kehidupan petani dan Dewi Sri yang dalam mitologi Jawa sebagai lambang kesuburan.

Lakon wayang sakral tersebut, tentang rencana mulia keluarga Pandawa membangun lumbung dengan penuh tantangan dan jalan pencapaian yang harus mereka tempuh. Lumbung adalah tempat menyimpan padi, hasil panenan petani.

Berbagai tantangan membangun lumbung itu, disimbolkan dengan gangguan para raksasa terhadap perjuangan keluarga Pandawa..

Salah satu adegan pementasan itu, berupa pertemuan keluarga Pandawa di Kerajaan Indraprasta dipimpin oleh Prabu Kresna (Marteja). Digambarkan juga tentang kehadiran, antara lain Puntadewa (Hari), Bima (Saparno), Arjuna (Eka Pradaning), Nakula (Suroso), Sadewa (Slamet Widodo), serta para punakawan.

Kresna juga menjelaskan dalam pertemuan itu, tentang makna "Lumbung Tugu Mas" yang kira-kira sebagai tempat kemakmuran, dibangun dengan tekad yang teguh, demi mencapai cita-cita luhur manusia.

Dikisahkan juga, Kresna mengonfirmasi kepada Puntadewa tentang restu Begawan Abiyasa (Untung Pribadi) atas rencana membangun "Lumbung Tugu Mas" agar masyarakat hidup makmur, damai, dan terbebas dari malapetaka.

Sebelumnya, para Pandawa telah mengutus Abimanyu (Widyo Sumpeno) dan Gatotkaca (Darmawan) dengan didampingi punakawan, yakni Semar (Cipta Miharsa), Petruk (Gondo Wardoyo), Gareng (Sarwoto), dan Bagong (Prihatin) untuk menghadap Begawan Abiyasa, guna meminta restu pembangunan "Lumbung Tugu Mas".

"'Kekarepan luhur dakpangestoni' (Kehendak mulia, saya merestui, red.)," begitu Abiyasa yang ditemui utusan para Pandawa itu di Pertapaan Saptaarga.

Sitras Anjilin yang juga salah satu petinggi Komunitas Lima Gunung, beranjak menggantikan posisi Suwonto sebagai dalang. Sambil bersila di bawah dupa di tepi panggung pementasan, tangannya beberapa kali terayun, menebarkan beras ke kanan dan kiri tempatnya mendalang.

Rapalan-rapalan berbahasa Jawa meluncur dari Sitras, sambil terdengar tembang dari balik panggung tentang permohonan kepada para dewa untuk turun memberikan pusakanya kepada Pandawa guna membangun "Lumbung Tugu Mas".

"'Sang Yang Sri, tumuruna aneng taman agung, mahyonono tanem tuwuh mrih pratani, pinaringan subur makmur. Tumuruna aneng taman agung, mugi kasembadan kang kasedyanira'," demikian sepenggal kalimat tembang doa yang terdengar dalam iringan gender bernuansa takzim.

Kira-kira maksud kalimat tembang tersebut, permohonan kepada Dewi Sri agar berkenan turun ke bumi Merapi, memberikan kesuburan pertanian, dan mengabulkan permintaan masyarakat untuk mendapatkan kehidupan semakin makmur.

Babak doa dalam pementasan wayang sakral selepas pukul 00.00 WIB, dikisahkan dipandu oleh Semar dengan punakawan lainnya. Mereka membakar dupa dalam tungku, sedangkan di tahta Indraprasta duduk Kresna dan Puntadewa, menantikan kedatangan para dewa dari kayangan guna menyerahkan berbagai pusakanya untuk membangun "Lumbung Tugu Mas".

Tercatat 16 pusaka dari para dewa dan dewi diserahkan kepada para Pandawa, yang satu per satu diterima oleh punakawan, yakni pusaka bernama Sandang Walikat, Cangkok Wijaya Kusuma, Cangkok Sari Kenoko, Cangkok Joyomulyo, Kiai Susuk Sosro Bau Kenoko, Kastubo Urip, Kiai Jati Sampurna, Cepoko Sari, Kiai Blabar Gelap, Kiai Klabung Kusumo, Kiai Candi Sari, Kiai Candi Roso, Kiai Pembayun, Kiai Jangkar Sari Kenoko, Kiai Jangkar Wido Kenoko, dan Kiai Trekoso.

Saat adegan itu, padepokan seakan dalam balutan nuansa teduh, tenang, dan takzim. Seakan, semua yang hadir di pendopo larut begitu saja oleh alunan gending-gending gamelan yang ditabuh perlahan-lahan, merasukkan kalimat-kalimat doa dengan makna yang mudah ditangkap oleh benak setiap orang.

Tyas yang juga pegiat Komunitas Lima Gunung itu, mengungkapkan bahwa doa tak sekadar laku ritual.

Namun, katanya, tembang, lakon dan wayang, serta kata-kata, juga menjadi jalan interaksi antara manusia dan Tuhan dengan berbagai sifat kebenaran, yang menjadikan manusia lebih baik.

Selagi pesan-pesan kebaikan Tuhan terus menerus ditebarkan, kehidupan yang lebih baik menjadi keniscayaan.

"Doa di sini dibungkus dengan indah untuk mencapai tujuan hidup yang lebih baik. Segala doa diterima, menghasilkan hal-hal yang indah. Umur juga diisi dengan segala doa-doa," katanya.

Seketika, doa mereka dalam wujud wayang sakral "Lumbung Tugu Mas" saat puncak "Suran Tutup Ngisor", terasa telah menjadi selimut hangat padepokan di Gunung Merapi itu.


Pewarta :
Editor: Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2024