Logo Header Antaranews Jateng

Refleksi Pancaroba di Reruntuhan Candi Batur

Rabu, 4 Maret 2015 21:33 WIB
Image Print
Dua seniman performa gerak dan pembacaan puisi di reruntuhan Candi Batur di atas bukit di Dusun Ngobaran, Desa Candisari, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang, Selasa (4/3). Performa mereka merefleksikan tentang pancaroba kehidupan bersama. (Hari

Kabut hanya sampai di bukit sebelahnya berpepohonan rimbun yang oleh warga setempat dikenal sebagai Bukit Giyanti, masih masuk wilayah Kecamatan Windusari.

Suara gemiricik air dari aliran sungai kecil bernama Kali Ngelo terdengar, sedangkan sejumlah warga asyik dengan sabitnya melakukan pekerjaan harian, mencari rumput dan kayu di atas bukit, tempat reruntuhan Candi Batur.

Jalan berpaving sejauh 700 meter mencapai reruntuhan candi itu berselimut lumut yang cukup tebal. Lumut yang masih basah membuat sepeda motor yang dikendarai dua seniman Magelang, masing-masing Eka Pradaning dan Agung "Begawan Prabu" Nugroho, harus terseok-seok untuk mencapai puncaknya yang luasnya sekitar setengah hektare tersebut.

Masyarakat setempat menyebut "batur" (dari kata "bebaturan") atas bukit tersebut karena bagian puncaknya berupa tanah lapang yang luas dengan sisa-sisa candi yang berserakan di berbagai tempat.

Situs itu pun kemudian dikenal sebagai Candi Batur, saat ini hanya terlihat jelas sisa dua pasang makara di bagian barat dan timur. Sisa bangunan lainnya yang berupa bebatuan candi, terserak di atas bukit tersebut.

Mereka menuju puncak Candi Batur, Selasa (4/3) pagi, hendak melakukan performa seni gerak dan membacakan puisi, sebagai refleksi menyangkut tiba waktu pancaroba, perubahan dari musim hujan ke musim kemarau, sebagaimana prakiraan Badan Meterologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

"Saat ini Indonesia sudah memasuki pancaroba," kata prakirawan BMKG Jateng Septima di Semarang, beberapa waktu lalu.

Kepala Dusun Batur Suwito yang memimpin sekitar 115 keluarga tidak berada di rumahnya ketika hendak ditanya soal reruntuhan candi itu di mata masyarakat setempat. Demikian pula kantor balai desa setempat yang berada di tepi jalan utama Windusari, juga terlihat sepi.

Pintu dan jendela balai desa tertutup, tak terlihat orang beraktivitas di tempat tersebut, meskipun jarum jam masih menunjukkan sekitar pukul 10.30 WIB.

Seorang warga yang sedang beraktivitas di kawasan reruntuhan Candi Batur bernama Edi Susilo (45) menyatakan tidak mengetahui banyak ihwal tentang peninggalan sejarah yang sekitarnya dipenuhi dengan pepohonan, seperti jati, sengon, puring, dan rerumputan.

"Kalau orang-orang bercerita, dulu-dulunya akan dibuat candi di sini, tetapi karena sudah terdengar suara orang menumbuk padi (pertanda pagi hari telah tiba, red), sehingga tidak selesai candinya. Seperti yang Candi Loro Jonggrang (terkait dengan cerita rakyat tentang asal mula Candi Sewu, Candi Prambanan, dan Candi Ratu Boko, red.)," katanya.

Kebenaran atas cerita warga setempat dengan kenyataan sejarah tentu masih perlu diteliti. Apalagi, hingga saat ini informasi tentang Candi Batur di atas bukit dusun setempat masih relatif minim. Relatif tak jauh dari tempat itu, juga terdapat candi peninggalan zaman Hindu lainnya, bernama Candi Selogriyo.

Setiap hari, suasana di reruntuhan Candi Batur selalu sepi. Hampir tidak ada orang luar desa yang datang ke tempat itu. Ia juga menyatakan tidak tahu siapa yang diserahi pihak berwenang untuk menjadi juru kunci atas candi tersebut.

Ia hanya memperkirakan kepala dusun setempat sebagai juru kunci Candi Batur.

"Hampir tidak ada orang luar ke Candi Batur. Apalagi wisatawan. Tapi warga punya tradisi, melakukan merti dusun dengan wayangan dan pentas kesenian topengan," katanya.

Tak seberapa lama Edi Susilo berlalu dari tempat itu, Eka Pradaning yang penari dari Sanggar Tapak Liman Kecamatan Candimulyo, Kabupaten Magelang, sudah terlihat membalut pinggangnya dengan kain warna gelap motif batik, sedangkan tubuhnya berselempang kain warna oranye.

Dia menyulut segenggam hio untuk sarana melakukan performa gerak di sejumlah tempat reruntuhan candi itu dengan sikap takzim. Diletakkannya beberapa batang hio di sejumlah tempat, seakan menjadi pertanda syukur atas musim yang segera meninggalkan penghujan.

"Bahwa pancaroba juga menyimpan semangat hidup berpengharapan untuk suasana kehidupan bersama yang menjadi lebih baik, tidak kusut lagi. Banyak persoalan masyarakat dan negeri ini yang seakan menerpa bertubi-tubi selama ini. Semoga pancaroba membawa pengharapan menjadi lebih baik, berbagai persoalan segera rampung," katanya.

Sebelum performa itu, ia menyebut sejumlah contoh tentang persoalan yang mengharu-biru kehidupan bersama sejak beberapa waktu terakhir, seperti pertikaian antara Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Polri, keributan yang tidak ada ujung pangkal selesainya dilakoni para politikus, bencana alam di berbagai daerah, dan musibah lainnya.

Agung Nugroho berselempang kain putih di tubuhnya, berjalan perlahan-lahan memasuki "pintu" di antara makara yang berupa arca gajah dengan binatang mirip bebek. Hingga setapak berjalan di tatanan batuan berundak, ia duduk bersila lalu membacakan dengan lantang puisi berjudul "Puing Batu Candi Puing Asa".

Sementara dia membacakan puisi itu, sang penciptanya, Eka Pradaning, terus melakukan gerak performa dengan menari dan beranjak dari satu reruntuhan ke reruntuhan batuan lainnya. Suasana makin takzim dalam refleksi pancaroba yang hening.

"Kini tetap aku menghayati atas musim ke musim lalu berlalu. Tetap saja aku membisu meski zaman kian tak menentu. Tentang penghuni negeri yang hilang kendali, hilang jati diri. Tentang pemimpin yang bingung mata arah. Tentang wakil rakyat tidak kenal rakyat.

Tentang pemuka agama yang terganggu khidmat khusyuknya. Semua itu aku bersaksi, sebab akulah waktu yang mewujud dalam batu. Akulah sang kalamakara yang selalu memangsa kesempatan manusia. Yang tak henti mengunyah dan bersaksi. Sepanjang musim ke musim. Atau di setiap sela pancaroba," begitu penggalan puisi itu.

Penggalan lainnya dari puisi yang dibacakan Agung yang juga pegiat kelompok penyair Forum Kilometer Nol Magelang itu, menyiratkan kegamangan situasi kehidupan akhir-akhir ini, bagaikan reruntuhan Candi Batur.

"Hening di kesunyian menepi. Tinggal perih seonggok beku pecah nan bongkah tiada keutuhan. Aku hanyalah puing-puing yang tersisa mewujud kalamakara jika kau masih mengenali. Meski seram wajah saat kau menatap, namun kemana pun langkahmu kan selalu padaku menuju. Sebab, akulah waktu bagimu nan selalu memangsa umur dan kesempatanmu. Biarkan mahligai dan ratna suci hancur karena ulah kotor tangan-tanganmu. Atau juga aku mangsa sendiri saat aku menjelma waktu. Itulah garis takdir yang mesti terjadi," demikian penggalan lain puisi tersebut.

Untuk mengungkapkan pentingnya kehendak bersama, membangun suasana kehidupan bersama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara agar tetap lestari, pesan dari penggalan lain puisi "Puing Batu Candi Puing Asa" itu, terkesan mengingatkan dengan nada "perih" atas suatu kehancuran yang hanya bisa diterima dengan pasrah.

"Dalam diamku nan bisu sehabis kemegahan berdiri di bukit ini. Biarlah kini aku tetap menjadi batu-batu berpuing. Aku kan tetap setia berdiri dan bersaksi atas langkah lakunya perjalanan. Saat di sini, aku sebagai candi di kemegahan zaman. Sampai tubuhku hancur diporak- porandakan, aku pun pasrah menerimanya," begitu puisi refleksi yang dibaca Agung.

Usai performa selama sekitar satu jam itu, ia menyebut tepat waktu melakukan refleksi tersebut karena saat ini sudah masuk pancaroba.

Refleksi pancaroba di atas bukit berserakan bebatuan Candi Batur, tidak sekadar berbicara soal perubahan musim, namun juga ingin menandai kehendak membangun perubahan kehidupan bersama bagi negeri ini dengan semua orang yang membalut praduga positif atas segala hal, agar jalan bersama ke depan tidak mengantar kepada keporakporandaan.


Pewarta :
Editor: Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2025