SVLK Syarat Utama Mebel Impor
Selasa, 17 Maret 2015 07:43 WIB
Kementerian Kehutanan yang ditunjuk oleh pemerintah terkait penerapan SVLK, hingga saat ini terus melakukan sosialisasi kepada para pelaku mebel mulai dari hulu hingga hilir, yaitu mulai dari pedagang kayu gelondongan hingga perajin mebel siap ekspor.
Pada kegiatan sosialisasinya di Semarang beberapa waktu lalu, Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi dan Perdagangan Internasional Kementerian Kehutanan Ida Bagus Putera Parthama mengatakan saat ini Kemenhut fokus kepada para pelaku industri mebel skala kecil dan menengah.
Menurut dia, perajin skala itu perlu diberikan pemahaman lebih dan bantuan mengingat omzet mereka masih terbatas. Meski demikian, pihaknya berharap ada sikap kooperatif dari pelaku industri mebel terkait dengan proses kepemilikan SVLK, salah satunya mengenai kelengkapan izin.
Mengenai penerapan syarat tersebut, Kemenhut menjadikan Jawa Tengah sebagai barometer penerapan SVLK mengingat banyak daerah di Jateng merupakan sentra produksi mebel, salah satunya Kabupaten Jepara.
"Penerapan SVLK Industri Kecil dan Menengah (IKM) sektor kayu di Jateng sudah cukup maju jika dibandingkan dengan IKM di provinsi lain," katanya pada sosialisasi percepatan SVLK di Gedung Gradhika Bhakti Praja Semarang.
Oleh karena itu, pihaknya berharap kesadaran pelaku IKM mebel Jateng untuk melengkapi usahanya dengan SVLK tersebut bisa diikuti oleh pelaku IKM dari provinsi lain.
Dia mengakui masih ada sejumlah kendala dalam proses percepatan penerapan SVLK tersebut. Menurut survei yang dilakukan oleh Kemenhut, para pelaku IKM yang belum mengurus SVLK mayoritas karena belum memiliki sejumlah izin.
"Padahal kalau izin sudah lengkap, waktu yang dibutuhkan untuk mengurus SVLK ini hanya 40 hari. Oleh karena itu, kami berharap masing-masing pemda memfasilitasi proses perizinan tersebut," katanya.
Apalagi, untuk biaya pengurusan izin SVLK khusus IKM dibantu oleh Kementerian Kehutanan, sehingga pengurusan tersebut bersifat gratis.
Dia mengatakan terhitung mulai 1 Januari 2016, jika pengusaha mebel tidak memiliki SVLK maka tidak bisa melakukan ekspor produk. Kondisi tersebut karena menyesuaikan peraturan perdagangan asing yang menutup akses bagi masuknya kayu yang tidak memiliki izin.
"Selain mengikuti peraturan perdagangan global, SVLK ini juga untuk mengubah citra Indonesia yang selama ini identik dengan kayu ilegal," katanya.
Sementara itu, Wakil Gubernur Jateng Heru Sudjatmoko mengimbau kepada pemerintah kota maupun kabupaten agar mempercepat dan melakukan secara transparan proses perizinan tersebut.
"Pada sosialisasi ini kami juga mengundang pemkot dan pemkab melalui instansi terkait serta asosiasi agar lebih memahami keharusan penerapan SVLK ini. Selanjutnya diharapkan mereka melakukan koordinasi dengan pelaku usaha mebel di masing-masing daerah," katanya.
Pihaknya memastikan dilakukannya pengawasan pada proses pengurusan izin untuk SVLK tersebut. Hal ini untuk menghindari potensi pungutan liar yang mungkin terjadi.
Kesepakatan SVLK
Mengenai sosialisasi penerapan SVLK, Kementerian Kehutanan menggandeng mitra kerja, yaitu Multistakeholder Forestry Programme (MFP). MFP bertugas melalukan sosialisasi hingga ke akar rumput, yaitu mendatangi sejumlah pelaku IKM mebel dan pedagang kayu gelondongan untuk memastikan kesiapan mereka dalam mengurus SVLK.
Technical Specialist MFP Fazrin Rahmadani mengatakan salah satu hal yang harus dipahami oleh para pelaku IKM mebel adalah SVLK tersebut bukan merupakan syarat yang hanya dibuat oleh pemerintah Indonesia, melainkan untuk mengikuti peraturan global yang sudah mulai diterapkan di sejumlah negara maju.
Ia mengatakan penyusunan SVLK sudah dilakukan sejak 2003 yang mana merupakan tindak lanjut dari hasil Deklarasi Bali tentang Forest Law Enforcement Governance Trade (FLEGT). Oleh Uni Eropa, FLEGT tersebut mulai diterapkan pada 13 September 2013.
Sementara oleh pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kemenhut, SVLK mulai diterapkan pada 2009 melalui Permenhut Nomor P.38/Menhut-II/2009. Pada peraturan tersebut, SVLK diberlakukan secara wajib bagi semua kegiatan unit usaha kehutanan, baik di hulu maupun hilir, serta pemilik hutan hak.
Untuk keefektifan pelaksanaannya, permenhut tersebut mengalami beberapa kali perubahan melalui Permenhut P.68/Menhut-II/2011, Nomor P.45/Menhut-II/2012, Nomor P.42/Menhut-II/2013, dan Nomor P.43/2014 yang mengatur mengenai standar dan pedoman penilaian kinerja pengelolaan hutan produksi lestari dan verifikasi legalitas kayu pada pemegang izin atau pada hutan hak.
Dia menjelaskan setelah menjalani proses negosiasi selama enam tahun, akhirnya Indonesia ikut menandatangani kesepakatan yang tertuang dalam FLEGT tersebut. Dengan adanya kesepakatan tersebut, maka produk mebel Indonesia ber-SVLK diizinkan masuk ke setiap negara, terutama yang sudah menerapkan SVLK.
Oleh karena itu, agar hasil produksinya lolos pada persyaratan tersebut, pelaku usaha mebel dan kayu gelondongan harus segera mengurus SVLK.
Awalnya, pemerintah memberikan batas waktu pengurusan SVLK hingga 1 Januari 2015, lantas karena banyaknya pelaku mebel yang belum memiliki syarat tersebut maka implementasi penuh dilakukan mulai 1 Januari 2016.
Selama satu tahun ini, pelaku usaha mebel eskpor yang belum memiliki SVLK masih bisa menggunakan Deklarasi Ekspor (DE).
Dia mengatakan mereka yang bisa menggunakan DE adalah industri atau IKM yang memiliki izin eksportir terdaftar produk industri kehutanan (ETPIK),
Untuk bisa memiliki ETPIK, para pelaku usaha mebel harus mendaftar ke Kementerian Perdagangan, selanjutnya Kemendag berkoordinasi dengan Bea dan Cukai serta Kemenhut.
"Pemerintah menargetkan pada tanggal 1 Juli 2015 seluruh pelaku industri mebel khususnya ekspor sudah mengantongi persyaratan SVLK. Oleh karena itu, pada tiga bulan ini kami memprioritaskan sosialisasi penerapan SVLK di lima provinsi yang memiliki banyak sentra industri mebel yaitu Jateng, Jatim, Jabar, DIY, dan Bali," katanya.
Bantuan Pemerintah
Mengenai penerapan SVLK, sebelumnya Ketua Asosiasi Pengusaha Mebel Indonesia (Asmindo) Jawa Tengah Eri Sasmito mengatakan pemerintah perlu membantu dan memberikan proteksi kepada perajin kecil, salah satunya memberikan kemudahan bagi perajin skala kecil yang belum memiliki SVLK.
Pihaknya mengakui salah satu syarat produk mebel Indonesia bisa bertahan di pasar asing adalah adanya SVLK. Data dari Asmindo Jawa Tengah, saat ini terdapat lebih dari 1.000 perusahaan mebel di Jawa Tengah.
Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 100 perajin saja yang sudah memiliki SVLK. Untuk mendongkrak produksi dan menangkap peluang ekspor, mau tak mau pemerintah bisa lebih proaktif memberikan bantuan terkait dengan kepemilikan SVLK.
"Bantuan itu kami harapkan lebih fokus kepada perajin kecil di antaranya yang berada di Jepara, Blora, dan Klaten karena di daerah-daerah tersebut cukup banyak perajin mebel yang berskala kecil dengan omzet terbatas," kata Eri.
Oleh karena itu, pihaknya pun mendukung langkah pemerintah memberikan bantuan kepada para pelaku IKM sektor mebel.
Dia mengharapkan melalui bantuan tersebut para pelaku IKM semakin siap menghadapi persaingan pasar global.
Sementara itu, Ketua Bidang Pemasaran Dewan Pimpinan Pusat Asmindo Anggoro Ratmadiputro mengakui hingga saat ini dari tiga ribu IKM nasional pemilik ETPIK, hanya 10 persen yang sudah mempunyai SVLK.
Meski dari satu sisi kebijakan SVLK itu menjadi beban pengusaha karena harus mengeluarkan biaya tambahan Rp20 juta-50 juta, dengan adanya SVLK diharapkan segmentasi pasar mebel dari Indonesia semakin luas.
Pewarta : Aris Wasita
Editor:
Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2024