Kondisi Industri Kreatif pada saat Rupiah Melemah
Rabu, 18 Maret 2015 09:30 WIB
Kota Pekalongan, Jawa Tengah, sebagai daerah sentra produksi batik dan kerajinan alat tenun bukan mesin (ATBM) dipastikan akan merasakan dampak yang berbeda terhadap melemahnya nilai rupiah terhadap dolar AS.
Para pelaku industri kreatif seperti kerajinan batik yang kini masih mengandalkan bahan baku batik impor dipastikan akan merasakan kesulitan untuk mengembangkan usaha produksinya.
Pengusaha batik kini tidak berdaya karena mereka harus membeli bahan baku batik dengan menggunakan dolar sedang biaya produksi maupun harga batik tidak sebanding untuk menebus pembelian bahan baku.
Pelaku batik pun kini hampir sebagian besar hanya bisa menghentikan produksinya sambil menunggu nilai rupiah stabil.
Selain dihadapkan masalah kondisi cuaca hujan yang menghambat produksi batik, hampir 98 persen, perajin batik masih juga tergantung terhadap bahan baku impor, seperti mori, obat pewarna batik, dan lilin (malam, red).
Ketua Kamar Dagang Indonesia Kota Pekalongan, Ricsa Mangkulla mengatakan bahwa melamahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengakibatkan harga sejumlah bahan baku dan obat batik naik relatif tinggi.
"Hal itu tentunya berdampak negatif terhadap kelangsungan industri batik agar bisa mengembangkan usahanya," katanya.
Namun demikian, menguatnya dolar AS terhadap nilai rupiah, sedikit menguntungkan bagi pelaku usaha ATBM yang cenderung memproduksi dengan mengandalkan bahan baku sumber daya alam (SDA), seperti tanaman enceng gondok dan bekas kertas semen.
Beberapa produk dari hasil kerajinan ATBM, seperti taplak meja, tas, dan sandal ini diekspor ke sejumlah negara Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang, serta sebagian Timur Tengah.
Barang bekas yang semula tidak bermanfaat itu, oleh perajin ATBM disulap menjadi barang yang mempunyai nilai seni indah dan nilai jual yang relatif tinggi.
Mereka melakukan produksi ATBM melalui sistem jaringan atau kelompok yang tersebar di Solo, Yogyakarta, dan Pekalongan.
Dengan jumlah perajin yang mencapai sekitar 400 orang tersebut, perajin mampu memproduksi kerajinan dari enceng gondok 10 meter hingga 20 meter per orang. Sedikitnya, pelaku ATBM ini, kini mampu mengekspor 4.000-5.000 pices (pc) dengan nilai jual 10-25 dolar AS per pc.
Promosi Mandiri
Peraih Penghargaan "Award Of Excellence of Handycraft" Unesco, Samsul Huda mengatakan barang yang semula tidak bermanfaat ini bisa menjadi sesuatu karya indah yang bisa diminati oleh konsumen.
Produk ATBM semula belum banyak dikenal oleh konsumen, sehingga perajin melakukan promosi mandiri agar dapat dikenal konsumen.
"Semula, produk ATBM dari enceng gondok dan kertas semen ini, kami pamerkan di Yogyakarta. Dengan bermodal Rp600 ribu, pameran itu dapat terselenggaran dengan sukses," katanya.
Ia mengatakan dengan menguatnya dolar AS terhadap nilai rupiah, para perajin merasa diuntungkan karena pembelian produk dengan menggunakan mata uang dolar.
"Alhamdulilah, nilai ekspor diuntungkan. Tentunya hal itu bisa memotivasi perajin untuk lebih berinovatif dalam menciptakan jenis produk lainnya," katanya.
Menguatnya dolar yang terjadi saat ini dinilai menguntungkan pengusaha kerajinan yang di mengekspor produknya keluar negeri karena transaksinya menggunakan dolar.
Wakil Ketua Asosiasi Eksportir dan Produsen Handicraft Indonesia (Asephi) Kota Pekalongan, Arief Wicaksono mengatakan menguatnya dolar AS pada 2015 berbeda dengan tahun sebelumnya sehingga berdampak positif terhadap pelaku ATBM.
Meski dolar AS naik, kata dia, tetapi indek harga saham juga ikut naik sehingga investasi dari Amerika juga masih bisa masuk.
"Hanya saja, Pemerintah tetap menyarankan jika melakukan ekspor-impor dan investasi harus menggunakan rupiah," katanya.
Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan UMKM Kota Pekalongan, Supriyono mengatakan menguatnya dolar AS terhadap nilai tukar rupiah tidak serta merta menguntungkan pelaku industri kreatif.
"Ada yang diuntungkan juga ada yang tidak diuntungkan. melemhanya nilai tukar rupiah tentunya akan menyulitkan perajin batiki karena mereka masih menggantungkan bahan baku batik impor," katanya.
Ia mengatakan untuk menyiasati pengembangan usaha batik, pemkot berusaha melakukan pendampingan seperti promosi, pelatihan, dan sosialisasi pada pelaku usaha batik.
"Kami bekerjasama dengan Kemendag melatih pada pelaku usaha kreatif dan memamerkan produk lokal agar bisa diminati oleh konsumen dalam negeri maupun mancanegara," katanya.
Pewarta : Kutnadi
Editor:
M Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2025