Pengrajin Kain Jumputan Sukoharjo Kembangkan Kreasi
Senin, 30 November 2015 20:35 WIB
Seorang perajin kain tersebut di Dukuh Krajan, Slamet (73), di Sukoharjo, Senin, mengakui produknya hingga saat ini masih dikerjakan secara tradisional dan belum setenar batik produksi Solo dan sejumlah kota lainnya di Indonesia.
"Oleh karena itu, kami selama ini mengembangkan produk secara kreatif dan inovatif agar mampu bersaing di pasar yang lebih luas," katanya.
Slamet yang menjadi perajin kain tersebut sejak 1961 itu, mengatakan hingga saat ini telah muncul banyak kreasi baru atas produk kain jumputan dari daerah setempat.
"Kain jumputan kini yang sedang 'ngetren' banyak diminta konsumen dengan motif warna pelangi, sinaran, sedangkan motif lama yang sering disebut untiran itu, juga masih ada permintaan meski tidak sebanyak motif lainnya," katanya.
Ia mengatakan kain jumputan yang sedang banyak permintaan adalah motif pelangi dengan corak tiga hingga empat warna. Produk dengan motif itu terlihat meriah, sedangkan kain tersebut umumnya untuk dibuat daster, pakaian pantai, dan pakaian biasa.
Ia mengaku memiliki empat tenaga kerja dengan kemampuan produksi secara optimal mencapai 40 kodi per hari. Setiap kodikain sepanjang 33 meter dan lebar 115 centimeter.
Harga kain jumputan yang dibuat secara tradisional itu, saat ini antara Rp1.400 hingga Rp2.000 per meter, tergantung kualitas kain santung, corak, dan tingkat kerumitan.
Selain untuk kepentingan mata pencaharian keluarga, ujarnya, produksi kain jumputan tersebut juga untuk melestarikan warisan seni budaya Jawa.
"Permintaan pasar rata-rata mencapai sekitar 25 gulung atau kodi per hari. Permintaan datang dari Bali, Sumatera, dan Jakarta," katanya.
Seorang perajin setempat lainnya, Heri (33), mengatakan Dukuh Krajan memang daerah kerajinan kain jumputan di Sukoharjo. Hingga saat ini, masyarakat setempat masih cukup banyak yang tekun menjadi perajin kain tersebut.
"Saya mengerjakan kain jumputan ini, sejak masih duduk di SMP hingga sekarang. Namun, perajin sekarang harus dituntut kreatif untuk menarik konsumen," katanya.
Ia mengaku permintaan pasar terhadap kain jumputan yang sedang menjadi tren adalah motif sinaran dan pelangi, sedangkan motif lama, seperti untiran dengan cara ditali menggunakan karet, tetap ada permintaan meskipun tidak sebanyak motif pelangi dan sinaran yang penuh warna-warni cerah.
Ia menjelaskan tentang proses pembuatan kain jumputan motif pelangi yang relatif sederhana. Kain santung warna putih digelar, kemudian "diuser" atau diuntir dengan gabus untuk pemberian warna sesuai dengan keinginan.
Setelah "diuser", kain santung kemudian dikeringkan dengan sinar matahari, selanjutnya dimasukan alat "peder" atau memberi warna "glas" sebagai pelapis warna asli agar kain tidak luntur. Zat kimia campuran "kostik", garam, dan soda untuk membuat kain menjadi tidak luntur warnanya.
Ia menjelaskan kain jumputan yang sudah kering kemudian dicuci lalu dijemur di bawah sinar matahari, lalu digulung untuk pengepakan dan pengiriman kepada konsumen.
Ia mengaku kemampuannya memproduksi kain jumputan sekitar 25 kodi per hari.
Hingga saat ini, katanya, produksinya masih lancar, meskipun musim hujan seperti sekarang ini butuh waktu pengeringan yang lebih lama ketimbang musim kemarau.
"Jika kondisi cuaca panas produksi sekitar 25 kodi per hari, tetapi musin hujan menurun sekitar 40 persen," katanya.
Pewarta : Bambang Dwi Marwoto
Editor:
Immanuel Citra Senjaya
COPYRIGHT © ANTARA 2025