Logo Header Antaranews Jateng

Cilacap Lakukan Upaya Pelestarian Mangrove Segara Anakan

Kamis, 18 Agustus 2016 12:31 WIB
Image Print
Satu perahu nelayan melewati kawasan hutan mangrove Segara Anakan Kabupaten Cilacap. (Dokumen DKP2SDKSA Cilacap)
Cilacap, Antara Jateng - Pemerintah Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, melalui Dinas Kelautan Perikanan dan Pengelola Sumber Daya Kawasan Segara Anakan terus melakukan upaya pelestarian mangrove di Segara Anakan dengan berbagai kegiatan terpadu dalam pengelolaan pesisir dan sungai.

Kepala DKP2SDKSA Cilacap Supriyanto mengatakan Kawasan Segara Anakan merupakan perairan estuari semi tertutup yang terletak di wilayah administrasi Kabupaten Cilacap bagian barat-selatan. Perairan ini merupakan muara beberapa sungai besar yang berhulu di wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Menurut dia, Sungai Citanduy yang berhulu di wilayah Jawa Barat merupakan sungai terbesar yang bermuara di Segara Anakan.

Selain itu, kata dia, beberapa sungai dari wilayah Jawa Tengah juga bermuara di Segara Anakan, yakni Sungai Cimeneng, Cikonde, dan Cibereum.

Ia mengatakan kondisi estuari semi tertutup perairan Segara Anakan itu diakibatkan oleh adanya Pulau Nusakambangan yang berfungsi sebagai "barrier" (penghalang) antara perairan tersebut dan Samudra Hindia.

Hanya saja, lanjutnya, efek hidro-oceonografi Samudra Hindia masih berpengaruh di perairan Segara Anakan melalui pintu Plawangan Barat (western outlet) dan Plawangan Timur (eastern outlet). Kondisi inilah yang menyebabkan perairan estuari Segara Anakan, lebih dikenal dengan sebutan Laguna Segara Anakan (Segara Anakan Lagoon).

Supriyanto menjelaskan laguna Segara Anakan mempunyai ciri biogeofisik karena memiliki kemampuan alamiah untuk menjamin keberlangsungan hubungan timbal balik antara ekosistem daratan, ekosistem estuari, serta eksositem lautan secara selaras, serasi, dan seimbang.

Oleh karena itu, kata dia, laguna Segara Anakan merupakan kawasan paling unik di Indonesia serta memberi kontribusi yang besar bagi produktivitas sektor kehutanan dan perikanan.

Kawasan Segara Anakan adalah ekosistem estuari yang memiliki hutan mangrove yang terluas dan terlengkap di Jawa karena berdasarkan pemetaan yang dilakukan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Negara pada tahun 2013, luasannya mencapai 6.716 hektare.

Secara alamiah, kata dia, fungsi ekosistem mangrove bersama perairan laguna Segara Anakan sebagai tempat pemijahan (spawning ground), daerah asuhan (nursery ground), dan tempat mencari makan (feeding ground) bagi berbagai jenis ikan dan udang, dengan potensi kontribusi terhadap produksi perikanan tangkap mencapai 8,3 juta dolar Amerika Serikat per tahun.

Bahkan, lanjut dia, berdasarkan studi valuasi ekonomi yang dilakukan oleh Tim "SPICE (Scientic for Protection Indonesia Coastal Ecosystem) Cluster 6", nilai ekologi Segara Anakan mencapai Rp1,2 triliun per tahun.

Dia mengakui keberadaan perairan Segara Anakan yang masih dipengaruhi adanya pola pasang surut dari Samudera Hindia dan suplai air tawar dari beberapa sungai besar mengakibatkan kawasan tersebut merupakan wilayah atau habitat tumbuhnya beberapa spesies mangrove yang membentuk kawasan hutan.

"Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur," jelasnya.

Ia mengatakan berdasarkan penelitian yang dilakukan Lembaga Pengkajian dan Pengembangan (LPP) Mangrove pada tahun 1998, ekosistem hutan mangrove di Segara Anakan merupakan kawasan hutan mangrove paling luas di Pulau Jawa dengan keanekaragaman jenis yang paling banyak.

Akan tetapi, kata dia, besarnya tingkat sedimentasi yang bersumber dari hulu sungai Citanduy dan Cimeneng sebesar 1 juta meter kubik per tahun yang didepositkan di Segara Anakan, mengancam keberadaan ekosistem mangrove di laguna tersebut.

Dalam hal ini, lanjut dia, luas perairan laguna Segara Anakan pada tahun 1984 mencapai 2.906 hektare namun pada tahun 2014 hanya tersisa 500 hektare akibat adanya sedimentasi.

"Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 juncto Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, dalam penjelasan Pasal 28 ayat 3d disebutkan bahwa Laguna Segara Anakan merupakan ekosistem pesisir yang unik dan/atau rentan terhadap perubahan, maka keberadaan ekosistem mangrove Segara Anakan perlu dilestarikan untuk pembangunan secara berkelanjutan," katanya.

Selain itu, kata dia, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Tata Ruang Wilayah Nasional, kawasan Segara Anakan telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional.

Menurut dia, keberadaan mangrove sebagai salah satu ekosistem kawasan Segara Anakan saat ini terancam punah akibat penurunan daya dukung lingkungan dan kurangnya keterpaduan pengelolaan dari hulu dan hilir.

Oleh karena itu, lanjut dia, perlu dilakukan pengelolaan secara terpadu melalui penguatan kegiatan berbasis pada pendekatan pengelolaan pesisir dan sungai atau "Integrated Coastal and River Management (ICRM)".

Selama ini, pendekatan yang dilakukan berbasis pada pendekatan pesisir dan lautan, sementara faktor hulunya kurang mendapat perhatian, katanya.

Terkait hal itu, Supriyanto mengatakan pihaknya dengan dukungan berbagai pihak telah melakukan berbagai upaya dalam membangun keterpaduan antara hulu, pesisir, dan lautan.

Menurut dia, salah satu upaya yang dilakukan berupa koordinasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui Balai Besar Wilayah Sungai Citanduy Ciwulan di Kota Banjar, Jawa Barat.

Hasil koordinasi tersebut diperoleh informasi, adanya rencana pengerukan pada muara Sungai Citanduy sampai dengan Plawangan Barat sepanjanh 4,5 kilometer dan normalisasi Sungai Cibereum dan Cimeneng di Kabupaten Cilacap," katanya.

Menurut dia, pihaknya juga telah menggelar "Workshop Manfaat Mangrove dalam Mendukung Perubahan Iklim" yang didukung oleh Pusat Perubahan Iklim Institut Teknologi Bandung.

Di samping itu, kata dia, pihaknya juga menggelar "Focus Group Discussion (FGD) Perencanaan Laboratorium Alam Segara Anakan" dengan Pusat Pemanfaatan Pengindraan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.

"Kami juga melaksanakan rehabilitasi mangrove yang melibatkan masyarakat, mahasiswa, dunia usaha, dan stakeholder lainnya termasuk pelajar dan mahasiswa," katanya.


Pewarta :
Editor: Hari Atmoko
COPYRIGHT © ANTARA 2025