Logo Header Antaranews Jateng

Menguji Nyali Komisi Penyiaran Indonesia

Sabtu, 13 Mei 2017 19:09 WIB
Image Print
Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKom) Semarang Drs. Gunawan Witjaksana, M.Si. (Foto. Dok. pribadi)
Kewenangan KPI yang seolah hanya bisa melakukan teguran ....
   Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) akhirnya memberikan sanksi teguran tertulis kepada empat stasiun televisi (RCTI, Global TV, I-News, dan MNC TV) karena surat edaran yang dikeluarkannya menyangkut pelarangan penayangan iklan politik di luar masa kampanye diabaikan.

  KPI melakukan itu berdasarkan kewenangannya yang ada di dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

  Pertanyaannya, apakah setelah teguran keras tertulis tersebut, keempat stasiun televisi tersebut akan mematuhinya meski teguran KPI menurunkan harga sahamnya 2,48 persen (Kompas.com. 13 Maret, 2017)? Apa yang sebaiknya dilakukan KPI serta bagaimana sikap masyarakat seandainya teguran KPI tersebut tetap diabaikan?

  Setiap media penyiaran, termasuk televisi, pada hakikatnya oleh Negara dipinjami frekuensi milik publik melalui izin penyelenggaraan penyiaran (IPP). Oleh karena itu, seharusnyalah sebagai peminjam frekuensi sesuai dengan aturan yang ada serta amat UUD 1945 yang menyebut bahwa bumi dan kekayaan alam dikelola oleh Negara dan diperuntukkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat haruslah menghayatinya secara benar.

  Dengan cara itu, pengelola televisi tentu akan berpikir seribu kali manakala akan menggunakan frekuensi yang bertentangan dengan keinginan rakyat, bahkan terkesan mengakali rakyat, antara lain, melalui tayangan kampanye yang dari sisi ilmu komunikasi jelas memanfaatkan Teori Dramatisme yang penuh dengan metafora theatrical, alias akting.

  Seolah tidak ada yang salah bila televisi untuk media kampanye, termasuk kampanye politik. Toh, iklan produk pun juga merupakan kampanye. Namun, yang perlu diingat, kampanye politik, termasuk menggunakan iklan televisi tentu ada syarat serta aturan-aturannya.

  Di sisi lain pemasang iklan politik pun bisa saja berkelit dengan dalih UU Pemilu terkait dengan kampanye, antara lain, berisi ajakan untuk memilih dengan menggunakan atribut yang dilakukan oleh partai politik serta tim suksesnya. Melalui dalih tersebut, tentu tayangan mereka tidak bisa disebut kampanye karena memang belum ada proses apa pun terkait dengan pemilu.

  Namun, dari sisi komunikasi, penayangan mars sebuah parpol seperti yang tertayang sekarang ini, jelaslah itu sebuah kampanye, setidaknya orang menjadi tahu. Dengan kepiawaian si pembuat iklan, mereka juga bisa berubah sikap serta perilakunya.

  Yang perlu dicermati juga sebenarnya adalah telah tiba waktunya revisi UU No. 32/ 2002 tentang Penyiaran itu tidak memperbolehkan seorang politikus mengelola media. Bila toh mereka berdalih tidak ada dalam struktur manajemen pengelolanya, sangatlah sulit menghindarkan faktor sosiologi media (media organizer yang di dalamnya tidak lepas dari owners) yang akan berpengaruh pada produksi siarannya.

    
   Ketegasan dan Nyali
   Tantangan ke depan adalah beranikah KPI mendesak DPR agar dalam merevisi UU Penyiaran kelak bukan justru makin melemahkan posisi KPI, melainkan melakukan pembatasan terkait dengan pengelolaan media penyiarana serta memperkuat posisi KPI.

  Dengan demikian, bila ada yang melanggar aturan, UU tersebut berlaku sebagai lex specialis yang melegalkan KPI untuk mengambil tindakan keras (bila perlu menutup tayangan), sebagaimana dilakukan oleh Federal Communication Commision (FCC), KPI-nya Amerika Serikat.

  Persoalannya justru terjadinya bulan madu antara  pengusaha media penyiaran dan DPR RI karena kemungkinan telah terjadinya simbiosis mutualistis pada masa lalu. Kesan tarik-menarik serta tidak segera selesainya revisi UU Penyiaran juga mengindikasikan hal itu.

    
   Literasi Media
   Kewenangan KPI yang seolah hanya bisa melakukan teguran serta maksimal merekomendasikan untuk tidak memperpanjang IPP, tampaknya dipandang sebelah mata oleh para pengelola media.

  Terjadinya televisi partisan yang secara kasatmata sangat mencolok dan banyak diprotes masyarakat pun terkesan diacuhkan. Bahkan, ancaman yang pernah disampaikan KPI periode sebelumnya untuk tidak memperpanjang IPP 10 stasiun televisi pun seolah menguap tiada bekas.

  Melihat kenyataan itu, program literasi media yang telah dilakukan KPI/D perlu diintensifkan. Selain itu, bekerja sama dengan perguruan tinggi komunikasi serta lembaga lain yang concern memperkuat jumlah masyarakat yang melek media sehingga harapannya ke depan masyarakat akan mampu memilih serta memilah sajian media penyiaran yang layak tonton atau sebaliknya.

  Apa yang baru saja dilakukan KPI, apa pun hasilnya, perlu kita apresiasi. Namun, karena keterbatasan kewenangannya, seluruh elemen masyarakat sebagai pemilik frekuensi sudah waktunya untuk mengkritisi para peminjam frekuensi yang justru membodohinya dan menjadikannya pelengkap penderita.

  Sudah tiba saatnya pula para cerdik cendekiawan yang melek media serta melek komunikasi memberikan informasi yang informatif terkait dengan media. Gerakan sejenis menyalakan seribu lilin yang suasananya sangat teduh dan damai dapat pula dimanfaatkan untuk menyadarkan masyarakat yang karena ketadaktahuannya seolah sangat permisif terhadap berbagai sajian yang sebenarnya sangat merugikan.

  Kemampuan media massa untuk menyadarkan audience akan kemampuan serta keberaniannya untuk menyampaikan pendapat secara teduh, seperti yang terjadi akhir-akhir ini, tentu bisa menginspirasi mereka yang selama ini secara mayoritas dianggap hanya mengikut saja.

  Melalui cara tersebut, pada gilirannya, masyarakat yang melek media penyiaran akan betul-betul berlaku sebagai raja tatkala menjadi konsumen.

  Dengan menggunakan remote control, setiap saat mereka dengan mudahnya akan memindahkan tontonannya ke chanel lain yang sajiannya lebih bermanfaat, dan sampai saatnya nanti bila telah memungkinkan melakukan gerakan boikot terhadap sajian media penyiaran tertentu.

  Akhirnya, kita tentu berharap tindakan KPI menegur empat stasiun televisi tersebut akan dijadikannya momentum untuk makin peduli pada kepentingan masyarakat yang berdasarkan undang-undang memang direpresentasikannya.

  Responsnya selanjutnya baik dalam ikut mengawal revisi UU Penyiaran bersama lembaga sepaham serta media, tentu sangat diharapkan.

  Setidaknya gerakan untuk menyadarkan para pengelola media, baik melalui peneguran, penguatan literasi media, serta peningkatan kualitas sumber daya penyiaran, perlu terus diintensifkan demi kepentingan pemilik frekuensi yang direpresentasikannya.

*) Penulis adalah dosen dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKom) Semarang

Pewarta :
Editor:
COPYRIGHT © ANTARA 2024