Logo Header Antaranews Jateng

Harganas dan Keniscayaan Mewujudkan Keluarga Hebat

Kamis, 29 Juni 2017 20:23 WIB
Image Print
Ilustrasi - Presiden Joko Widodo bersama Ibu Negara Iriana Joko Widodo saat menghadiri acara puncak Peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) Ke- 22 di Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (1/8/2015). (ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal)
Purwokerto, ANTARA JATENG - Pada suatu sore, akhir bulan Juni, di salah satu rumah makan di Selatan Kota Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

Satu keluarga yang terdiri dari bapak, ibu, dan anak, tengah menikmati makanan yang terhidang di meja kayu berbentuk oval.

Ada kesunyian yang terasa, karena acara santap bersama itu hanya sedikit diselingi obrolan ringan khas sebuah keluarga.

Setiap anggota keluarga, mengenggam telepon selular masing-masing, dan seakan tenggelam di dalamnya.

Sesekali, kesunyian itu pecah oleh obrolan-obrolan yang pendek-pendek. Lalu asyik kembali dengan telepon selular di genggaman.

Padahal, menurut dosen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Edi Santoso, keluarga ibarat oase yang dibutuhkan di tengah interaksi sosial yang kian keras.

Pertemuan fisik merupakan hal yang tidak tergantikan oleh pertemuan virtual, misalnya saja melalui media sosial.

Dalam pertemuan fisik, ada emosi yang lebih kuat sebagai penanda yang kaya makna. Sehingga dari ekspresi atau kondisi fisik anggota keluarga, banyak pesan yang dapat terbaca.

Bagi sebuah negara dan bangsa, keluarga merupakan pilar-pilar penguat. Karena itu ada istilah bahwa keluarga yang kuat akan berdampak pada negara yang hebat. Begitu pula sebaliknya.

"Dan interaksi sesama anggota keluarga merupakan salah satu kunci penguat keluarga," katanya.

Terlebih lagi, setiap tanggal 29 Juni, bangsa Indonesia memperingati hari keluarga nasional.

Momentum tersebut, tentu dapat menjadi pendorong bagi seluruh keluarga di Indonesia untuk kembali memperkuat interaksi antarsesama anggota keluarga.

Dan untuk mewujudkan hal tersebut, tentu saja membutuhkan juga peran pemerintah.

Pemerintah bisa mengambil peran strategis, misalnya melalui kampanye pengarusutamaan keluarga dan juga kebijakan-kebijakan yang prokeluarga.

Bahkan, penyediaan infrastruktur lalu lintas yang baik, bisa menjadi salah satu contoh kebijakan prokeluarga. Pasalnya, pertemuan fisik anggota keluarga, bisa dimungkinkan oleh mobilitas harian yang lancar.

Contohnya, di kota-kota besar, orang menjadi terhambat untuk berkumpul dengan anggota keluarga, karena faktor lalu lintas yang sangat padat.

Demi mengejar jadwal kerja, terkadang orang tua harus bergegas berangkat pada pagi hari, meninggalkan anak-anaknya yang masih tidur dan pulang larut malam karena kemacetan lalu lintas, pada saat anak-anak sudah terlelap tidur.

Hal seperti itu, tentu saja dapat mengakibatkan interaksi antarsesama anggota keluarga menjadi makin berkurang.

Dan dapat makin berkurang lagi, andaikan kesempatan pertemuan fisik, tidak dimanfaatkan dengan saling berinteraksi secara optimal antarsesama anggota keluarga.

Makna Keluarga
Ketua Umum Ikatan Praktisi dan Ahli Parenting Indonesia (iParent) Sudibyo Alimoeso menambahkan, selain persoalan
interaksi, seluruh masyarakat Indonesia juga dihadapkan dengan tantangan untuk mengingat kembali makna sebuah keluarga.

Pasalnya, belakangan ini, makna sebuah keluarga seakan makin menipis di kalangan keluarga Indonesia.

Misalkan saja, banyak kasus-kasus terjadi dalam suatu keluarga, yang kemungkinan besar didasari oleh kurangnya memahami arti penting membangun keluarga.

"Contohnya, kasus anak membunuh orang tua, paman tega memperkosa keponakan, perceraian yang semakin meningkat, kasus kejahatan seksual dengan pelaku anak-anak hingga masalah lain seperti penyalahgunaan narkoba," katanya.

Dan mementum hari keluarga nasional, dapat menjadi momentum untuk mengingatkan kembali hakekat dibentuknya lembaga keluarga.

Presiden Joko Widodo, pada hari keluarga nasional tahun 2016 menyebutkan mengenai empat konsep besar, yakni keluarga berkumpul, keluarga berinteraksi, keluarga berdaya, dan keluarga berbagi.

Menurut Sudibyo, empat konsep tersebut merupakan sebuah pemikiran yang luar biasa dalam membangun keluarga berkualitas.

Bahkan, hal tersebut dapat diangkat sebagai program keluarga 4B, yaitu berkumpul, berinteraksi, berdaya, dan berbagi.

Program keluarga tersebut memiliki makna yang sangat dalam dan luas.

Misalkan saja, keluarga berkumpul, ini salah satu masalah pokok, yang sering menimbulkan keretakan hubungan kekerabatan antarkeluarga.

Meski ada perangkat komunikasi elektronik yang canggih, dan lain sebagainya, namun berkumpul dan bertemu secara fisik merupakan hal yang sangat berpengaruh, dibanding hanya melalui media sosial.

Berkumpul berarti terjadi kehangatan dalam hubungan keluarga, yang tidak diperoleh jika melalui hubungan media sosial.

Kedua, keluarga berinteraksi. Sesudah berkumpul, yang juga penting adalah berinteraksi. Artinya terjadi komunikasi dalam keluarga.

Karena perpecahan dan pertikaian dalam keluarga biasanya terjadi karena tersumbatnya proses komunikasi.

Melalui proses interaksi, akan terlihat peran masing-masing anggota keluarga. Peran ayah, peran ibu, dan peran anak, terutama yang berkaitan dengan upaya membangun karakter anak sejak dini.

Karena keluarga adalah sekolah pertama dan utama dalam membangun karakter.

Ketiga, keluarga berdaya, baik dari segi sosial, budaya maupun ekonomi. Hasil interaksi yang baik berarti ada saling berbagai antarkeluarga, bisa berupa ilmu bahkan bisa juga dalam materi sebagai bentuk kebersamaan.

Keempat, keluarga berbagi. Tahapan akhir ini merupakan sebuah bentuk kepedulian keluarga sebagai perwujudan hubungan antarmanusia.

Anggota keluarga yang mampu, yang berdaya, diharapkan mempunyai kepekaan untuk saling berbagi apa yang dipunyai.

Dan menurut Sudibyo Alimoeso, apabila keempat hal itu mampu diwujudkan oleh sebuah keluarga, diharapkan terbentuk kualitas yang lebih baik, serta mempunyai ketahanan dan kesejahteraan yang baik.


Pewarta :
Editor:
COPYRIGHT © ANTARA 2025