Logo Header Antaranews Jateng

Ali Mufiz tawarkan "kromo inggil" untuk redam ujaran kebencian

Rabu, 10 Oktober 2018 11:36 WIB
Image Print
Ali Mufiz (kanan) dan Ketua PWI Provinsi Jateng Amir Machmud NS. (Foto: AZM)
Semarang (Antaranews Jateng) - Cendekiawan Ali Mufiz menawarkan penggunaan bahasa Jawa "kromo inggil" (bahasa Jawa halus) dalam percakapan di media sosial untuk meredam meluasnya unggahan berisi ujaran kebencian.

Mufiz ketika berbicara dalam peresmian kelulusan mahasiswa peserta Sekolah Jurnalistik di Universitas Islam Sultang Agung Semarang, Rabu, mengakui bahwa bahasa Jawa memang tidak egaliter, tapi bisa mendidik seseorang untuk rendah hati, bertutur halus, sekaligus menghormati orang lain.

"Saya tidak pernah mendengar orang marah-marah dengan menggunakan bahasa Jawa 'kromo inggil' karena di dalamnya ada rasa untuk menghormati pihak lain," ujarnya.

Mantan Gubernur Jawa Tengah tersebut menjelaskan bahwa bahasa selalu dipengaruhi oleh budaya masyarakat setempat sehingga ketika berkomunikasi, pengguna bahasa selalu berusaha menekankan pesannya melalui diksi yang dipilih dalam tuturannya.

Ia memberi contoh penggunaan kata ganti "kamu" dalam bahasa Jawa yang memiliki gradasi, mulai dari kasar hingga halus demi menghormati lawan bicara. 

Kata "kowe" (kamu), cenderung dihindari karena selain terkesan merendahkan, artinya juga tidak tepat untuk menunjuk lawan bicara seorang manusia. Kata "kowe", ujar dosen Undip itu, dalam bahasa Jawa artinya kera.

Dalam derajat kata ganti "kamu", menurut dia, orang Jawa memilih menggunakan kata "sampeyan", "panjenengan", bahkan ada yang menggunakan kata "gusti". "Pemilihan diksi tersebut (bukan 'kowe') digunakan untuk menghormati pihak lain," katanya.

Ali Mufiz mengaku gusar dengan makin meluasnya ujaran kebencian yang diamplifikasi melalui media sosial sehingga bisa dimaklumi bila ada negara yang mencari jalan pintas dengan menggagas penutupan mesin pencari Google.

Ia menjelaskan bahasa merupakan salah satu media dalam pembentukan karakter bangsa sehingga sudah seharusnya bahasa diperlakukan sebagai alat komunikasi dengan tujuan kebajikan.

"Apa mereka (penyebar ujaran kebencian) tidak sadar kalau pesan itu bisa melukai orang lain, kecuali (unggahan) itu memang direncanakan (by designed)," ujarnya.

Ia mengingatkan bahwa kata-kata itu tidak bebas nilai sehingga penggunanya pun harus sadar bahwa setiap pilihan kata membawa konsekuensi.

Enam angkatan
Sekolah Jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia Provinsi Jawa Tengah sampai saat ini sudah meluluskan enam angkatan bagi mahasiswa Fakultas Hukum Unissula.

Program tersebut merupakan kerja sama FH Unissula dengan PWI Provinsi Jateng untuk memberi kompetensi tambahan bagi lulusan FH Unissula.  Angkatan VI diikuti sebanyak 230 mahasiswa dan 10 mahasiswa dinyatakan sebagai lulusan terbaik.

Hadir dalam peresmian kelulusan tersebut, Ketua PWI Provinsi Jateng Amir Machmud NS, Dekan FH Unissula Prof. Gunarto, Wakil Rektor Bedjo Santoso, dan Ali Mufiz.

"Unissula merupakan pembuka bagi Sekolah Jurnalistik PWI Provinsi Jateng yang kemudian diikuti oleh perguruan tinggi lain, misalnya, UIN Walisongo Semarang, Universitas Panca Sakti Tegal, Unsiq Wonosobo, Unwahas, dan dalam waktu dekat dengan Untag Semarang," demikian Amir Machmud.
 

Pewarta :
Editor: Achmad Zaenal M
COPYRIGHT © ANTARA 2024